Merugi di Balik Kebijakan Hilirisasi Nikel

Penulis : Sadam Afian Richwanudin, Peneliti Hukum Yayasan Auriga Nusantara

Opini

Senin, 10 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Dalam beberapa dekade ke belakang, nikel telah menjadi komoditas seksi yang memikat dunia industri. Digitalisasi dan modernisasi di berbagai sektor nyatanya membutuhkan nikel sebagai bahan baku, seperti untuk membuat baterai, telepon selular, hingga peralatan rumah tangga.

Fakta tersebut tentu dapat menjadi keuntungan yang besar bagi Indonesia sebagai salah satu penghasil nikel terbesar di dunia. Cadangan terkira nikel di Indonesia sebesar 2,8 miliar metrik ton, yang tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Papua Barat, dan Maluku Utara.

Membaca narasi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya mineral, sejak terbitnya UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), hingga UU Minerba terbaru Nomor 3/2020, dengan berbagai aturan teknis turunannya, semangat peningkatan nilai tambah masih menjadi tujuan utama dalam pengelolaan nikel.

Optimalisasi kegiatan ini tercermin dalam kebijakan hilirisasi yang terus didorong dari tahun ke tahun. Melalui hilirisasi, pemerintah berharap pelaku industri tidak lagi mengekspor bijih nikel dalam bentuk mentah, melainkan sudah diolah baik dalam bentuk jadi maupun setengah jadi.

Tampak dari ketinggian kawasan industri nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Sulawesi Tenggara./Foto: Auriga/Yudi Nofandi

Namun, pada implementasinya banyak persoalan yang menimbulkan celah kecurangan dan potensi terjadinya korupsi, yang dapat menimbulkan kerugian negara. Kerugian tersebut terjadi antara lain dalam hilangnya royalti dan bea keluar akibat ekspor ilegal, evaluasi smelter nikel yang mengakibatkan gagalnya investasi dalam penyertaan modal negara (PMN), serta dimanfaatkannya fasilitas dan insentif perpajakan oleh oknum.

Penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Yayasan Auriga Nusantara menemukan beberapa celah kerugian keuangan negara dalam beberapa poin berikut.

Pertama, kerugian keuangan negara akibat kehilangan royalti dan bea keluar dari ekspor ilegal bijih nikel. Semenjak Pemerintah menetapkan kebijakan hilirisasi, terdapat beberapa kali perubahan regulasi yang dilakukan untuk mendorong percepatan industri pembangunan dan pemurnian nikel.

Namun, pada praktiknya perubahan ini justru cenderung inkonsisten dari apa yang sudah diatur oleh undang-undang. Perubahan peraturan yang mengatur proses bisnis industri nikel membuat kondisi pasar domestik juga berubah. Akibatnya, timbul potensi pelanggaran aturan yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Salah satu bentuk pelanggaran tersebut adalah ekspor bijih nikel ilegal.

Dalam UU Nomor 4/2009 dan peraturan teknis turunannya telah diatur bahwa dalam periode 2017-2019, relaksasi ekspor bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7 persen hanya diberikan pada perusahaan yang sedang atau telah membangun smelter.

Kebijakan untuk memberikan izin ekspor bijih nikel kadar rendah dimaksudkan untuk menjaga suplai smelter dalam negeri. Hal ini karena hampir semua smelter di Indonesia dibangun dengan asumsi input nikel dengan kadar di atas 1,8 persen. Sedangkan di sisi lain, sumber daya dan cadangan nikel di Indonesia didominasi oleh nikel dengan kadar rendah.

Sementara saat ini, terdapat 328 pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tersebar di Sulawesi, Maluku, dan Papua Barat. Di hilir industri, baru 27 smelter yang telah beroperasi. Beberapa smelter juga merupakan pemegang izin smelter stand-alone yang tidak memiliki perusahaan pertambangan.

Padahal, untuk dapat melakukan ekspor, IUP tambang harus memiliki afiliasi dengan smelter. Namun, dalam praktiknya terdapat banyak IUP tambang yang tidak memiliki afiliasi, sehingga agar hasil produksinya dapat terserap maka beberapa di antaranya melakukan ekspor ilegal. Hal ini disebabkan karena pemegang IUP harus melakukan penambangan, sementara kapasitas pengolahan smelter dalam negeri terbatas.

Dalam temuan yang diolah oleh Direktorat DNA KPK, terdapat temuan dugaan ekspor nikel di luar ketentuan. Dengan asumsi bahwa nikel yang diekspor merupakan low grade (kadar <1,7 persen), terdapat selisih atau kelebihan ekspor pada 2017 dan 2019, dengan nilai total 358 ribu WMT. Sehingga dimungkinkan tidak hanya nikel kadar rendah, namun terdapat nikel kadar tinggi yang diekspor pada periode relaksasi 2017-2019.

