Sawit Malaysia: Kotor di Indonesia Terbelit Skandal di Malaysia

Penulis : Aryo Bhawono

Sawit

Senin, 19 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Jejak kekerasan, pelanggaran hak pekerja dan perusakan hutan tertinggal di perusahaan sawit yang terhubung dengan sayap usaha lembaga pemerintah Malaysia (Federal Land Development Authority/ Felda), FIC Properties Sdn Bhd.

Panen sawit di kebun Hendra Gunawan pada Sabtu 28 Mei berubah menjadi penganiayaan. Rombongan Brimob datang bersama staf dan pekerja PT Arrtu Plantation menghentikan panen. Polisi berdalih Suharjo, kerabat Hendra yang ikut panen, adalah buron.

Niat Suharjo menunjukkan sertifikat hak milik atas ladang tempatnya panen dijawab dengan salak senapan ke udara, polisi mengiranya melarikan diri. Selebihnya, popor senapan dan mesiu peluru hampa yang bicara. Akibatnya tiga warga mengalami luka-luka.

Penganiayaan oleh aparat ini tak lepas dari konflik lahan antara warga dengan PT Arrtu Plantation dengan warga Desa Segar Wangi, Kecamatan Tumbang Titi, Ketapang, Kalimantan Barat. 

Area perkebunan dan pabrik kelapa sawit milik PT Eagle High Plantations (BWPT). Foto: BWPT

Perusahaan itu memiliki jejak konflik panjang. Pada 22 Januari 2021 lalu warga diduga membakar kantor milik PT Arrtu Plantation di Kecamatan Hilir Selatan lantaran kecewa karena haknya tidak dipenuhi oleh perusahaan itu. 

Hasil penelusuran menyebutkan PT Arrtu Plantation terhubung dengan sayap bisnis Federal Land Development Authority (Felda) melalui kepemilikan saham FIC Properties Sdn Bhd sebesar 37 persen di PT Eagle High Plantations (PT EHP). PT Arrtu Plantation sendiri salah satu anak perusahaan PT EHP. Pemilik saham lainnya adalah PT Rajawali Capital International milik Peter Sondakh, taipan asal Indonesia. 

PT Arrtu Plantation memiliki jumlah aset terbesar ke-enam di group EHP. Data yang diolah Divisi Kebun Yayasan Auriga Nusantara, luas izin perkebunan (IUP) PT Arrtu Plantation mencapai 15.805,31 hektare. Sementara itu luas hak guna usaha (HGU)-nya 11.892,17 hektar berdasarkan SK HGU Nomor SK HGU: 105/HGU/BPN RI/2013.

Kekerasan ini menjadi salah satu jejak gelap perusahaan sawit di Indonesia yang terhubung dengan lembaga pemerintahan Malaysia. Praktik ini bukan satu-satunya catatan buruk, permasalahan lain yang terjadi di perkebunan grup EHP antara lain adalah ketenagakerjaan dan tunggakan pembayaran BPJS PT Tandan Sawita Papua (TSP) di Kabupaten Keerom, Papua. 

Tunggakan BPJS Kesehatan berimbas pada karyawan dan buruh harian lepas. Mereka tidak dapat mengakses layanan kesehatan karena tunggakan ini. Sedangkan pembayaran BPJS Ketenagakerjaan juga menunggak selama setahun lebih. 

Komnas HAM Daerah Papua menyebutkan PT. TSP mempekerjakan 1.818 buruh diduga telah melakukan pelanggaran atas hak buruh dalam kurun waktu yang cukup lama sejak perusahaan itu beroperasi pada 2008 hingga 2022. Status hubungan industrial mereka tidak jelas karena buruknya rekrutmen. 

Sebagian besar dari buruh PT TSP sudah bekerja lebih dari 10 tahun dengan status tidak jelas. Perusahaan hanya menyerahkan kartu tanda penduduk, dan seseorang boleh bekerja dengan status tidak jelas. Bahkan ada buruh yang meninggal dan mengundurkan diri setelah bekerja lebih dari 10 tahun, tapi perusahaan tidak pernah memberikan pesangon. 

