KLHK Harus Transparan soal KHDPK

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Kamis, 16 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengambil alih pengelolaan Kawasan Hutan seluas 1.103.941 hektare di Pulau Jawa, dari Perum Perhutani, untuk dijadikan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Dari luasan tersebut, sebagian di antaranya akan dibagikan kepada masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial. KLHK diminta transparan soal itu.

"KLHK harus transparan dan terbuka, serta membuka ruang bagi rakyat untuk terlibat dalam pembahasan kebijakan. Catatan kami, KLHK harus membuka peta KHDPK ke publik, serta soal potensi tumpang tindihnya," kata Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur (Jatim), Selasa (14/6/2022).

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Tengah (Jateng) Fahmi Bastian juga berpendapat demikian. Fahmi bilang KLHK harus berani membuka data dan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang dialokasikan dalam KHDPK. Karena PIAPS dimaksud menjadi sesuatu yang dinanti, untuk mengetahui berapa besar Kawasan Hutan yang diberikan kepada masyarakat, dan dimana saja sebarannya.

"Yang nantinya paling tidak, kita bisa memetakan secara jelas. Karena sampai saat ini pun peta pembagiannya itukan belum muncul. Bahkan Dirjen di KLHK juga belum berani buka," kata Fahmi, Selasa (14/6/2022).

Kondisi areal Perhutani yang tidak produktif di Bojonegoro, Jawa Timur./Foto: KLHK

Fahmi memperkirakan ratusan ribu hektare Hutan Produksi dalam KHDPK itu tidak akan seluruhnya dijadikan Perhutanan Sosial yang akan dibagikan kepada masyarakat. Apalagi kepentingan politik akan muncul, bahkan sampai saat ini Perhutani belum rela Kawasan Hutan itu diambil alih KLHK.

"Penting bagaimana sebenarnya KLHK transparan dan memberikan ruang bagi masyarakat sipil, untuk memberikan masukan terhadap Kawasan Hutan yang ada sudah dikelola oleh masyarakat di Jawa Tengah masuk dalam skema Perhutanan Sosial. Terpenting inventarisir ini tidak sesuka mereka.

Penentuan pihak penerima Perhutanan Sosial KHDPK ini juga dianggap harus ketat. Harus ada syarat khusus. Itu agar pengelolaan Kawasan Hutan menjadi tepat sasaran, dan tidak dikuasai oleh investor besar. Misalnya, pemohon Perhutanan Sosial haruslah merupakan kelompok masyarakat, bukan indivudu perorangan, dan haruslah kelompok yang sudah mendapat pendampingan tentang bagaimana mengelola hutan.

"Konteksnya harus syarat yang kuat, bahwa fungsi hutan harus dipertahankan. Harus melampirkan bukti-bukti KTP. Untuk kepatuhan, si pengaju harus mengajukan peta wilayah yang mereka garap," ucap Meiki W. Paendong, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Barat (Jabar), Selasa (14/6/2022).

Realita Pengelolaan Kawasan Hutan di Jawa

Wahyu menyebut KHDPK ini seperti pisau bermata dua. Di satu sisi kebijakan itu memang menguntungkan petani hutan, karena ada harapan mereka lepas dari kuasa Perum Perhutani, dan memberikan akses penuh terhadap kelola hutan.

Namun di sisi lain juga mengandung kekhawatiran, lantaran KHDPK ini salah satu produk yang dihasilkan UU Cipta Kerja. Sehingga tentu akan ada potensi tumpang tindih kawasan yang merugikan petani hutan.

Menurut Wahyu, perlu ada kebijakan yang lebih jelas dan tegas, terutama menyangkut KHDPK ini, dan khususnya Perhutanan Sosial. Kebijakan tersebut harus mampu memberikan perlindungan akses bagi petani hutan yang sudah mengajukan permohonan Perhutanan Sosial, dan memberikan jaminan ke depannya.

Karena salah satu tantangan Perhutanan Sosial adalah, petani hutan mampu membuktikan bahwa ketika dikelola oleh mereka, hutan menjadi lebih lestari, di samping memberikan peningkatan ekonomi.

"Kalau menurut saya, melihat kebijakan ini adalah KHDPK harus ada cantolan hukum sendiri di luar UU Cipta Kerja yang eksploitatif. Sehingga ada kekuatan hukum yang kuat, sehingga memberikan kepastian," terang Wahyu.

