Papua Barat: Kembalikan Lahan Eks Perusahaan ke Masyarakat Adat

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Selasa, 31 Mei 2022

Editor : Kennial Laia

BETAHITA.ID - Drama gugatan PT Anugerah Sakti Internusa (ASI) dan PT Persada Utama Agromulia (PUA) terkait keputusan pencabutan izin oleh Bupati Sorong Selatan, di PT Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura telah usai. Pada 23 Mei 2022 kemarin Majelis hakim PTUN Jayapura memutuskan menolak gugatan yang diajukan pihak perusahaan.

Tapi perjuangan masyarakat adat Sorong Selatan mendapatkan kembali hak atas tanah dan hutan adatnya belum selesai. Ada harapan besar lahan bekas izin dua perusahaan itu bisa dikembalikan kepada masyarakat adat.

"Perjuangan belum selesai walaupun ada SK pencabutan izin lokasi. Perjuangan harus berlanjut sampai masyarakat adat mendapatkan kembali haknya atas tanah dan hutan adatnya," kata Nico Wamafma, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Senin (30/5/2022).

Menurut Nico, masyarakat adat bersama civil society organization (CSO) harus benar-benar mengawal dan memastikan agar lahan bekas izin PT ASI dan PT PUA itu tidak dialihkan atau diberikan lagi kepada perusahaan manapun.

Aksi Mimbar Bebas digelar oleh Koalisi Masyarakat Adat, Pemuda Knasaimos dan GKI Klasis Teminabuan di Taman Tinarti, Teminabuan, Sorong Selatan, 7 dan 10 Januari 2022 lalu. Mimbar Bebas ini digelar untuk mendukung Bupati Sorong Selatan dalam menghadapi Gugatan PT ASI dan PT PUA di PTUN Jayapura./Foto: Koalisi Masyarakat Adat Sorong Selatan

"Pemerintah atau bupati harus berani mengembalikan hutan dan lahan tersebut kepada masyarakat adat dan tidak mengalihkannya kepada perusahaan lain," ujar Nico.

Nico sebagai putra asli Tanah Papua berharap, apabila pihak perusahaan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar, hakim yang menangani perkara gugatan PT ASI dan PT PUA ini bisa memahami dasar hukum putusan PTUN Jayapura dan memperkuatnya dalam putusan pengadilan tinggi.

Greenpeace Indonesia, lanjut Nico, mengapresiasi putusan PTUN yang menolak gugatan PT ASI dan PT PUA tersebut, karena dinilai berpihak pada perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat Papua yang tinggal di kawasan tersebut. Putusan PTUN itu bisa menjadi langkah awal perlindungan hutan alam di Tanah papua.

“Putusan ini merupakan kabar gembira bagi masyarakat hukum adat di Distrik Konda dan masyarakat hukum adat di Sorong Selatan karena merupakan langkah yang tepat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, serta solusi untuk pelestarian hutan alam Papua."

Nico bilang, putusan PTUN ini juga sejalan dengan komitmen Pemerintah Provinsi Papua Barat untuk melindungi masyarakat adat melalui Perdasus No. 9 Tahun 2019 dan Pergub No. 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengakuan Masyarakat Hukum Adat. 

"Sebaiknya setiap pihak terkait harus mematuhi dan menjalankan apa yang sudah menjadi putusan pengadilan tersebut, dan ini tetap akan kami kawal," kata Nico.

Ekspansi perkebunan sawit di hutan Papua semakin meluas. Sebelum kasus Bupati Sorong Selatan, terdapat kasus serupa terjadi di Sorong, tiga perusahaan sawit menggugat keputusan Bupati Johny Kamuru, karena izin mereka dicabut. Ancaman perusakan hutan alam Papua turut mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat yang tinggal di dalamnya.

Nico menambahkan, putusan PTUN ini merupakan momentum bagi lembaga legislatif, dalam hal ini DPR RI, untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, agar hak-hak masyarakat adat atas wilayah adatnya dapat terlindungi secara menyeluruh, sah di mata hukum negara.

Selain itu, putusan ini merupakan bukti keberanian Bupati untuk mencabut izin setelah pascaevaluasi izin ini perlu dibantu prosesnya oleh Kementrian terkait serta menjadi pembelajaran kepada kepala daerah lain untuk tidak sembarangan memberikan izin kepada perusahaan.

"Mengutamakan hak masyarakat adat adalah hal yang mutlak untuk dilakukan, mengikuti prinsip padiatapa (persetujuan atas dasar informasi sejak awal tanpa paksaan), sebelum mengeluarkan izin untuk perusahaan," imbuh Nico.

Perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat merupakan salah satu upaya untuk melestarikan hutan alam tersisa di Bumi Cenderawasih. Sehingga masyarakat adat memiliki kebebasan yang utuh dalam mengelola wilayah adat mereka, serta dapat mandiri secara ekonomi tanpa merusak hutan.