Aktivis Desak Bank BUMN Terlibat Pembiayaan Energi Terbarukan

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Rabu, 15 Maret 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Bank BUMN dinilai belum berkontribusi besar dalam membantu Indonesia menurunkan emisi karbon. Portofolio pendanaan sektor energi bersih di bank pelat merah masih sangat kecil jika dibandingkan dengan portofolio dan kredit sektor ekstraktif termasuk batu bara.

Lilia Purnamawati, analis Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Indonesia mengatakan, pendanaan untuk energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) saat ini belum memadai. Berdasarkan data Kementerian ESDM per akhir 2022,  Indonesia memerlukan dana sebesar Rp 60,61 triliun. Namun angka terpenuhi baru Rp23,6 triliun atau hanya 38,94% dari target 2022. 

Angka tersebut juga masih jauh dari total rencana investasi energi baru terbarukan yang dibutuhkan hingga 2030, yakni sebesar Rp 1.917 triliun. 

“Emisi nasional akan terus meningkat jika tidak diimbangi dengan peningkatan pembiayaan EBT. Nantinya juga akan sulit bagi Indonesia untuk memenuhi target pengurangan emisi di tahun 2030 dan net zero emission pada tahun 2060,” ujar Lilia dalam diskusi bertajuk “Pesan Krisis Iklim untuk Pemegang Saham dan CEO di RUPS Bank BUMN” di Jakarta Pusat, Senin (13/3).

Desakan untuk energi terbarukan dalam gerakan #BersihkanBankmu yang diikuti anak muda di Jakarat Juli lalu. Dok 350 Indonesia

Menurut Lilia, Indonesia masih memberikan ruang kepada investasi komoditas batu bara sehingga mengaburkan pesan Indonesia dalam peningkatan energi bersih. Indonesia membutuhkan dana Rp 8,28 triliun untuk hilirisasi delapan sektor prioritas termasuk sektor batu bara. Hal ini akan menurunkan kepercayaan perbankan untuk memberikan kredit kepada proyek-proyek energi bersih.

Terlebih, saat ini pembiayaan proyek EBT masih memiliki sejumlah kendala. Pertama, tarif listrik  EBT lebih tinggi jika dibandingkan dengan tarif listrik yang berasal dari pembangkit listrik batubara. Selain itu bank BUMN juga belum terlibat dalam pembiayaan proyek energi terbarukan.  

“Lau ada tingkat risiko yang sama antara proyek skala kecil-menengah dan skala besar. Kendala keempat adalah investasi EBT memiliki payback period yang cukup lama, jika dibandingkan dengan batu bara. Kelima, terbatasnya pengetahuan perusahaan pengembang mengenai akses pembiayaan EBT dan perbankan mengenai sektor EBT,” terang Lilia. 

Juru Kampanye Keuangan dan Energi Market Forces Binbin Mariana mengatakan, pendanaan terhadap batu bara yang terus meningkat ini berbanding terbalik dengan tren pendanaan energi di dunia yang mulai berhenti mendanai energi fosil tersebut. Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan investasi di fossil fuel baru adalah ‘kegilaan moral dan ekonomi.’ Menurutnya, pembiayaan batu bara memiliki risiko transisi yang tinggi yang dapat menyebabkan kerugian finansial. 

“Tren coal phase-out global saat ini menunjukkan bahwa sebenarnya pembiayaan ke bisnis batu bara berisiko tinggi secara finansial. Bank nasional harus segera mengambil peran yang lebih signifikan untuk menghindari kerugian. Mereka harus memiliki kebijakan untuk berhenti membiayai energi batu bara. Celakanya, di Indonesia, belum ada bank yang punya kebijakan seperti itu,” papar Binbin.

Menurut Binbin, saat ini tidak ada perbankan nasional Indonesia yang bergabung dalam Net-zero Banking Alliance atau bank-bank dunia yang memiliki komitmen untuk net-zero emission 2025. Padahal, jika dibandingkan dengan Bangladesh, terdapat The Citi Bank Limited yang bergabung dalam komitmen ini. 

Menurut Juru Kampanye 350 Indonesia Suriadi Darmoko, dukungan finansial yang terus berlanjut di sektor bisnis batu bara ini kontradiktif dengan berbagai upaya Indonesia dalam menggalang dana internasional untuk transisi energi. 

“Setidaknya saat ini ada dua skema transisi yang kerap kita dengar, yaitu Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM). Pendanaan untuk sektor bisnis batu bara yang terus berlanjut dari Bank BUMN ini kontraproduktif dengan berbagai skema transisi energi yang saat ini disepakati,” jelas Suriadi.

Menurut Suriadi, Pendanaan bisnis batu bara dari Bank BUMN akan menjadi batu sandungan bagi transisi energi di Indonesia. Akan ada kerugian besar akibat terus berlanjutnya pendanaan BNI dan Bank BUMN ke sektor batubara terhadap program transisi tersebut. Suriadi khawatir target yang dicanangkan dalam JETP tidak tercapai. 

Jika berkaca dari JETP di Afrika Selatan, proporsi hibah hanya 3%, sisanya hutang. “Jika aksi iklimnya gagal, maka Indonesia hanya akan menambah hutang,” kata Suriadi. 

Suriadi mendorong agar bank pelat merah di dalam negeri mulai mengalihkan pendanaan dari batu bara ke energi terbarukan. 

“Di tengah ancaman krisis iklim yang terus meningkat, kami menyerukan kepada para pemegang saham bank BUMN untuk mendesak bank BUMN berhenti mendanai batu bara,” pungkas Suriadi.