Jangan Ada Ampun untuk Korporasi

Penulis : Hilman Afif, Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara

Opini

Rabu, 24 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pada akhir tahun lalu, pemerintah merilis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja No. 2 Tahun 2022. Tidak ada hal substansial yang berubah dari Undang-Undang Cipta Kerja. Termasuk Pasal 110A dan Pasal 110B yang masih dipertahankan. Beberapa pihak menyebut beleid ini adalah “kado tahun baru” bagi pengusaha sawit. Hadirnya Perpu ini seolah menegaskan posisi pemerintah yang berdiri tepat di sisi korporasi.

Undang-Undang (UU) Cipta Kerja Pasal 37 angka 20 menambahkan Pasal 110A dan Pasal 110B pada UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), sebagai pasal tambahan yang mengatur norma sanksi administrasi. Pasal tersebut mengatur 2 bentuk pelanggaran/keterlanjuran.

Pertama, kegiatan usaha perkebunan sawit dalam kawasan hutan yang telah terbangun di dalam kawasan hutan dan memiliki izin lokasi/izin usaha perkebunan tetapi belum memiliki perizinan di bidang kehutanan (Pasal 110A). Kedua, kegiatan usaha (pertambangan, perkebunan dan usaha lain) yang telah terbangun dalam kawasan hutan, namun belum memiliki perizinan berusaha. Dua bentuk pelanggaran/keterlanjuran tersebut, menurut UU Cipta Kerja Jo. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2021, diselesaikan menggunakan pendekatan sanksi administrasi.

Penerapan sanksi administrasi disebut-sebut sebagai mekanisme “pengampunan” bagi pelanggar perizinan bidang kehutanan. Kehadiran pasal ini adalah alat untuk mengampuni seluruh kegiatan, tak terbatas pada pertambangan dan perkebunan, yang berada di dalam kawasan hutan.

Perkebunan sawit PT BAP di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, teridentifikasi berada di dalam kawasan hutan./Foto: Auriga Nusantara

Melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah saat ini gencar mengejar para entitas yang berkegiatan di kawasan hutan. Terlihat dari surat keputusan (SK) tentang data dan informasi kegiatan yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan, yang berjilid-jilid diterbitkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sejak Juni 2021 lalu.

Melalui sidang dengar pendapat yang digelar pada 22 Agustus 2022, sektor perkebunan menjadi kegiatan usaha terbanyak yang terbangun di dalam kawasan hutan. Tercatat KLHK sudah memiliki 7 SK dengan total subjek hukum yaitu 1.192, dan 616 entitas di antaranya adalah korporasi.

Pemerintah harus jeli dan berhati-hati

Banyaknya entitas yang melakukan kegiatan di dalam kawasan hutan, seharusnya menjadi dasar pemerintah melalui KLHK agar tidak salah langkah dalam memberikan “pengampunan”.

Pertama, Pasal 110A dan Pasal 110B harus diposisikan sebagai pasal yang berpihak, terutama kepada masyarakat. Pasal pengampunan ini harus ditujukan kepada masyarakat yang melakukan kegiatan di kawasan hutan, dan tidak berlaku untuk korporasi.

Alasannya sederhana, faktor ekonomi adalah faktor utama yang menyebabkan masyarakat melakukan kegiatan pada Kawasan hutan. Seperti yang diungkap dalam salah satu studi di kawasan hutan di Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur, yang menyatakan tingkat pendapatan yang rendah memaksa masyarakat untuk memperluas lahan.

Seperti dinyatakan Prof. Amos Neolaka (2008) dalam Buku Kesadaran Lingkungan, bahwa kemiskinan adalah masalah utama yang mendorong masyarakat melakukan perambahan, sebab masyarakat tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Secara singkat, ketakutan untuk tidak makan di hari esok, melampaui ketakutan untuk masuk penjara.

Meski demikian, pemerintah tetap perlu menaruh perhatian. Masalahnya tidak sedikit pula korporasi yang menjadi “master of puppets” dari aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Pola-pola ini terjadi di banyak kasus.

Kasus-kasus dimaksud beberapa di antaranya diungkap oleh Majalah Tempo bersama Auriga Nusantara dalam laporan mengenai Tangan Korporasi di Luar Konsesi. Hasil liputan kolaborasi tersebut menemukan lahan perhutanan sosial seluas 517,26 hektare yang dimiliki oleh masyarakat melalui Koperasi Pajar Hutan di Jambi, ternyata tidak dikelola sepenuhnya oleh koperasi. Melainkan dikendalikan oleh PT Wirakarya Sakti (WKS), milik Sinarmas Forestry.

Pola seperti ini sering terjadi di Sumatera. Dalam artikel lainnya di Majalah Tempo, banyak perusahaan yang memakai kedok perhutanan sosial untuk memperluas area tanam demi mendapatkan tambahan pasokan bahan baku kayu. Majalah Tempo menyebut mereka sebagai free rider.

Kedua, pemerintah tidak boleh hanya sekedar menerapkan sanksi administrasi melalui Pasal 110A dan Pasal 110B terhadap korporasi yang melakukan kegiatan di kawasan hutan. Berbeda dengan masyarakat, korporasi secara nyata memiliki kepentingan bisnis yang lebih kuat. Mereka ditopang dengan modal yang besar.

Pasal 110A dan Pasal 110B hanya menjadi celah bagi korporasi untuk mengulur waktu dalam memproses izin prinsip ataupun izin di sektor kehutanan. Mereka diberi jangka waktu selama 2 tahun untuk menyelesaikan perizinan. Pasal ini seharusnya digunakan oleh pemerintah hanya untuk mengidentifikasi entitas yang berkegiatan di dalam kawasan hutan.

Penjatuhan pidana terhadap perusahaan-perusahaan yang masuk dalam mekanisme penyelesaian administrasi Pasal 37 angka 20 UU Cipta Kerja pasca-disahkan masih memungkinkan. Sebagaimana dilihat dalam Pasal 37 angka 20 UU Cipta Kerja, Pasal 110A dan Pasal 110B merujuk pada perbuatan yang dilarang dalam Pasal 17 UU P3H. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 17 diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 92 dan Pasal 93 UU P3H.

Bahkan tidak menutup kemungkinan jika dikaitkan juga dengan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atau UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) seperti yang diungkap oleh pengadilan dalam kasus Surya Darmadi.

Pada akhir Februari 2023, Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun dalam kasus korupsi usaha perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Group. Tak hanya itu, majelis hakim turut menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp2,2 triliun dan kerugian perekonomian negara hingga Rp39,7 triliun.

Tuntutan pembayaran kerugian perekonomian negara ini menyangkut perkebunan milik Surya Darmadi yang dibangun tanpa memiliki izin usaha perkebunan (IUP) dan hak guna usaha (HGU). Dalam kasus tipikor ada 4 unsur yang harus terpenuhi, terutama dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Unsur-unsur itu yakni unsur setiap orang, unsur melawan hukum, unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Ini seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah untuk segera mengungkap dugaan potensi kerugian keuangan dan perekonomian negara, terutama terhadap korporasi yang beroperasi di kawasan hutan, namun tidak memiliki izin sektor perkebunan maupun izin di sektor kehutanan. Pemerintah melalui KLHK harus aktif berkoordinasi dan mendorong kejaksaan untuk melakukan investigasi dan penyelidikan lebih lanjut pada korporasi yang masuk dalam skema Pasal 110A dan Pasal 110B.