Ancaman Solusi Palsu Energi Terbarukan Hantui Jawa Barat

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Kamis, 16 Maret 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Energi Bersih (Kutub) Jawa Barat (Jabar) menganggap Provinsi Jabar berada dalam ancaman solusi palsu energi baru terbarukan. Hal ini merujuk pada penerapan co-firing biomassa di sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di provinsi tersebut, yang dianggap tidak menghasilkan energi bersih dan hanya akan menambah ancaman kesehatan warga sekitar PLTU, serta memicu deforestasi.

Co-firing pada PLTU merupakan istilah teknologi pemanfaatan biomassa sebagai substitusi parsial batu bara untuk dibakar di boiler atau ketel uap PLTU. Metode ini diklaim pemerintah akan mempercepat transisi energi fosil ke energi terbarukan. Namun tidak demikian bagi pengamat energi dan aktivis lingkungan.

PLTU batu bara sudah sejak lama dianggap sebagai penyumbang pencemaran lingkungan tertinggi, dengan dampak buruk terhadap kualitas udara, kesehatan publik, dan ekosistem laut. Kegiatan pembakaran batu bara di PLTU juga menghasilkan emisi karbon sebagai Gas Rumah Kaca (GRK) yang mendorong perubahan iklim.

Koalisi menilai, atas situasi tersebut seharusnya Pemerintah Indonesia telah menyadari pentingnya membatasi emisi besar-besaran dari energi fosil, seperti PLTU batu bara. Namun tindakan pemerintah masih terkesan sekadar wacana, dan terus berdalih bahwa proses pensiun dini PLTU akan dilakukan secara bertahap.

Kepingan kayu, salah satu jenis biomassa yang dicampur dengan batu bara pada PLTU co-firing. Foto: mightyearth.org

Khusus Provinsi Jabar, pemerintah setempat masih belum memiliki komitmen dan keberanian untuk segera bertransisi energi. Hal ini terlihat dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Jabar. Dari 25,8% proyeksi EBT di Jawa Barat tahun 2050, 16,02% berasal dari bioenergi, yaitu sebesar 6,3 juta ton, dengan proyeksi penyediaan listrik hingga 0,5 MWh.

Rencana pemanfaatan biomassa di dalam RUED tersebut diterjemahkan melalui program co-firing biomassa di beberapa PLTU di Jawa Barat. Dari uji coba co-firing di 52 PLTU se-Indonesia, 2 PLTU di antaranya berlokasi di Jabar, yaitu PLTU Indramayu 1 (3 x 330 Mw) dan PLTU Pelabuhan Ratu (3 x 350 Mw). Dua PLTU raksasa ini menggunakan bahan bakar campuran batu bara dan serbuk gergaji kayu.

Padahal status energi biomassa sebagai bahan bakar bersih dan netral karbon masih diperdebatkan, bahkan di lingkup internasional. Klaim sifat netral karbon biomassa tengah ditentang, karena menghasilkan hutang karbon yang tidak akan tertutup dalam jangka waktu yang cukup untuk melawan perubahan iklim.

Kebutuhan bahan bakar biomassa yang sangat besar juga berisiko besar berujung pada deforestasi skala besar. Riset Trend Asia menunjukkan, implementasi co-firing di 52 PLTU akan memproduksi emisi hingga 26,48 juta ton setara emisi karbon, dan menimbulkan potensi deforestasi hingga 2,33 juta hektare. Bahkan, lebih dari 500 peneliti internasional telah menandatangani petisi menentang status biomassa kayu sebagai energi terbarukan.

Di Indonesia, implementasi program co-firing biomassa dianggap menyumbang target bauran energi terbarukan, padahal masih membakar 90-95% batu bara. Koalisi menganggap skema co-firing biomassa hanya solusi palsu transisi energi yang berisiko dijadikan alasan untuk menunda pensiun PLTU.

Manajer Program Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, mengatakan klaim co-firing biomassa netral karbon adalah klaim yang keliru. Karena seluruh emisi yang dihasilkan, mulai dari pembukaan hutan hingga pembakaran biomassa di PLTU, akan menjadi hutang karbon yang tidak mungkin dilunasi dari penanaman tanaman energi. Namun, klaim salah tersebut malah dijadikan justifikasi untuk jual beli karbon di PLTU Indramayu dan Pelabuhan Ratu.

"Ini terbukti dengan masuknya dua PLTU tersebut dalam daftar Peserta Perdagangan Karbon. Program co-firing di PLTU tidak hanya menghambat transisi energi, tapi justru kontradiktif dalam melawan perubahan iklim, dan hanya menguntungkan para pebisnis di industri batu bara dan kehutanan,” terang Amalya, dalam keterangan pers, Rabu (15/3/2023).

Terlepas dari potensi dampak yang akan terjadi, program co-firing terus berlanjut. Untuk memenuhi suplai biomassa, PLN bekerja sama dengan Perum Perhutani untuk penyediaan lahan tanaman energi seluas 70 ribu hektare.

Dalam kerja sama tersebut, Perum Perhutani telah menyediakan lahan untuk tanaman energi di empat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yakni KPH Sukabumi, KPH Sumedang, KPH Indramayu serta KPH Purwakarta. Luas total lahan tanaman energi yang sudah ada sekitar 11 ribu hektare, ditanami tanaman gamal dan kaliandra.

Melihat situasi tersebut, Kutub Jabar menilai, rencana pensiun dini PLTU secara bertahap masih sekadar wacana. Skema co-firing biomassa adalah solusi palsu yang dapat dijadikan alasan untuk memoles PLTU agar terkesan bersih, dan menunda pemensiunan dini PLTU yang seharusnya menjadi agenda mendesak.

Manager Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar, Wahyudin, menyebut operasi kegiatan PLTU I Indramayu, yang sudah menerapkan co-firing biomassa, telah menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan sekitar. Asap pekat berwarna hitam yang dihasilkan PLTU ini selalu membanjiri kampung halaman warga dan menimbulkan gangguan kualitas udara maupun kesehatan warga. Selain itu, juga mengganggu hasil panen pertanian tanaman pangan petani di sekitar PLTU.

"Yang sering kali diresahkan warga, jika arah mata angin bertuju langsung ke pemukiman warga, maka selama PLTU masih dengan cara bakar-bakaran dengan batu bara dan dicampur dengan serbuk kayu. Bagi kami co-firing biomassa bukan solusi untuk bertransisi energi, jauh lebihnya bukan juga solusi untuk menurunkan efek gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh kegiatan PLTU,“ kata Wahyudin.

Mu’it Pelu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menambahkan, PLTU yang menggunakan energi kotor dan seharusnya pensiun dini, justru usianya akan semakin panjang dengan adanya skema pengganti sebagian (co-firing biomassa) batu bara di PLTU.

"Ini merupakan keputusan gegabah yang dilakukan oleh negara. Dengan keputusan tersebut telah jelas bahwa negara telah merampas hak untuk hidup sehat warga negaranya,” tutur Mu'it.