Food Estate Sumatera Utara untuk Apa dan Siapa?

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Food Estate

Selasa, 01 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pemerintah membangun sejumlah lumbung pangan terpusat atau food estate di beberapa daerah, konon itu dibangun atas nama ketahanan pangan. Sebut saja seperti di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Papua dan daerah lain. Namun dari yang sudah berjalan, muncul satu pertanyaan, food estate ini untuk apa, dan untuk siapa?

Karena dilihat dari fakta yang ada, food estate yang berjalan itu lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pangan yang dijalankan korporasi, alih-alih untuk ketahanan pangan nasional. Hasil pertanian food estate ternyata bukan mengalir ke pasar untuk kecukupan ketersediaan pangan, melainkan mengalir kepada segelintir korporasi atau perusahaan besar yang bermain di industri pangan.

Food estate yang dijalankan di Sumatera Utara contohnya. Komoditas pertanian yang dikembangkan di sana di antaranya kentang, bawang merah dan bawang putih. Hasil panen food estate di sana sudah dimonopoli oleh sejumlah perusahaan besar yang menanamkan modalnya, khususnya lokasi food estate di Kabupaten Humbang Hasundutan.

Ada 7 perusahaan raksasa yang berinvestasi di food estate di sana yakni PT Indofood, PT Calbee Wings, PT Champ, PT Semangat Tani Maju Bersama, PT Agra Garlica dan PT Agri Indo Sejahtera dan PT Karya Tani Semesta.

Tampak dari ketinggian hamparan lahan food estate di Desa Ria-Ria, Kabupaten Humbang Hasundutan./Foto: Auriga Nusantara/Yudi N.

"Petani hanya sebagai buruh untuk perusahaan-perusahaan itu," kata Prof. Posman Sibuea, Guru Besar UNIKA Santo Thomas dalam webinar bertema Menelusuri Komitmen Pemenuhan Hak atas Pangan dan HAM dalam food estate Sumatera Utara yang digelar secara online, Rabu (23/2/2022) kemarin.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sejumlah lembaga masyarakat sipil, seperti FIAN Indonesia, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Bitra, Yayasan Petrasa dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPASumatera Utara, food estate Sumatera Utara khususnya yang berlokasi di Desa Ria-Ria, Kecamatan PolungHumbang Hasundutan, merupakan kebijakan pembangunan pertanian yang pro pasar, berorientasi mengindustrikan pertanian pangan yang sebelumnya didominasi oleh para petani kecil.

"Jadi bisa dikatakan bahwa food estate, dalam konteks ini, adalah proyek negara namun kandungannya cenderung mengarah ke corporate-driven business," kata Fuad Abdulgani, Peneliti FIAN Indonesia.

Fuad bilang, food estate Ria-Ria telah mengakibatkan terjadinya perampasan kontrol atas tanah dan terlucutinya otonomi petani terhadap pertaniannya. Petani kecil cenderung menjadi pemasok bahan baku atau bahan mentah bagi korporasi agribisnis, sekaligus pasar bagi industri input pertanian dan juga menjadi tenaga kerja bagi industri pangan.

"Kami tidak menemukan lembar kontrak yang mengasumsikan dua pihak setara. Melainkan yang ada adalah surat pernyataan yang klausul-klausulnya ditetapkan oleh perusahaan tanpa penjelasan tentang distribusi beban dan keuntungan. Serta tidak adanya skema mitigasi risiko yang jelas sebelum kontrak itu disepakati," ujar Fuad menguraikan temuan penelitiannya.

Fuad juga menyoroti soal pasar. Seluruh hasil pertanian food estate wajib disetorkan kepada Koperasi Unit Bersama (KUB) yang dibentuk. Tetapi harga jual di KUB lebih rendah dari pengepul di pasaran. Harga bawang merah contohnya, untuk kualitas grade super dihargai Rp14.500 per kilogram (kg) sedangkan untuk grade B seharga Rp8 ribu per kg. Itu jau lebih rendah dibanding harga di pengepul, yang memberi harga Rp18 ribu per kg bawang merah grade super.

Pengelolaan dana oleh KUB juga dinilai tidak akuntabel. Dana pejualan 60 persen tercairkan pada 3 bulan setelah panen, 30 persen dana untuk modal tanam kedua tidak bisa diakses dan dana pengembangan kelompok sebesar 10 persennya tidak jelas pengelolaannya.

"Food estate yang sekarang mengarah ke kepentingan segelintir pemodal/korporasi besar nasional dan transnasional," tuding Fuad.

Peneliti FIAN Indonesia lainnya, Gusti N. A. Shabia menambahkan, food estate di Ria-Ria juga berpotensi adanya maladministrasi dan indikasi pelanggaran hak atas pangan. Yang mana food estate merupakan proyek berisi serangkaian pelayanan publik dengan asas-asas yang harus dipenuhi. Tetapi ada tiga hal yang tidak dipenuhi, yakni asas partisipatif, asas keseimbangan hak dan kewajiban, serta akuntabilitas dan transparansi.