Pada Agustus 2022 lalu, Manajer Personalia Umum PT TSP, Yudi Harsono, memberikan penjelasan kepada Komnas HAM Perwakilan Papua bahwa perusahaannya memiliki 1.400 orang hingga kini. 

Persyaratan rekrutmen pekerja dilakukan sesuai standar melalui mandor kebun masing-masing. Biasanya calon pekerja melengkapi persyaratan yang diminta perusahaan.

Persyaratan itu misalnya Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, dan diverifikasi melalui manajemen sekitar dua hari. Apabila pelamar dinyatakan lolos, akan diawali dengan tanda tangan perjanjian kerja.

“Akan tetapi manajemen perusahaan mengakui proses perekrutan sebelum-sebelumnya, memang tidak melalui prosedur yang baik,” ucapnya seperti dikutip dari Jubi

Pada 2021, hal yang sama juga dilaporkan terjadi di anak perusahaan PT EHP, yakni PT Bumi Hutan Lestari (BHL). Iuran dana BPJS Ketenagakerjaan karyawan perusahaan itu belum dibayar selama 2 tahun, yakni bulan April 2019 yang telah lalu hingga sekarang ini tahun 2021. 

Padahal karyawan yang bekerja di perusahaan itu setiap bulannya dipotong sebesar Rp.285 ribu, sesuai slip gaji yang mereka terima. Akibatnya ratusan karyawan atau buruh terancam bakal tidak mendapatkan manfaat BPJS Ketenagakerjaan seperti, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JK).


Praktik Buruk Lingkungan

Laporan Tahunan PT EHP tahun 2021 menyebutkan hingga kini grup usaha sektor sawit perusahaan itu terdiri atas 26 perusahaan perkebunan. Jumlah perusahaan ini mereka pertahankan setelah empat perusahaan, mereka jual pada 2021, diantaranya PT Sawit Sukses Sejahtera (SSS), PT Agrolestari Kencana Makmur (AKM), dan PT Bumi Sawit Utama (BSU).

Auriga Nusantara melakukan analisis terhadap tujuh perusahaan perkebunan milik perusahaan grup PT EHP berbasis HGU dan empat perusahaan berbasis Pelepasan Kawasan Hutan (PKH). Analisis tujuh perusahaan berbasis HGU tercatat melakukan deforestasi seluas 28.084 hektare dalam rentang 2001-2021. Sedangkan deforestasi empat perusahaan berbasis PKH mencapai 2.649 ha dalam rentang 2001-2021. 

Sedangkan kebakaran lahan terdeteksi di tiga perusahaan grup Eagle High Plantation berdasar HGU. Burn area PT Suryabumi Tunggal Perkasa (STP) terdeteksi seluas 1.105 ha pada 2015, seluas 100 ha pada 2018, dan 112 ha pada 2019.

Area kebakaran PT Arrtu Plantation tercatat seluas 19 ha pada 2015, seluas 32 ha pada 2018, seluas 318 ha pada 2019, dan 9 ha pada 2020. Selain itu area kebakaran juga terjejak di PT Singaland Asetama seluas 18 ha pada 2015. 

Sedangkan kebakaran lahan nampak di dua perusahaan grup Eagle High Plantation berdasar PKH, yakni PT Varia Mitra Andalan seluas 137 ha pada 2020 dan PT Wana Catur Jaya Utama, seluas 1 ha pada 2015 serta 128 ha pada 2019.  

Penanaman di lahan gambut juga terdeteksi di satu perusahaan berbasis HGU, yakni PT Bumi Langgeng Perdanatrada, seluas 3.617 ha dan satu perusahaan berbasis PKH, yakni PT Varia Mitra Andalan seluas 680 Ha

Felda Dan Kasus 1MDB

Seluruh perusahaan ini terhubung dengan Felda melalui kepemilikan saham FIC Properties Sdn Bhd di PT EHP. 

