Explainer: Mengapa G20 Penting Bagi Iklim dan Transisi Energi?

Penulis : Kennial Laia

SOROT

Rabu, 21 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Indonesia memegang presidensi G20 sejak 1 Desember 2021. Sepanjang tahun, berbagai agenda dan pertemuan diselenggarakan di berbagai kota, melibatkan puluhan ribu delegasi. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Bali pada November mendatang, yang dihadiri setiap kepala negara anggota, akan menjadi puncak dari forum ini.

Presidensi kali ini bisa dikatakan penting karena Indonesia menjadi negara anggota pertama dari ekonomi berkembang yang menghelatnya. Mengusung tema “Pulih Bersama, Bangkit Perkasa” atau “Recover Together, Recover Stronger”,  pemerintah mencanangkan tiga isu prioritas yang meliputi infrastruktur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi.

Pemilihan isu transisi energi dalam presidensi G20 sangat relevan. Pasalnya saat ini seluruh dunia tengah menghadapi dampak krisis iklim.

Sektor energi, khususnya pembakaran batu bara yang memproduksi gas kuat seperti karbon dioksida, merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca, dan bertanggung jawab atas 35% dari total emisi global.  

Presiden Joko Widodo melewati sejumlah bendera negara-negara peserta Group of Twenty (G20). Dok Instagram @jokowi

Lalu, mengapa G20 penting?

Anggota forum G20 terdiri dari negara maju dan berkembang. Sebanyak 19 negara dan Uni Eropa merupakan 20 ekonomi terbesar di seluruh dunia. Jika digabungkan, ekonominya menyumbang sekitar 80% dari output ekonomi global, dan hampir 75% dari ekspor global, dan mencakup sekitar 60% populasi dunia.

Meski demikian, Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, Presidensi G20 Indonesia diharapkan dapat memberi manfaat bagi negara berkembang di tengah pandemi Covid-19.

“Di sinilah sebenarnya kita melihat peran Indonesia sangat penting bahwa kita ingin menjadikan Presidensi Indonesia tidak hanya memberikan kemashlahatan bagi 20 negara ekonomi terbesar, tapi juga memberikan dampak bagi negara-negara lainnya, terutama negara berkembang,” kata Faizasyah.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Indonesia punya kesempatan menunjukkan kepemimpinan dalam merespons berbagai tantangan internasional. Di sisi lain, forum tersebut juga penting untuk menjembatani kepentingan negara berkembang maupun negara maju. 

“G20 harus mampu menjembatani kepentingan negara berkembang dan negara maju. Tentu saja, kepentingan nasional adalah yang utama bagi pemerintah Indonesia, yakni pemulihan ekonomi yang inklusif, berdaya tahan, dan berkelanjutan,” kata Airlangga. 

Negara anggota G20 secara kolektif bertanggung jawab atas 75% gas rumah kaca global. Laporan oleh Climate Transparency pada 2021 mencatat bahwa untuk membatasi kenaikan suhu pada 1.5°C, G20 memiliki peran penting dengan berkomitmen pada target pengurangan emisi dan menerapkan kebijakan yang sejalan dengan jalur 1.5°C sesuai Perjanjian Paris.  

Perjanjian Paris pada 2015 menetapkan dunia harus mempertahankan kenaikan suhu pada 1.5°C. Untuk mencapai hal ini, ilmuwan dalam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan dunia harus mengurangi 45% emisi pada 2030 dan mencapai net zero pada 2050. Ini jika ingin menghindari dampak iklim yang katastrofik. 

Komitmen iklim dalam Perjanjian Paris mewajibkan negara anggota untuk menyerahkan dokumen target berupa Nationally Determined Contributions (NDC). Sayangnya, pada April 2021 Climate Transparency, sebuah kemitraan global yang mendorong aksi iklim di negara-negara G20, justru mengeluarkan penilaian bahwa dampak mitigasi gabungan dari Nationally Determined Contributions (NDC) tidak memadai dan akan menyebabkan pemanasan 2.4°C pada akhir abad ini.

