Janji Kesejahteraan di Food Estate Dianggap Sekedar Jargon

Penulis : Aryo Bhawono

Food Estate

Kamis, 17 November 2022

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID -  Presiden Joko Widodo berjanji memperjuangkan kesejahteraan keluarga miskin melalui toleransi dan kerja sama pada Global Food Security Forum yang berlangsung pada 12-13 November 2022 sebagai bagian dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Namun Pantau Gambut menganggap janji ini sebagai pepesan kosong mengingat jargon kesejahteraan’ dalam program food estate justru kesampingkan masyarakat, terutama petani. 

Jokowi mengungkap, selaku pemimpin, dirinya mengaku terus memperjuangkan kesejahteraan keluarga miskin dan berpenghasilan rendah. Ia pun memastikan terus berusaha keras untuk memperjuangkan kepentingan mereka dalam berbagai forum-forum dunia.

"(Kesejahteraan) tidak bisa dibangun dengan keserakahan dan rivalitas, tapi harus dibangun oleh toleransi dan kerja sama yang saling menguntungkan," jelasnya.

Pada forum yang sama, Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, juga mengingatkan pemimpin dunia bahwa tujuan paling penting saat ini adalah ketersediaan dan keterjangkauan harga pangan di dunia. 

Presiden Joko Widodo meninjau lahan food estate di Pulang Pisau, Kamis (8/10/2020)./Foto: Biro Pers – Setpres

Meski begitu, Pantau Gambut menilai pernyataan-pernyataan tersebut hanya sebatas jargon yang disampaikan pemerintah dalam forum internasional. Food Estate menjadi satu contoh definisi “kesejahteraan” hanya menjadi jargon yang dibuat pemerintah tanpa melihat kondisi di lapangan. 

Mereka beranggapan melihat masyarakat yang terdampak program Food Estate hanya akan sebatas menjadi objek pembangunan, bukan subjek pembangunan. 

“Pendekatan ketahanan pangan, kerap kali hanya meletakkan keterjangkauan harga dan ketersediaan pangan sebagai faktor utama, petani tidak diletakkan sebagai subyek utama, hal ini bisa dilihat pada program food estate,” ucap Pengkampanye Pantau Gambut, Wahyu A. Perdana. 

Problem berkurangnya akses petani terhadap lahan di Kalimantan Tengah, bisa dilihat dari kenaikan rumah tangga petani gurem dari sebanyak 77,40 persen. Angka ini melonjak dari 29.083 pada tahun 2013, menjadi 51.594 pada tahun 2018 (BPS 2018). 

Menurutnya kondisi ini dibebani oleh program food estate, yang memperbesar ketimpangan lahan. 

Studi yang dilakukan Pantau Gambut menemukan ketimpangan penguasaan lahan yang, terlebih pada kelompok petani yang lahannya dirampas untuk diubah menjadi lahan Food Estate. Terdapat lahan-lahan masyarakat di Kalimantan Tengah yang digarap secara sepihak oleh pemerintah tanpa adanya koordinasi dengan pemiliknya. 

Padahal, UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan jelas menyebutkan adanya perlindungan kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani. 

Faktanya di lapangan, proyek Food Estate tidak meletakkan petani sebagai subjek utama dalam program pemenuhan pangan, bahkan tidak jarang petani kehilangan akses tanahnya untuk digunakan sebagai lokasi penanaman Food Estate. 

Selain konsekuensi yang diterima petani, dampak terhadap tutupan hutan juga cukup signifikan. Analisis Pantau Gambut menunjukan kemerosotan angka tutupan hutan di lokasi Food Estate. Tiga kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah (Pulang Pisau, Kapuas, dan Gunung Mas) menunjukan hilangnya tutupan pohon hingga lebih dari 3.700 hektar dalam kurun waktu 26 bulan (Januari 2020- Maret 2022). 

Padahal, tidak sedikit masyarakat yang menggantungkan hutan sebagai tempat bermata pencaharian. 

“Temuan tersebut berbanding terbalik dengan jargon “kesejahteraan” yang dibawa oleh Presiden Jokowi dan jajarannya, apakah ‘kesejahteraan’ hanya sebatas peningkatan angka PDB atau sejenisnya. Padahal, jika berbicara pemenuhan pangan, tidak semestinya mengorbankan petani dan lingkungan,” pungkas Wahyu.