LIPUTAN KHUSUS:

BRG Fokus Penyelamatan Lahan Gambut Terdegradasi


Penulis : Redaksi Betahita

Kebakaran terus terjadi di sejumlah bagian ekosistem gambut dua bulan terakhir.  Padahal sudah tiga setengah tahun pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut, salah satunya untuk meredam karhutla ini. Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead mengatakan kegiatan restorasi gambut yang dijalankan BRG selama 3 setengah tahun terakhir difokuskan melakukan penyelamatan awal terhadap lahan gambut

Gambut

Selasa, 08 Oktober 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Kebakaran terus terjadi di sejumlah bagian ekosistem gambut dua bulan terakhir.  Padahal sudah tiga setengah tahun pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut, salah satunya untuk meredam karhutla ini.

Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead mengatakan kegiatan restorasi gambut yang dijalankan BRG selama 3 setengah tahun terakhir difokuskan melakukan penyelamatan awal terhadap lahan gambut yang sudah terdegradasi.

Pembasahan lahan gambut melalui pembangunan sekat kanal, sumur bor atau penimbunan kanal dapat berfungsi efektif apabila tidak terjadi lagi pembukaan atau pembakaran lahan di lingkungan sekitarnya.

Baca juga: Karhutla Masih Berlanjut, Komitmen BRG dan KLHK Dipertanyakan

Salah satu kanal saluran air yang dibuat diatas lahan kawasan Hutan Produksi bergambut di sekitar jalur lintas jalan Pangkalan Bun-Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah./Foto: Dok. Save Our Borneo

Nazir mengatakan BRG telah membangun sekat kanal dan sumur bor bahkan menimbun kanal untuk memastikan bahwa lahan gambut yang telah kering dan bekas terbakar dapat lembab kembali. “Namun upaya ini akan sia-sia jika tetap terjadi pembukaan dan pembakaran gambut,” katanya.

Nazir menjelaskan, pihaknya tengah melakukan pemantauan terhadap kondisi ekosistem gambut yang menjadi wilayah kerja BRG. Sistem pemantauan BRG dinamakan Pranata Informasi Restorasi Ekosistem Gambut, atau dikenal juga dengan sebutan PRIMS Gambut.

“Melalui PRIMS Gambut kami mendeteksi kebakaran dan pembukaan lahan gambut. Hasilnya kami sampaikan kepada instansi terkait untuk ditindaklanjuti terutama dalam hal penegakan hukum,” ujar Nazir.

Terkait dengan Infrastruktur Pembasahan Gambut (IPG) yang belakangan menjadi sorotan, Kepala BRG mengatakan bahwa pihaknya telah membangun sistem pengawasan internal guna menghindari penyelewengan dalam pelaksanaan.

Saat ini katanya, BRG tengah memeriksa seluruh sumur bor dan fasilitas IPG lain seperti sekat dan penimbunan kanal. Saat ini pemeriksaan telah dirampungkan di kawasan konservasi di Sumatera. Seluruh IPG di kawasan itu berfungsi baik.

Selanjutnya, secara bertahap pemeriksaan dilakukan pada IPG di luar areal konservasi, termasuk di Kalimantan Tengah. Dalam kaitan dengan pemeriksaan ini, Nazir berharap semua pihak bisa membantu BRG dengan memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab. Pihaknya menyesalkan informasi yang menyebut ada sumur bor fiktif di Kalimantan Tengah, namun setelah dilakukan pengecekan tidak terbukti sebagai sumur bor yang dibangun oleh lembaga pelaksana yang bermitra dengan BRG.

Hingga akhir 2018, BRG telah memfasilitasi dan mengoordinasikan pembasahan gambut di areal non konsesi seluas 679.901 hektare atau 76% dari total areal restorasi gambut di luar konsesi seluas 892.248 hektare.

Adapun untuk areal konsesi, total areal yang masuk ke dalam target restorasi gambut seluas 1.784.353 hektare yang terdiri dari 1.217.053 hektare areal konsesi kehutanan dan 555.659 hektare areal perkebunan. Hingga saat ini, BRG terus melakukan supervisi atau pendampingan kepada perusahaan perkebunan untuk dapat melakukan kegiatan restorasi hidrologi dengan baik.

Kegiatan yang dilakukan bersama dengan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian ini dimulai September 2018. Hingga Agustus 2019, ada 26 perusahaan yang terlibat dengan luas areal 218.355 hektare.

Nazir menyebutkan, kegiatan pembasahan kembali dan supervisi yang dilakukan BRG pada saat ini lebih menekankan kepada memberikan respon cepat terhadap penyelamatan ekosistem gambut yang sudah rusak.

“Waktu yang tersedia dalam lima tahun lebih banyak digunakan untuk respon cepat. Sementara itu, pemulihan gambut memerlukan pendekatan lebih komprehensif dan sistematik berbasis pada lanskap Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Ini memerlukan upaya lain yang bersifat jangka panjang serta melibatkan seluruh instansi dan para pihak terkait,” pungkasnya.