Temuan ini juga menggarisbawahi kebutuhan mendesak bagi anggota G20 untuk memperkuat arus kebijakan dan tindakan iklim. Intinya, harus ada target ambisius 2030 yang selaras dengan target nol bersih pada 2050 nanti. 

Sebanyak 133 negara plus Uni Eropa telah menyerahkan dokumen NDC termutakhir kepada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC). Berdasarkan analisis Climate Action Tracker, 23 diantaranya memiliki target yang lebih kuat, termasuk 27 negara yang tergabung dalam Uni Eropa. 

 

Sementara itu 12 negara yang dianalisis tidak meningkatkan ambisinya, termasuk Indonesia. Dari dokumen yang ada, Indonesia mencanangkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional. 

Dalam dokumen perencanaan yang diserahkan ke UNFCCC, Indonesia tidak mengubah ambisi. Namun yang berbeda, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan target penurunan emisi sebesar 59,76% persen pada 2030. 

Penyerapan bersih dari hutan dan lahan (net sink FOLU) yang dituangkan dalam dokumen Long Term Strategy Low Carbon Climate Resilience (LTS-LCCR). Salah satu aksi mitigasi sektor FOLU ini adalah pengelolaan hutan lestari, antara lain melalui penerapan multi usaha kehutanan dan reduced impact logging

Namun fakta bahwa target tidak diperbarui, menunjukkan bahwa target iklim Indonesia belum mencerminkan sense of urgency untuk merespons krisis iklim yang dihadapi dunia.  

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia telah mengalami dampak krisis iklim. Dalam lima tahun terakhir, angka bencana hidrometeorologi mendominasi atau sebanyak 95%.  Bencana tersebut di antaranya banjir, curah hujan ekstrem, longsor, dan kebakaran hutan dan lahan. Dua tahun terakhir jumlahnya pun meningkat.

Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), per 1 Januari - 1 September 2022, jumlah bencana telah mencapai 2.372 kejadian, yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi basah. Sementara itu pada 2021, terjadi 3.058 bencana sepanjang tahun 2021. 

Kerugian yang diderita fantastis. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Indonesia diperkirakan memiliki kerugian ekonomi akibat krisis iklim mencapai Rp 112,2 triliun. “Angka tersebut 0,5% dari PDB tahun 2023,” kata Menteri Sri.  

Sementara itu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas memperkirakan, Indonesia dapat mengalami kerugian sebesar Rp 544 triliun hingga tahun 2024 akibat dampak perubahan iklim. Empat sektor terbesar yang paling terdampak adalah pesisir dan laut, pertanian, kesehatan, dan perairan. 

Namun, sebagai salah satu dari 10 negara penghasil emisi terbesar di seluruh dunia, target Indonesia saat ini belum ambisius untuk mengatasi perubahan iklim. 

Indonesia semakin sering mengalami bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim. Foto udara menunjukkan situasi usai banjir bandang melanda Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada September 2020. Dok Teguh Pratama/Tim Reaksi Cepat BNPB

Analisis Carbon Brief pada Oktober 2021 mengungkap, Indonesia menempati peringkat keempat negara penghasil emisi terbesar dunia sejak 1850. Kontribusinya mencapai 4,1 persen. 

Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 mencatat, emisi karbon Indonesia mencapai 932 ribu ton karbon dioksida (CO2e) pada 2001. Angka ini meningkat menjadi 1,15 juta ton CO2e pada 2017. Penyumbang terbesar adalah sektor energi dan kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU).

Pada 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan jumlah emisi karbon dioksida yang dihasilkan di Indonesia mencapai 1,262 gigaton. Di antaranya, 35 persen berasal dari pembangkit listrik batu bara.  

