Studi Iklim: Bumi Menuju Kehancuran yang Belum Dipetakan

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Senin, 19 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Peluang dunia untuk menghindari skenario terburuk akibat kerusakan iklim berkurang dengan cepat. Para ilmuwan dalam studi terbaru menyatakan bahwa saat ini dunia memasuki “wilayah kehancuran yang belum dipetakan” karena kegagalan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengambil tindakan pencegahan. 

Laporan United in Science, terbit Selasa, menyatakan saat ini pemerintah dan dunia bisnis tidak cukup cepat berubah. Meskipun selama beberapa tahun terakhir ilmuwan telah memberikan peringatan intensif mengenai bencana iklim. 

Konsekuensinya terlihat dari berbagai cuaca yang semakin ekstrem di seluruh dunia, dan saat ini kita berada dalam bahaya memprovokasi “titik kritis” dalam sistem iklim. Artinya, dunia lebih cepat menuju sejumlah perubahan atau kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi. 

Banjir baru-baru ini di Pakistan, yang diklaim oleh  menteri iklimnya telah menutupi sepertiga negara dengan air, adalah contoh terbaru dari cuaca ekstrem yang menghancurkan sebagian sebagian besar dunia. Gelombang panas di seluruh Eropa musim panas tahun ini, kekeringan berkepanjangan di China, kekeringan besar di Amerika Serikat, dan kondisi kelaparan di beberapa bagian Afrika juga mencerminkan cuaca ekstrem yang semakin lazim. 

Seorang bocak kecil mengambil air dari genangan di Somalia. Negara tersebut telah menderita kekeringan parah selama lima tahun terakhir. Foto: UNICEF/Sebastian Rich

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonia Guterres mengatakan: “Tidak ada yang biasa tentang skala baru dari bencana ini. Mereka adalah harga dari kecanduan bahan bakar fosil umat manusia. Laporan United in Science ini menunjukkan dampak iklim menuju ke wilayah kehancuran yang dipetakan.”  

Menurut laporan tersebut, saat ini kenaikan suhu tidak akan melebihi 1.5C di atas tingkat pra-industri selama lima tahun ke depan. Pemerintah telah sepakat untuk fokus pada menjaga suhu dalam batas 1.5C pada pertemuan puncak iklim COP26 di Glasgow November tahun lalu. Namun laporan tersebut menemukan bahwa janji dan tindakan untuk mengurangi emisi tidak memenuhi apa yang dibutuhkan. 

Sejak COP26, invasi Rusia ke Ukraina dan melonjaknya harga gas telah mendorong beberapa pemerintah untuk kembali ke bahan bakar fosil, termasuk batu bara. Guterres memperingatkan hal ini berbahaya.

“Setiap tahun kecanduan kita terhadap energi fosil berlipat ganda, meskipun gejala (kerusakan iklim) semakin parah,” kata Guterres. 

Laporan itu menilai dunia juga telah gagal beradaptasi dengan konsekuensi krisis iklim. Guterres mengutuk negara-negara kaya yang telah menjanjikan bantuan untuk dunia berkembang namun gagal memenuhinya. 

“Ini adalah skandal bahwa negara-negara maju telah gagal untuk menyikapi adaptasi secara serius, dan mengabaikan komitmen mereka untuk membantu negara berkembang,” katanya. 

Sebelumnya telah disepakati bahwa negara-negara kaya harus menyedikan dana $40 miliar setahun sekaligus untuk membantu negara berkembang beradaptasi. Dan angka itu harusnya meningkat menjadi $300 miliar per tahun pada 2030. 

Direktur eksekutif Jaringan Aksi Iklim Tasneem Essop mengatakan, pemerintah harus mempersiapkan COP27 di Mesir tahun ini dengan rencana aksi yang mencerminkan urgensi krisis. 

“Gambaran mengerikan yang digambarkan oleh laporan United in Science sudah menjadi kenyataan hidup bagi jutaan orang yang menghadapi bencana iklim yang berulang. Ilmunya jelas, namun kecanduan bahan bakar fosil oleh perusahaan serakah dan negara-negara kaya mengakibatkan kerugian dan kerusakan bagi masyarakat yang paling sedikit berkontribusi pada krisis iklim saat ini.” 

“Bagi mereka yang mengalami darurat iklim, khususnya di selatan global, konferensi COP27 di Mesir harus menyetujui pendanaan baru untuk membantu mereka membangun kembali kehidupan mereka,” tambah Essop. 

Laporan United in Science dikoordinasikan World Meteorological Organization, dan melibatkan UN Environment Programme, UN Office for Disaster Risk Reduction, the World Climate Research Programme, Global Carbon Project, Met Office Inggris, dan Urban Climate Change Research Network.

Beberapa temuan utama dalam laporan United in Science: 

  • Tujuh tahun terakhir merupakan tahun terpanas dalam catatan dan ada kemungkinan 48% selama setidaknya satu tahun dalam lima tahun berikutnya akan mengalami suhu rata-rata tahunan 1.5C lebih tinggi di atas rata-rata 1850-1900.
  • Suhu rata-rata global diperkirakan antara 1.1C dan 1.7C lebih tinggi dari tingkat pra-industri pada periode 2022-2026, dan ada kemungkinan 93% bahwa setidaknya satu tahun dalam lima tahun berikutnya akan lebih hangat dari tahun terpanas sejauh ini yakni 2016. 
  • Penurunan emisi karbon dioksida selama penguncian yang terkait dengan pandemi Covid-19 bersifat sementara, dan emisi karbon dioksida dari bahan bakar fosil kembali ke tingkat pra-pandemi tpada 202.
  • Janji nasional tentang emisi gas rumah kaca tidak cukup untuk menahan pemanasan global hingga 1,5C di atas tingkat pra-industri.
  • Bencana terkait iklim menyebabkan kerugian ekonomi sebesar $200 juta per hari.
  • Hampir setengah dari planet ini – 3,3 hingga 3,6 miliar orang – tinggal di daerah yang sangat rentan terhadap dampak krisis iklim, tetapi kurang dari setengah negara memiliki sistem peringatan dini untuk cuaca ekstrem.
  • Saat pemanasan global meningkat, "titik kritis" dalam sistem iklim tidak dapat dikesampingkan. Ini termasuk pengeringan hutan hujan Amazon, pencairan lapisan es dan melemahnya sirkulasi balik meridional Atlantik, yang dikenal sebagai arus Teluk.
  • Pada tahun 2050-an, lebih dari 1,6 miliar orang yang tinggal di 97 kota akan secara teratur terpapar suhu rata-rata tiga bulan yang mencapai setidaknya 35C.