"Kita sampai sekarang belum bisa menemukan master plan dan action plan yang bisa dilihat secara publik, serta dokumen monitoring dan evaluasi. Ini patut digali lagi apakah mengarah kepada maladministrasi," kata Shabia.

Shabia menyebut, hak atas pangan harus dipenuhi Negara, sedangkan food estate yang dicanangkan oleh Negara justru bergerak berorientasi profit. Dalam perspektif HAM, Negara telah melanggar kewajiban mereka untuk memenuhi, melindungi, dan melakukan penghargaan terhadap hak atas pangan petani.

Shabia mengharapkan pemerintah menghormati HAM dan mengedepankan realisasi progresif hak atas pangan dan melakukan transparansi atas evaluasi pelaksanaan.

"Bagi kami, food estate tidak dilakukan di atas pertimbangan hak atas pangan, oleh karena itu harus dievaluasi kembali. Kami melihat bahwa food estate harus dihentikan karena terbukti bahwa sebelum-sebelumnya project food estate gagal."

Hamparan lahan food estate bawang merah di Desa Ria-Ria, Kabupaten Humbang Hasundutan./Foto: Betahita.id

Food Estate Berbau Korporat Justru Mengancam Pangan Lokal

Dalam diskusi itu, Prof. Posman Sibuea mengatakan, krisis pangan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 dijadikan alasan untuk dibentuknya food estate. Bangkrutnya usaha kecil bidang pangan, akibat banjir pangan impor murah, tidak hanya menyebabkan meningkatnya jumlah orang miskin tetapi juga jumlah keluarga rawan pangan bertambah.

Menurutnya, diversifikasi pangan akan menjadi langkah yang efektif. Yang harus dilakukan adalah menurunkan konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi pangan hewani. Diversifikasi pangan juga dapat menjaga keterkaitan dengan petani lokal.

"Apakah food estate menjadi solusi krisis pangan? Dengan adanya pandemi lockdown mendorong ketidakberdayaan individu untuk bergerak, tentu yang dikembangkan adalah diversifikasi pangan lokal," kata Posman Sibuea.

Karena supply chain itu tersumbat, karena transportasi semakin terbatas karena lockdown, tentu bahan makanan tidak bisa dikirim ke tempat lainnya, salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan pengembangan pangan lokal melalui teknoagroindustri.

"Justru food estate belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan, tetapi malahan mengancam pangan lokal. Tidak harus food estate menanam bawang dan lain-lain, industri bisa mengembangkan itu karena tingkat konsumsinya rendah, bisa memainkan inflasi. Kedaulatan pangan harus dimulai dari kedaulatan petani," ujarnya.

Peneliti GrainKartini Samon menuturkan, food estatekorporatisasi, atau sistem pertanian kontrak tidak dapat menjawab persoalan pangan di Indonesia. Karena terjadinya transformasi pertanian menjadi agribisnis, globalisasi sistem pangan meningkatkan peran korporasi di sektor pangan.

"Gambaran luasnya adalah food estate tidak berdiri sendiri, ia ada dalam suatu rangkaian panjang dalam upaya restrukturisasi sistem pangan hari ini, ke arah semakin berbasis industri dan korporasi," kata Kartini

Pangan yang merupakan hak dasar masyarakat dilihat hanya sebagai komoditas dagang, komoditas yang memberikan keuntungan bagi perusahaan dan investornya. Padahal sistem pangan industrial dianggap sebagai salah satu yang paling bertanggung jawab terhadap sejumlah krisis multidimensi. Apabila diturunkan, krisis kesehatan muncul dari industri pertanian.

"Saat ini sudah tercatat tiga area food estate. Petani dan masyarakat tidak Petani dan masyarakat kehilangan kontrol dan akses mereka atas tanah dan hanya dilihat sebagai bagian dari rantai produksi," ujarnya.

Kartini menyebut, food estate pertama kali secara kebijakan muncul pascaorde baru, dalam Rencana Tata Ruang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Program ini menekankan tentang bagaimana Indonesia berkontribusi dalam memberikan makan dunia.

"Saya selalu ingat karena kita bisa memberikan makan dunia, tapi tidak bisa memberikan makan sekitar kita, terutama yang ada di sekitar food estate tersebut. Waktu itu ketika lahannya dibuka, dampaknya masih terasa sampai sekarang."