Dus, menjadi penting Indonesia fokus pada pengurangan emisi di sektor energi. Pemerintah telah menargetkan bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025. Hingga akhir 2021, Kementerian ESDM mengklaim telah mencapai 11,5 persen dari total energi nasional. Dan masih ada 11,5 persen atau 10 GW lagi hingga empat tahun mendatang.

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga telah merumuskan beberapa langkah. Mulai dari pengembangan pembangkit energi baru terbarukan, dengan target kapasitas tambahan 20,9 GW dan bauran energi terbarukan sebesar 24,8 persen pada 2030. 

Perusahaan pelat merah tersebut juga mengklaim akan mulai memensiunkan pembangkit listrik batu bara (PLTU) subcritical pada 2030, sebesar 1 GW. Pada 2040, akan ada tambahan penghapusan 19 GW sub/supercritical. Dan terakhir 23 GW ultra super critical pada 2056. 

Namun Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustafa menyebut, upaya tersebut belum memadai. Pasalnya, saat ini pemerintah masih merencanakan pembangunan PLTU batu bara dengan total kapasitas 13,8 GW.

“Jadi tantangan terbesar (transisi energi) adalah bagaimana merealisasikannya,” kata Tata.

Apakah G20 kali ini akan ‘berdampak’ pada komitmen/kebijakan domestik?

Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada KTT Roma 2021, menyatakan: “Indonesia ingin G20 memimpin dunia dalam kerja sama penanganan perubahan iklim dan pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan. Ini harus disertai dengan tindakan nyata.” 

Pemerintah juga telah menerbitkan berbagai rencana untuk net zero. Mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bappenas, dan sebagainya.

Tren pejabat dan menteri saat ini menyatakan hendak beralih ke energi hijau. Salah satunya, Menteri Keuangan Sri Mulyani yang telah menyatakan bahwa pemerintah akan meninggalkan energi fosil. Namun Indonesia memerlukan bantuan biaya. 

Menurut Sri Mulyani, Indonesia membutuhkan biaya penanganan perubahan iklim sebesar US$ 247,2 miliar atau setara Rp 3.461 triliun hingga 2030. Dengan kata lain, setiap tahun Indonesia membutuhkan sumber daya sebesar Rp 266,2 triliun. Namun, saat ini alokasi anggaran hanya 4,1% dari APBN, dengan jumlah sekitar Rp 86,7 triliun. Angka yang tidak memadai. 

Salah satu isu utama yang dibawa Indonesia pada G20 kali ini adalah transisi energi, Menurut Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst di Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), hal ini sejalan dengan kepentingan Indonesia yang membutuhkan investasi besar jika ingin beralih dari batu bara ke energi bersih dan terbarukan. 

Elrika mengatakan, perkembangan diskursus mengenai transisi energi terus bergulir dan dunia perlahan beralih pada alternatif yang lebih bersih. Hal ini memaksa Indonesia untuk berpikir ulang, sebagai negara kaya sumber daya alam dan bergantung pada ekstraksi energi fosil.

“Indonesia sadar, ketika dunia sudah mulai beralih, maka ketersediaan kapital untuk sektor ekstraktif mulai berkurang. Ini ada risiko keberlanjutannya,” kata Elrika.

“Ada niat besar untuk transisi energi, tapi di satu sisi Indonesia riding the wave. Karena tren dunia mengarah ke sana, pemerintah tidak punya pilihan kecuali ikut tren kalau ingin tumbuh dan mendapatkan modal,” jelas Elrika.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, presidensi G20 dapat memberi manfaat dalam arti bisa mengakselerasi transisi energi di Indonesia.

Fabby, sekaligus Co-Chair untuk engagement group Civil 20 (C20), mengatakan kelompok kerja bidang transisi energi akan membahas isu akses dan peningkatan akses, kerja sama teknologi pendukung, dan pembiayaan berkelanjutan.

“Saya kira tiga hal itu relevan dalam konteks Indonesia,” kata Fabby. 