Wahyu mengakui, KHDPK sebenarnya adalah harapan yang ditunggu petani hutan. Karena seperti yang telah banyak diketahui, angka konflik petani hutan dengan Perhutani cukup tinggi. Khususnya di Jawa Timur, Walhi mencatat, terdapat sekitar 15 kasus konflik warga dan Perhutani yang terjadi sepanjang 6 tahun terakhir. Di antaranya bahkan menyebabkan petani mengalami kriminalisasi.

Fahmi berpendapat, Kawasan Hutan yang sudah dikelola masyarakat sebaiknya dibiarkan untuk dilanjutkan, dengan akses yang lebih jelas, yakni melalui Perhutanan Sosial. Karena sampai saat ini akses masyarakat terhadap Kawasan Hutan di Jawa Tengah masih dalam bentuk kontrak dengan Perhutani.

"Yang dimana kontraknya di bawah tangan, terkadang gitu kan. Yang bermain di KPH ataupun di mandor-mandor yang ada di perhutani," ungkap Fahmi.

Soal kekhawatiran sejumlah pihak akan adanya alih fungsi lahan Kawasan Hutan akibat KHDPK, Fahmi mengungkapkan, Kawasan Hutan yang dikelola Perhutani di Jawa Tengah sudah sejak lama mengalami alih fungsi, bahkan secara masif. Hal tersebut di antaranya terjadi di Kabupaten Wonosobo, Grobogan dan Purwodadi.

Kebijakan KHDPK ini bisa jadi merupakan salah satu bentuk evaluasi dari kinerja Perum Perhutani dalam mengelola Kawasan Hutan. Lantaran, Kawasan Hutan yang dikelola Perum Perhutani di beberapa daerah, termasuk di Jawa Barat, justru banyak disewakan kepada individu pemilik modal besar untuk pertanian tanaman pangan skala besar.

"Kami melihat seperti itu, kami sejak lama minta evaluasi Perhutani. Konteks Perhutani ini bisnis pengelolaan Kawasan Hutan. Kekhawatiran Perhutani akan ada tutupan hutan yang hilang, itu tidak kuat. Di Pengalengan, wilayah yang dikuasai oleh Perhutani banyak disewakan ditanami perkebunan sayur," kata Meiki.

Skema sewa dalam pengelolaan Kawasan Hutan oleh Perhutani ini dalam praktiknya juga tidak bersifat adil merata. Meiki mengungkapkan, bagi petani kecil, Perhutani mensyaratkan lahan Kawasan Hutan yang disewa harus ditanami dengan tanaman keras demi membentuk tegakan hutan. Sedangkan terhadap petani skala besar tidak ada syarat demikian.

"Saya sangat sayangkan, apakah itu jadi rahasia di KHLK atau bagaimana, tapi nyatanya tidak dievaluasi."

Sebelumnya, pada 5 April 2022 lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Siti Nurbaya menetapkan Surat Keputusan (SK) Nomor SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022. Melalui SK.287 tersebut Menteri Siti mengambil alih pengelolaan Kawasan Hutan seluas 1.103.941 hektare yang berada di Jawa dari Perhutani, untuk dijadikan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).

Kawasan Hutan yang pengelolaannya diambil alih itu khususnya berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung yang berada di empat provinsi, yakni di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Banteng.

Dengan rincian, di Jawa Tengah seluas 202.988 hektare terdiri dari Hutan Produksi seluas 136.239 hektare dan Kawasan Hutan Lindung 66.749 hektare, Provinsi Jawa Timur seluas 502.302 hektare meliputi Hutan Produksi seluas 286.744 hektare dan Hutan Lindung 215.288 hektare.

Kemudian di Provinsi Jawa Barat luasnya sekitar 338.944 hektare berasal dari Hutan Produksi 163.427 hektare dan Hutan Lindung 175.517 hektare, dan di Banten sebesar 59.978 hektare mencakup Kawasan Hutan Produksi seluas 52.239 hektare dan 7.740 hektare Hutan Lindung.

Menurut penjelasan SK.287, 1,1 juta hektare Kawasan Hutan itu akan menjadi acuan dalam pelaksanaan KHDPK untuk kepentingan Perhutanan Sosial, Penataan Kawasan Hutan dalam Rangka Pengukuhan Kawasan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan, Rehabilitasi Hutan, Perlindungan Hutan, atau Pemanfaatan Jasa Lingkungan.