Warga sedang membersihkan bawang merah hasil panen di food estate Desa Ria-Ria, Kabupaten Humbang Hasundutan./Foto: Auriga Nusantara

Hak atas Pangan Tanggung Jawab Negara, Jangan Sampai ada Hak Masyarakat Yang Terabaikan

Dalam forum webinar tersebut, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI, Sandrayati Moniaga menuturkan, dilihat dari hasil penelitian terhadap pelaksanaan food estate Ria-Ria, Sumatera Utara yang dipaparkan dalam webinar itu, pihaknya melihat bahwa pemerintah belum mengutamakan kebutuhan pembangunan pada basis kedaulatan pangan, keberlanjutan secara ekologis dan jaminan dari ketergantungan dan kerentanan fluktuasi harga komoditas pertanian.

Komnas HAM, lanjut Sandra, telah menyusun standar norma dan pengaturan tentang tanah dan sumber daya alam. Dalam dokumen tersebut permasalahan yang kerap terjadi dalam sektor perkebunan dan pertanian meliputi kebijakan ekonomi-politik perkebunan nasional yang mengutamakan pembangunan korporasi, dan komoditasnya berorientasi melayani kebutuhan pasar global daripada memperkuat model perkebunan rakyat.

"Rakyat adalah pemangku hak tapi pemangku kewajiban adalah pemerintah atau negara. Jadi saya menyayangkan Pak Bupati yang tidak hadir. Karena mestinya Pemda adalah garis depan dari pemenuhan Hak Asasi Manusia, selain juga tentunya pemerintah pusat," kata Sandra.

Terkait food estate ini, Sandra merekomendasikan agar Negara mempertimbangan secara matang tentang izin-izin yang telah diterbitkan (kajian ulang), memastikan kebutuhan dan mimpi masyarakat, dan menggali visi masyarakat lokal akan 25 tahun ke depan.

"Apakah mereka sepakat untuk mengembangkan bawang merah, bawang putih, dan kentang? Jadi memang harus ada jaminan keadilan untuk generasi ke depan."

Sandra menyebut, pembangunan perkebunan dan pertanian skala luas menyebabkan perubahan bentang alam yang mengancam keanekaragaman hayati dan kelestarian lingkungan hidup. Selain itu perkebunan yang berciri monokultur mengancam ketahanan pangan, yang berarti sumber pangan lokal tergerus yang mengakibatkan masyarakat mendatangkan sumber pangan dari tempat lain.

Sejumlah temuan dugaan dan potensi maladministrasi yang dihasilkan penelitian itu menjadi fokus Ombudsman RI. Satu di antaranya mengenai sengketa lahan, mulai dari sertifikasi tanah, tumpang tindih, proses pembebasan lahan dan kompensasi.

"Jangan sampai ada hak masyarakat yang terabaikan dalam proses pembebasan lahan," kata Miftah Firdaus, Asisten Ombudsman RI.

Kemudian temuan selanjutnya, pengabaian terhadap budaya petani lokal. Dalam hal ini potensi maladministrasi yang muncul adalah bagaimana peran pemerintah dalam melakukan pembinaan kepada petani. Miftah juga mewanti-wanti, agar jangan sampai food estate ini memunculkan permasalah baru. Karena perubahan budaya, yang menimbulkan potensi maladministrasi oleh dinas terkait karena tidak melakukan pembinaan.

"Hal-hal utama yang menjadi catatan Ombudsman, perlu adanya evaluasi secara komprehensif terhadap pelaksanaan food estate dengan partisipasi masyarakat secara luas, petani, masyarakat terdampak, akademisi, pakar, dan publik secara umum. Jika ada hak-hak yang terabaikan, Ombudsman mendorong kepada masyarakat untuk berpartisipasi menyampaikan hal-hal tersebut kepada Ombudsman."

Bawang merah hasil panen di food estate Desa Ria-Ria, Kabupaten Humbang Hasundutan./Foto: Auriga Nusantara

Di kesempatan yang sama, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Roganda Simanjuntak menuding, food estate sebagai bentuk pelecehan terhadap masyarakat adat yang sebagian besar adalah petani. Yang mana pemerintah mengambil alih aktivitas pertanian yang selama ini dilakukan oleh petani di sana dan akan diserahkan kepada korporasi.

"Memperkenalkan jenis komoditas pertanian yang baru menjadikan masyarakat adat di sana korban berkali-kali. Mulai dari dirampas, kemudian menjadi asing di tanah sendiri lewat diperkenalkannya komoditi baru dan dipaksa untuk bertani, dipaksa beralih aktivitas," tuding Roganda.

Roganda bilang, belum dilakukannya penetapan pemilik lahan sebagai masyarakat adat, dengan wilayah dan hutan adat, merupakan bentuk perampasan wilayah adat. Perampasan dimaksud dilakukan lewat klaim hutan negara dan konsesi yang kemudian dialihkan untuk program food estate.

"Dari awal saja sudah bermasalah. Ini adalah bentuk perampasan yang berulang-ulang. Pemerintah kabupaten dan provinsi harus mengevaluasi apakah food estate betul-betul bisa menjawab kebutuhan warga sekitar. Kita meminta program ini dihentikan sebelum hak atas tanah masyarakat adat dipenuhi."