Selain itu ada tiga isu prioritas yang akan didorong oleh C20. Pertama, pensiun dini PLTU. Langkah ini penting jika Indonesia ingin mendukung target kenaikan suhu di bawah 1.5C. Setelah pensiun, maka pemerintah perlu menggenjot akselerasi energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Dengan catatan, kebutuhan energi harus terjangkau dan berkelanjutan.

Isu lainnya adalah mengenai pembiayaan batu bara. “Kami mendorong agar negara G20 memiliki ketentuan untuk tidak lagi mendanai energi fosil ke depan. Apalagi saat ini negara G20 sedang menyusun taksonomi pembiayaan hijau, termasuk Indonesia,” ujar Fabby.

“Perlu ada ketegasan untuk menyatakan bahwa perbankan tidak mendanai pembangunan infrastruktur energi fosil yang memiliki dampak serta proyek energi yang berdampak pada naiknya emisi gas rumah kaca secara langsung maupun tidak langsung,” tambahnya. 

Penampakan PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dari udara. Sektor energi, seperti industri kelistrikan yang menggunakan batu bara serta pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU) merupakan sektor penyumbang emisi terbesar Indonesia. Dok Kasan Kurdi/Greenpeace

Namun, Tata masih pesimis bahwa presidensi Indonesia akan membawa dampak pada kebijakan domestik maupun negara anggota lainnya. Menurutnya, saat ini masih terdapat kesenjangan besar antara pernyataan pemimpin negara dengan realisasi untuk transisi energi. Termasuk Indonesia.

“Dengan Indonesia yang secara domestik juga punya persoalan dan lambat dalam melakukan transisi energi, presidensi Indonesia akan sulit mendorong G20 melakukan transisi energi,” kata Tata.

Yang jelas adalah jika G20 berubah dan melakukan akselerasi transisi energi, negara lainnya akan mengikuti. Mengapa? Sebab G20 mencakup sebagian besar perekonomian global dan menghasilkan sebagian besar emisi dunia. 

Update terakhir transisi energi G20

Pada Perjanjian Paris 2015, negara-negara di dunia bersepakat untuk membatasi kenaikan suhu Bumi di bawah 1.5C, demi menghindari bencana iklim. Untuk mencapai target ini, transisi energi harus dilakukan. Dalam hal ini, sistem ekonomi harus diubah, terutama dari sektor energi. Dekarbonisasi, phase-out batu bara, harus dimulai.

Analisis terbaru dari International Renewable Energy Agency (Irena) mengungkap bahwa transisi energi global saat ini masih lambat dan tidak memadai. Padahal, kedaulatan energi dan pemulihan ekonomi bergantung pada perkembangan ini.

“Transisi energi masih jauh dari jalurnya dan tanpa aksi radikal pada tahun-tahun mendatang akan mengurangi, bahkan meniadakan peluang untuk memenuhi tujuan iklim kita,” kata Direktur Jenderal Irena, Francesco La Camera

“Menerapkan kebijakan yang sesuai dengan Perjanjian Paris dan agenda pembangunan berkelanjutan adalah pilihan politik,” ujar La Camera. “Karena itu berinvestasi pada infrastruktur bahan bakar fosil baru hanya akan membuka praktik yang tidak ekonomis, melanggengkan risiko yang ada, dan meningkatkan ancaman perubahan iklim.” 

Saat ini energi terbarukan hanya mencakup 14% dari seluruh sektor. Irena menyerukan agar angka itu digenjot menjadi 40% pada 2030. Elektrifikasi dan efisiensi energi merupakan kunci utama, yang didorong oleh energi bersih terbarukan, hidrogen, dan biomassa berkelanjutan.

Penambahan energi terbarukan global tahunan harus bertambah tiga kali lipat, agar sejalan dengan rekomendasi IPCC. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bertenaga batu bara juga harus digantikan, sejalan dengan phasing out energi fosil, dan infrastrukturnya juga harus dimutakhirkan. 