Dalam hasil analisis Direktorat DNA KPK lainnya, ditemukan bahwa dari sampling 400 vessel di pelabuhan bongkar China pada 2017-2019, hasil surveyor SGS menyimpulkan 62 persen dari 248 vessel memuat nikel dengan kadar nikel di atas 1,7 persen, sementara 25 persen dari 100 vessel memuat nikel dengan kadar di atas 1,8 persen. Dari jumlah tersebut terdapat 18 vessel dari Indonesia yang mengangkut kurang lebih 31 juta ton nikel dengan kadar di atas 1,7 persen.

Dalam temuan lainnya terdapat perbandingan data HS Code 2604, antara impor yang dirilis oleh Tiongkok dan data ekspor Indonesia yang menunjukkan masih terdapat nikel dalam bentuk ore yang diterima oleh Tiongkok pada periode 1 Januari 2020 hingga laporan ini dirilis. Sehingga ekspor ilegal bijih nikel sampai saat ini diduga masih terjadi meskipun larangan mutlak ekspor bijih nikel telah ditetapkan.

Sejak Januari 2020, sejumlah sekitar 4 juta WMT nikel dengan HS Code 2604 dilaporkan diterima oleh Bea Cukai Tiongkok dari Indonesia, dengan nilai USD229,8 juta--sekitar Rp3,2 triliun. Dari angka tersebut, negara kehilangan potensi penerimaan dari sisi royalti, bea keluar, dan penerimaan negara lain akibat bijih nikel yang seharusnya dapat dilakukan proses pemurnian namun diekspor secara ilegal.

Berdasarkan berbagai temuan tersebut, dengan skema Peningkatan Nilai Tambah (PNT) untuk nikel kadar 1,7 persen maka negara kehilangan potensi royalti dan bea keluar sebesar Rp996 miliar pada 2019.

Penerapan relaksasi ekspor untuk nikel kadar rendah sejatinya berakhir pada 11 Januari 2022. Namun pemerintah kemudian mengesahkan Permen ESDM No. 11/2019 yang bertujuan untuk mempercepat larangan ekspor menjadi 31 Desember 2019. Dinamika regulasi yang sangat cepat tanpa adanya upaya penyiapan pelaku pasar berpotensi menimbulkan gejolak dan upaya melawan aturan.

Kedua, lemahnya sistem penilaian, monitoring dan evaluasi pembangunan smelter. Pengawasan pembangunan melalui sistem penilaian dan monitoring dan evaluasi progres Kurva S oleh Kementerian ESDM merupakan cara agar pembangunan smelter tidak molor.

Namun nyatanya sistem ini tidak mampu memastikan pembangunan smelter selesai sesuai dengan target dan menghasilkan nilai tambah. Dampaknya, selain molornya pembangunan beberapa smelter, tercatat 8 smelter terancam mangkrak. Mangkraknya 8 smelter yang ditargetkan beroperasi pada 2021 dipicu oleh beberapa faktor salah satunya evaluasi teknologi pemurnian yang tidak efisien.

Berdasarkan data audit smelter Kementerian ESDM, beberapa smelter dibangun dengan teknologi yang tidak kompetitif akibat biaya operasi yang besar, kapasitas output kecil, dan teknologi pemurnian yang tidak sesuai lagi (outdated). Smelter yang mangkrak ini berpotensi merugikan negara dari nilai investasi yang telah dikeluarkan negara, apalagi jika perusahaan smelter memperoleh penyertaan modal negara dan insentif perpajakan.

Sebagai contoh, kasus pembangunan P3FH PT Aneka Tambang (Antam) yang tidak bisa beroperasi sesuai target pada 2019, karena permasalahan pembangunan pembangkit. Dampaknya, perusahaan tamnang plat merah itu dan pemerintah harus menanggung kegagalan investasi dari penyertaan modal negara sebesar Rp3,5 triliun. Kerugian lainnya berupa insentif perpajakan senilai Rp350 miliar, serta fasilitas perpajakan (tax holiday) sebesar Rp350 miliar, jika sampai September 2022 pabrik tersebut belum beroperasi.

Selain itu, dampak dari lemahnya evaluasi dan pengawasan dalam pembangunan pembangkit untuk P3FH, PT Antam juga harus menanggung biaya preservasi Rp14 miliar per tahun, biaya bahan bakar Rp12 miliar per tahun, serta biaya relokasi mesin penyedia pembangkit sebesar Rp1,6 miliar.

Tanpa adanya standar dalam evaluasi teknologi smelter dari pembuat kebijakan, maka akan terus ada oknum perusahaan yang memanfaatkannya untuk mendapatkan relaksasi ekspor dan insentif perpajakan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perusahaan yang telah melakukan ekspor bijih nikel secara masif pada 2017 hingga 2019, namun realisasi pembangunan smelter masih jauh dari target.

Ketiga, celah dalam perumusan dan penerapan Harga Patokan Mineral (HPM) berpotensi mendorong terjadinya ekspor ilegal. Pemerintah sebenarnya telah mengatur HPM logam dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam untuk menjaga keseimbangan dan keadilan antara pemilik smelter dan penambang.