Website Felda menyebutkan lembaga itu dibentuk untuk mengentaskan kemiskinan melalui penanaman kelapa sawit dan karet pada 1956. Pada 1990 pemerintah Malaysia menetapkan Felda menjadi badan hukum untuk mengembangkan bisnis. Lembaga ini pun mendirikan entitas perusahaan swasta seperti FELDA Holdings Sendirian Berhad, FELDA Plantations Sendirian Berhad, dan FELDA Global Ventures (FGV). 

Mereka juga mendirikan Koperasi Modal FELDA (KPF), yang pada awalnya juga terlibat dalam operasi bersama dengan FELDA Holdings. 

Setelah FGV tercatat di Bursa Malaysia pada Juni 2012, FELDA juga mendirikan FELDA Investment Corporation (FIC).

Pada 2015, Felda mulai melirik pembelian saham PT EHP melalui sayap usahanya, FGV. Namun proses pembelian ini tidak berjalan mulus. Oposisi di parlemen Malaysia menganggap harga 37 persen saham itu terlalu mahal. 

Dikutip dari Bareksa, Felda berniat membeli saham PT EHP melalui anak usahanya, FGV. Nilai pembelian saham BWPT (nama entitas saham Eagle High Plantation) oleh Felda mencapai 680 juta Dolar AS atau sekitar Rp 9 triliun untuk 37 persen saham. 

Rajawali akan menjual sebagian dari 65,5 persen kepemilikannya di BWPT kepada FGV dengan tunai dan tukar guling saham. Meskipun kepemilikannya berkurang, Grup Rajawali akan tetap memegang kendali manajemen BWPT.

FGV beralasan harga itu merupakan transaksi terendah bila dibanding tiga transaksi terakhir dalam tiga tahun terakhir di kawasan regional. Nilai ini ini dilihat dari biaya campuran (blended cost) BWPT senilai 17.400 Dolar AS per hektar lahan tertanam, lebih rendah dibanding tiga transaksi FGV sebelumnya.

FGV juga menyebutkan profil perkebunan PT EHP masih muda. Rata-rata umur tanaman FGV sekitar 15 tahun, sedangkan BWPT hanya 8 tahun. 

"Ini akan meningkatkan yield dalam jangka dekat dan mengurangi biaya capex yang diperlukan untuk penanaman kembali," kata Dato' Mohd Emir Mavani Abdullah dalam jumpa pers bersama manajemen Rajawali Corpora di Jakarta, Jumat 12 Juni 2015.

Dikutip dari Tempo.co, pembelian baru terealisasi pada akhir 2016. Felda membeli saham 37 persen PT EHP senilai 505,4 juta Dolar AS melalui anak usahanya FIC Properties SDN Bhd.  

Namun pada 2018, kekalahan dan skandal 1MDB, memicu kontroversi atas keberhasilan pembelian ini. CNBC Indonesia menyebutkan Direktur Jenderal Felda, Datuk Dr Othman Omar, mengajukan laporan kepada polisi di unit kejahatan komersial kepolisian setempat yang mengklaim bahwa Felda ditipu karena didorong untuk mencaplok BPWT yang dimiliki oleh Rajawali Group. Ia mengaku Najib Razak telah mengarahkan Felda untuk berinvestasi di BWPT melalui akuisisi 37 persen saham. 

Hal ini diungkapkan dalam surat Kementerian Keuangan Malaysia kepada Felda tanggal 8 Desember 2015. Menurutnya rencana akuisisi itu juga ditawarkan kepada beberapa lembaga termasuk FGV Holdings Bhd, Dewan Minyak Perkebunan Malaysia, dan Dewan Karet Malaysia sebelum akhirnya Felda ‘dipaksa’ membeli PT EHP.

Perjanjian pembelian dianggap sepihak dan menguntungkan Rajawali. Felda sendiri menyadari ada banyak risiko atas kesepakatan tersebut. Selain harga yang terlalu tinggi tanpa kewenangan sebagai pengendali, risiko lain adalah perusahaan CPO tersebut tidak mengantongi akreditasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). 

Selain itu, mantan Direktur Felda, Shahrir Abdul Samad, juga terseret kasus yang membelit Najib Razak, penerimaan dana investasi 1Malaysia Pengembangan Berhad (1MDB).