Banjir dan Kekeringan Global Memburuk Karena Pemanasan Global

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Kamis, 16 Maret 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Intensitas kekeringan dan curah hujan ekstrem telah meningkat selama 20 tahun terakhir. Fenomena cuaca dinilai berhubungan dengan krisis iklim, dan berujung pada gagal panen, kerusakan infrastruktur, dan bahkan krisis kemanusiaan dan konflik. 

Studi terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature Water, Senin (13/3), meneliti keterkaitan tersebut dari aspek air. Para peneliti menggunakan data dari dua satelit Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) yang mengukur perubahan pada cadangan air bumi. Jumlah semua air di atas dan di dalam tanah, termasuk air tanah, air permukaan, es, dan salju.

Para peneliti mengonfirmasi bahwa frekuensi dan intensitas curah hujan dan kekeringan mengalami peningkatan yang dipicu oleh pembakaran bahan bakar fosil dan aktivitas manusia lainnya yang melepaskan gas rumah kaca. 

Para peneliti mengamati 1.056 peristiwa dari tahun 2002-2021 menggunakan algoritme baru yang mengidentifikasi di mana tanah jauh lebih basah atau lebih kering dari biasanya.

Dua dewasa dan satu anak-anak berjalan di tengah air pasca banjir besar melanda Pakistan Juni lalu. Bencana tersebut dipicu curah hujan ekstrem dan mencairnya gletser usai gelombang panas parah, yang semuanya terhubung dengan perubahan iklim. Dok EPA

Hasilnya menunjukkan hujan paling ekstrem terus terjadi di Afrika sub-Sahara, setidaknya hingga Desember 2021. Curah hujan ekstrem juga terjadi di Amerika Utara bagian tengah dan timur dari 2018-2021, dan Australia selama 2011-2012.

"Saya terkejut melihat seberapa erat korelasi intensitas global dengan suhu rata-rata global," kata Matthew Rodell, penulis studi dan wakil direktur ilmu Bumi untuk hidrosfer, biosfer, dan geofisika di NASA Goddard Space Flight Center, dikutip dari Phys.org. 

Kaitan kuat antara iklim ekstrem ini dan peningkatan suhu rata-rata global ini mengindikasikan pemanasan global yang berkelanjutan. Ini artinya lebih banyak kekeringan dan badai hujan yang lebih buruk dalam  semua skala—lebih sering, lebih parah, lebih lama, dan lebih besar.

Kekeringan paling intens adalah yang memecahkan rekor di Amerika Selatan bagian timur laut dari 2015-2016. Kemudian di wilayah Cerrado Brasil yang dimulai pada 2019 dan berlanjut hingga saat ini. Rekor berikutnya adalah kekeringan yang sedang berlangsung di Amerika Barat Daya yang menyebabkan tingkat air sangat rendah di dua waduk terbesar AS, Danau Mead dan Danau Powell. Debit kedua danau tetap rendah meski telah turun hujan lebat tahun ini. 

Sementara itu kejadian kekeringan juga melebihi jumlah kejadian hujan lebat sebesar 10%. Luas geografis dan durasi hujan pun serupa. 

Studi tersebut mencatat bahwa infrastruktur seperti bandara dan pabrik pengolahan limbah yang dirancang untuk menahan peristiwa sekali dalam 100 tahun menjadi lebih menantang karena hal-hal ekstrem ini terjadi lebih sering dan dengan intensitas yang lebih besar.

“Melihat ke masa depan, dalam hal pengelolaan sumber daya air dan pengendalian banjir, kita harus mengantisipasi bahwa ekstrem basah akan semakin basah dan ekstrem kering akan semakin kering,” kata Richard Seager, ilmuwan iklim di Observatorium Bumi Lamont Doherty di Universitas Columbia, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Seager mengatakan adalah suatu kesalahan untuk berasumsi bahwa ekstrem basah dan kering di masa depan dapat dikelola sama seperti di masa lalu karena "semuanya akan menguat di kedua ujung spektrum kering-basah."

Menurut Sistem Informasi Kekeringan Terintegrasi Nasional AS, 20% dari kerugian ekonomi tahunan akibat peristiwa cuaca ekstrem di AS berasal dari banjir dan kekeringan.

Selain itu pergeseran drastis antara kekeringan ekstrem dan banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang dijuluki "pukulan cuaca", menjadi hal biasa di beberapa daerah.

Tekanan air diperkirakan akan secara signifikan memengaruhi masyarakat miskin yang kehilangan haknya serta ekosistem yang kekurangan dana dan dieksploitasi.

Hal ini telah terjadi di berbagai negara. Perserikatan Bangsa-Bangsa, misalnya, mengumumkan Somalia mengalami kekeringan terpanjang dan terparah, yang menyebabkan kematian jutaan ternak dan kelaparan yang meluas. Venezuela, negara yang telah menghadapi krisis politik dan ekonomi selama bertahun-tahun, melakukan pemadaman listrik nasional selama April 2016 sebagai akibat dari kondisi kekeringan yang memengaruhi ketinggian air Bendungan Guri.

Adapun solusinya, menggunakan air banjir untuk mengisi kembali akuifer yang terkuras dan meningkatkan kesehatan tanah pertanian sehingga dapat menyerap air dengan lebih baik dan menyimpan lebih banyak karbon hanyalah beberapa metode yang dapat meningkatkan ketahanan air di dunia yang memanas, kata studi tersebut.