Dalam hal ini, negara G20 sebagai pengguna energi terbesar dan penghasil emisi karbon dioksida terbesar diharapkan untuk mendukung pasokan global sebesar 65% pada pembangkit listrik pada 2030.

Irena juga mendesak agar negara-negara G20 meningkatkan ambisi Nationally Determined Contributions (NDC) dan rencana energi nasionalnya dalam Glasgow Climate Pact untuk memberi kepastian dan panduan strategi investasi yang sejalan dengan kenaikan suhu pada 1.5C di atas level pra-industri.

Pada 2021, pemerintah negara G20 membuat gebrakan dengan janji memenuhi target iklim. Namun penelitian terbaru dari Bloomberg NEF (BNEF) mengungkap bahwa hingga saat ini belum ada satu pun negara yang telah menyediakan kebijakan memadai untuk mencapai dekarbonisasi.

G20, khususnya, masih menyediakan dana $600 miliar per tahun untuk mendukung bahan bakar fosil, menurut analisis BNEF. Beberapa negara telah berkomitmen untuk memotong pembiayaan ini, namun tidak disertai dengan aksi memadai.

Bagaimana aksi/komitmen iklim G20 selama ini?

Laporan termutakhir Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada 28 Februari kembali menyorot peran penting G20 untuk mengurangi emisi global.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan bahwa negara-negara di dunia, terutama G20 yang bertanggung jawab atas 80% emisi global untuk “meninjau kembali dan memperkuat target pengurangan emisi 2030 pada tahun ini.” Ini diperlukan untuk menyelaraskan dengan target Perjanjian Paris, jika dunia ingin menghindari dampak bencana perubahan iklim.

Hingga saat ini belum ada solusi berarti dari G20 untuk mengatasi perubahan iklim. Analisis terhadap stimulus fiskal G20 untuk pemulihan pandemi Covid-19 bahkan mengungkap, hanya 6% dari total USD 14 triliun ditujukan pada kebijakan atau pengeluaran “hijau”. Jumlah ini dinilai sangat rendah dari besarnya dana yang digelontorkan.

Pada KTT Roma 2021, misalnya, para pemimpin untuk pertama kalinya menyepakati perlunya tindakan mendesak dan efektif untuk membatasi pemanasan global. Namun, aktivis kecewa karena deklarasi itu tetap tidak menawarkan solusi konkret atau komitmen yang berarti.

Melalui pidato pembukaan pada COP26 di Glasgow, 2021, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan umat manusia tengah "menggali kuburnya sendiri". Guterres mendesak komunitas internasional untuk berhenti menggunakan energi fosil, penyebab utama krisis iklim. 

Ahli dan ilmuwan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan ambang batas 1.5°C kenaikan suhu untuk menghindari percepatan dramatis peristiwa iklim ekstrem seperti kekeringan, badai, gelombang panas, dan banjir. Jika tidak, taruhannya sangat besar – diantaranya adalah kelangsungan hidup negara-negara dataran rendah, dan dampaknya terhadap mata pencaharian ekonomi di seluruh dunia dan stabilitas sistem keuangan global. 

Untuk mencapai target 1.5°C, PBB menyatakan bahwa pemerintah di seluruh dunia harus mencapai emisi nol bersih pada 2050. Namun, pertemuan di Roma tidak menghasilkan komitmen bagaimana negara anggota mencapai target nol bersih pada pertengahan abad tersebut.

Selain itu, pendanaan iklim dari negara maju sebesar $100 miliar per tahun untuk ekonomi berkembang masih mandek. Bahkan COP26 di Glasgow tahun lalu menyatakan bahwa pendanaan 2020 telah terlewatkan.

COP26, yang digelar pada 31 Oktober 2021 - 12 November 2021, melahirkan sebuah kesepakatan iklim baru, bernama Glasgow Climate Pact. Kesepakatan di dalamnya mulai dari penguatan upaya resiliensi terhadap krisis iklim, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan pendanaan iklim. 

