LIPUTAN KHUSUS:
KLHK Lepas 5,4 Juta Hektar Hutan untuk Sawit
Penulis : Redaksi Betahita
Betahita.id – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK telah melepaskan areal hutan untuk perkebunan sawit seluas 5.418.413 hektare. KLHK mengklaim, pelepasan hutan itu untuk mendukung pembangunan nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui subsektor perkebunan. BACA: Masyarakat Adat Papua Tuntut Perkebunan Sawit Keluar dari Tanah Ulayat Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto di Jakarta,
Hutan
Senin, 31 Desember 2018
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK telah melepaskan areal hutan untuk perkebunan sawit seluas 5.418.413 hektare. KLHK mengklaim, pelepasan hutan itu untuk mendukung pembangunan nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui subsektor perkebunan.
BACA: Masyarakat Adat Papua Tuntut Perkebunan Sawit Keluar dari Tanah Ulayat
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto di Jakarta, mengatakan pelepasan kawasan hutan tersebut dilakukan dari tahun 1987 sampai dengan akhir tahun 2018.
“Berkenaan dengan pembukaan kawasan hutan seluas 2 juta ha di Provinsi Kalimantan Tengah untuk perkebunan sawit, perlu disampaikan bahwa menurut data KLHK, untuk provinsi tersebut telah dilepaskan kawasan hutan seluas 978.355 ha,” kata Sigit, Jumat, 28 Desember 2018.
Pelepasan kawasan ini adalah pelepasan kawasan hutan untuk perizinan perkebunan lama yang masih dalam proses. Secara nasional terdiri dari permohonan pelepasan kawasan hutan untuk penyelesaian perbedaan tata ruang seluas 1.287.145 ha, serta pelepasan kawasan hutan dari permohonan reguler seluas 1.687.384 ha.
Total permohonan pelepasan kawasan hutan untuk perizinan perkebunan yang sedang diproses secara nasional seluas 2.974.529 ha.
BACA: Greenpeace Tuding Sawit untuk Biskuit Ini Rusak Habitat Orangutan
Untuk Provinsi Kalimantan Tengah, ia mengatakan permohonan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan yang telah menjadi kebun kelapa sawit akibat perbedaan tata ruang seluas 1.024.432 ha dan permohonan reguler seluas 403.519 ha. Sehingga seluruh perijinan yang sedang diproses di Provinsi Kalimantan Tengah seluas 1.427.951 ha bukan 2 juta hektar sebagaimana diinformasikan Dinas Provinsi tersebut.
Sigit juga menjelaskan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan diproses berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2012 Jo. PP Nomor 104 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa kawasan hutan yang dapat dilepas adalah kawasan hutan yang tidak berhutan (tidak produktif), hal ini untuk mencegah terjadinya deforestasi.
Untuk memperkuat pencegahan deforestasi maka diterbitkan Instruksi Presiden (Inpres) 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perijinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktifitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Dalam Inpres itu disebutkan bahwa permohonan perkebunan sawit baru ditunda (moratorium) selama 3 tahun untuk mengevaluasi pembangunan perkebunan kelapa sawit yang telah dilepaskan dari kawasan hutan agar lebih produktif dan areal perkebunan yang masih berupa hutan dikembalikan menjadi kawasan hutan.
Sebagai tindak lanjut pengaturan pelepasan kawasan hutan, ia mengatakan KLHK menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.96/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi, yang menyatakan antara lain, permohonan pelepasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) untuk perkebunan kelapa sawit yang diajukan sebelum berlakunya Inpres Nomor 8 Tahun 2018 hanya dapat diproses pada kawasan HPK yang tidak berhutan (tidak produktif).
Kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan termasuk sawit sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 104 / 2015, Inpres Nomor 8 / 2018 dan Peraturan Menteri LHK Nomor P.96/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018, yang menekankan pencegahan deforestasi, merupakan langkah koreksi dari regulasi sebelumnya untuk mewujudkan komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim untuk menurunkan emisi (gas rumah kaca) sebagaimana tertuang dalam Kesepakatan Paris yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.