Meski peraturan ini berlaku sejak 14 Mei 2020, namun dalam implementasinya belum semua pihak mematuhi peraturan ini. Padahal terkait transaksi jual beli bijih nikel, pelaku usaha wajib mengacu pada HPM logam, yang mana HPM tersebut merupakan harga batas bawah dalam penghitungan kewajiban pembayaran iuran produksi oleh penambang.

Dalam diskusi KPK dengan ekonom Faisal Basri, di semester pertama 2021, harga nikel internasional pada SMM (Shanghai Metal Market) sebesar USD79,61 per ton. Sedangkan harga nikel domestik pada HPM hanya USD38,19 per ton.

Menurut keterangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), ekspor satu ton bijih nikel kadar rendah (<1,7 persen) dihargai USD35 per ton, sedangkan penjualan nikel domestik dengan kadar tinggi (>1,8 persen) hanya dihargai USD24 per ton. Oleh karena itu, pemberlakuan percepatan kebijakan larangan ekspor nikel dikhawatirkan memicu ekspor ilegal, akibat selisih harga yang terjadi serta dapat mengganggu pasokan bijih nikel untuk smelter.

Perbedaan harga biji nikel di dalam negeri dan luar negeri memicu upaya pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan lebih dengan cara ekspor ilegal. Para penambang cenderung memilih ekspor karena harga bijih nikel yang dijual untuk pasar domestik cenderung lebih rendah dibandingkan harga ekspor.

Selain soal harga, salah satu celah dalam implementasi HPM adalah definisi HPM sebagai harga FOB (Free on Board) dibandingkan HPM sebagai harga CIF (Cost, Insurance, Freight). HPM + 2 USD didefinisikan sebagai harga CIF, sehingga HPM + 2 USD tidak hanya merupakan harga murni bijih nikel, namun meliputi biaya asuransi dan ongkos kirim.

Disamping itu, dalam transaksi, pihak penambang juga harus menanggung biaya asuransi dan kelebihan ongkos kirim jika melebihi USD2 per WMT, padahal regulasi menyatakan HPM adalah harga murni bijih nikel.

Dalam kondisi tertentu para penambang juga harus menanggung denda akibat perbedaan kadar dan spesifikasi bijih nikel. Sehingga, dalam kenyataannya, jika penambang melakukan penjualan dalam negeri dengan skema kontrak FOB, maka pembayaran yang diperoleh hanya sebesar USD19.35 atau kurang dari 50 persen HPM.

Hal ini dapat terjadi sebab dalam implementasinya, transaksi antara penambang dan pembeli, baik trader maupun perusahaan smelter, lebih terikat dan diatur oleh kontrak dalam transaksi business to business (B to B) antara kedua pihak alih-alih beracuan pada regulasi yang berlaku.

Dengan berbagai faktor kelemahan dalam implementasi aturan HPM, terbuka kondisi dimana penambang lebih memilih untuk melakukan ekspor ilegal sebab harga di pasar ekspor lebih tinggi. Selain itu, faktor tidak kredibelnya hasil analisis akhir kadar mineral oleh perusahaan surveyor yang ditunjuk oleh perusahaan smelter sebagai dasar pembayaran juga turut serta dalam mendistorsi implementasi kebijakan HPM.

Hal ini ditambah dengan tidak adanya standarisasi survei seperti metode sampling, sertifikasi personel, jangka waktu kalibrasi laboratorium, tidak adanya witness survey verification, dan lemahnya penegakan sanksi pada jasa surveyor.

Kekosongan standar mengakibatkan sering terjadi perbedaan hasil survei di titik muat yang dilakukan surveyor penambang dan di titik bongkar yang dilakukan surveyor perusahaan smelter yang dapat menimbulkan benturan kepentingan akibat jasa surveyor bongkar berpotensi menurunkan kadar bijih nikel agar pembayaran oleh smelter lebih rendah.

Jika kadar bijih nikel semakin rendah, maka terjadi pengenaan denda akibat perubahan kadar nikel yang membuat pembayaran oleh perusahaan smelter kepada penambang menjadi semakin rendah. Berbagai celah dan kelemahan dari penerapan HPM berpotensi mendorong ketidakadilan dalam pasar nikel dalam negeri dan memicu penambang untuk melakukan ekspor bijih nikel ilegal dengan alasan ekonomi.

Penulis menyarankan, penyusunan kebijakan dalam proses panjang peningkatan nilai tambah, perlu disusun secara transparan, hati-hati, dan dengan pertimbangan yang matang. Kemudian mendorong Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian untuk menyusun roadmap industrialisasi komoditas nikel hingga ke sektor hilir industri siap pakai.

Selanjutnya, perlu dilakukannya evaluasi ulang terhadap pembangunan smelter terhadap perusahaan, terutama yang mendapat insentif dari kuota ekspor dan fasilitas lain dari negara berdasarkan indikator kinerja utama. Terakhir melakukan revisi skema perhitungan HPM untuk mencegah ekspor bijih nikel ilegal dan piloting penegakan sanksi secara tegas pada perusahaan yang tidak mematuhi HPM dalam transaksi bijih nikel dalam negeri.