Selain itu banyak negara menambahkan target net-zero emisi jangka panjang dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDCs). Selain itu, terdapat 40 negara berjanji menyetop penggunaan batu bara. Juga, pernyataan ambisius seputar deforestasi dan emisi metana. Namun, sulit untuk memastikan pelaksanaan janji-janji ini karena tidak mengikat secara hukum. 

Keterlibatan G20 sangat penting karena merupakan economic powerhouse sekaligus penghasil emisi terbesar. Negara G20 harus punya standar umum dan tindakan bersama. Dari seluruh aspek, penting untuk G20 memiliki keputusan bersama untuk mendukung komitmen yang dibuat Glasgow dalam hal penanganan perubahan iklim.

Pada KTT COP26, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan bahwa Indonesia berkontribusi pada penanganan perubahan iklim. Dia mengklaim bahwa deforestasi mencapai titik terendah selama 20 tahun terakhir dan kebakaran hutan turun 82% pada 2020. Selain itu rehabilitasi mangrove dilakukan di lahan seluas 600 ribu hektare hingga 2024. 

Dari sisi energi, Jokowi mengatakan, Indonesia terus mendorong energi bersih dan berkelanjutan. Melalui pengembangan mobil listrik dan pembangkit listrik surya atap. 

Jokowi juga mengumumkan pengesahan peraturan presiden tentang nilai ekonomi karbon, yang di dalamnya turut mencakup perdagangan karbon dan pajak karbon. Pemerintah mengklaim hal ini dapat mendukung upaya penurunan emisi lainnya. 

Poster G20 di bilangan Senayan, Jakarta Pusat. Dok Kennial Laia/Betahita

Iqbal Damanik, peneliti Greenpeace Indonesia, menilai perdagangan karbon tidak akan menjadi solusi iklim, yang tujuannya menurunkan emisi gas rumah kaca. 

“Perdagangan karbon yang katanya transparan, adalah mekanisme tipu-tipu hijau belaka karena mekanisme pasar memberikan ruang bagi korporat pembuat karbon untuk terus melakukannya,” kata Iqbal. 

Sementara itu Kelompok Kerja ECE C20 Indonesia menyesali ketidakmampuan para menteri lingkungan atau iklim dari negara G20 untuk menyepakati komunike bersama. Dalam diskusi tentang krisis iklim di Bali. 

“Negara-negara G20 juga seharusnya bisa menyepakati komitmen yang lebih ambisius untuk menghentikan perusakan ekosistem alam, baik darat, pesisir, maupun laut, dan mempercepat pemulihan ekosistem yang rusak dalam rangka mencegah kenaikan suhu bumi di atas 1.5C,” ungkap Anggalia Putri, Koordinator Sub-Kelompok Kerja AFOLU dan Hak dari Kelompok Kerja ECE C20 Indonesia.  

“Menjaga ekosistem alam, terutama hutan alam tersisa, merupakan upaya mitigasi krisis iklim yang efektif biaya dari sektor pertanian, kehutanan, dan pemanfaatan lahan lain,” tambahnya. 

November mendatang, konferensi iklim COP27 digelar kembali, di Sharm El-Sheikh, Mesir. Para pemimpin dunia, tak terkecuali negara G20 akan hadir dan kembali bernegosiasi serta mengevaluasi aksi iklimnya. Dengan menyempitnya waktu, kesempatan ini harus benar-benar digunakan untuk mengambil aksi yang lebih serius. 

Secara khusus G20 harus mengambil aksi nyata, sebagai penyumbang terbesar emisi yang memicu pemanasan global. Indonesia yang memegang presidensi G20 tahun 2022 sebaiknya mengambil kesempatan ini untuk memimpin dunia dalam aksi keselamatan bumi. 

Reportase untuk artikel ini didukung oleh Earth Journalism Network, Internews