LIPUTAN KHUSUS:

Berkonflik dengan Perkebunan Sawit, Pejuang Agraria Jambi Menang


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Thawaf Aly, pejuang agraria anggota Persatuan Petani Jambi (PPJ), diputuskan tidak bersalah atas tuduhan penguasaan lahan yang dilaporkan oleh PT EWF.

Agraria

Rabu, 17 Juni 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Thawaf Aly, salah seorang anggota Persatuan Petani Jambi (PPJ), diputuskan tidak bersalah atas tuduhan penguasaan lahan yang dilaporkan pihak PT Erasakti Wira Forestama (EWF). Putusan tersebut diambil majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, Selasa (16/6/2020).

Perkara hukum yang membuat Thawaf harus menjalani 16 kali persidangan sejak Februari 2020 ini ada kaitannya dengan konflik lahan seluas 72 hektare antara 47 warga Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan PT EWF.

Thawaf merupakan pihak yang diberi kuasa oleh warga dalam permasalahan lahan yang memiliki sejarah panjang tersebut. Thawaf dituduh menguasai lahan PT EWF, dalam bentuk pendirian pondok di atas lahan yang disengketakan.

Kuasa Hukum Thawaf dari Organisasi Bantuan Hukum (OBH) Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Yudi Kurnia menuturkan, Thawaf merupakan korban pengalihan isu atas pelanggaran-pelanggaran usaha perkebunan dalam memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) yang terbit tanpa adanya proses penyelesaian sengketa lahan dengan masyarakat.

Thawaf Aly didampingi oleh beberapa kuasa hukumnya saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Jabung Timur, beberapa waktu lalu./Foto: Dokumentasi KPA Jambi

"Dengan harapan Pak Thawaf dinyatakan bersalah. Semua kesalahan perusahaan dianggap selesai, tidak ada lagi beban-beban dan kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipenuhi perusahaan menjadi hapus," kata Yudi dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Selasa (16/6/2020).

Putusan bebas yang diberikan hakim PN Tanjung Jabung Timur kepada Thawaf ini, lanjut Yudi, menunjukkan secara jelas pihak yang bersalah dan pihak yang melakukan pelanggaran administrasi penerbitan HGU. Tidak sampai di situ saja. Pihak perusahaan juga diduga kuat melanggar pasal 55 huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

"Perusahaan perkebunan yang memasuki wilayah lahan rakyat, itu juga ada pidananya. Makanya akan didiskusikan apakah kita lapor balik atas nama rakyat."

Dakwaan Tidak Terbukti

Yudi menjelaskan, dalam persidangan Thawaf didakwa dengan dua pasal. Pertama pasal 55 huruf a Undang-Undang Perkebunan dan yang kedua dengan pasal 167 KUHP. Yudi menyebut, dakwaan terhadap Thawaf ini sangat jauh dari fakta lapangan dan hal ini menunjukkan adanya rekayasa atau kriminalisasi. Karena pasal 167 KUHP yang digunakan jaksa penuntut umum adalah pasal yang berhubungan dengan pekarangan.

"Pasal 167 itukan pekarangan. Yang namanya pekarangan pasti ada rumah. 167 syaratnya harus ada pagar, memasuki secara paksa, siapa yang memaksa masuk, apakah dengan cara meloncat pagar atau merusak pagar. Dan akhirnya jaksa dalam tuntutanya tidak menyebut lagi pasal 167. Karena dalam eksepsi sudah kita bantah. Dan dalam tuntutannya hanya mengenaka pasal 55 jo 107 Undang-Undang Perkebunan."

Pelanggaran pasal 55 huruf a Undang-Undang Perkebunan yang dituduhkan kepada Thawaf juga tidak terbukti. Karena, kata Yudi, Thawaf hanyalah pihak yang menerima kuasa dalam pengurusan persoalan sengketa lahan masyarakat dengan PT EWF. Dengan kata lain bukan pihak yang melakukan pembuatan pondok di lahan yang disengketakan yang dijadikan dasar laporan PT EWF.

Yudi menambahkan, adapun pihak yang mendirikan pondok, itu juga tidak dapat disalahkan. Karena dalam fakta persidangan dan penuturan para saksi, lahan itu memang milik warga dan bukan milik PT EWF yang dapat dibuktikan kepemilikannya dengan bukti surat keterangan penguasaan tanah secara sporadik yang terbit pada 2004.

"Jaksa penuntut umum tidak bisa membuktikan ada ganti rugi. Masyarakat tidak pernah menerima ganti rugi. Artinya sporadik 2004 masih utuh. Tidak ada pelepasan lahan secara ganti rugi maupun sukarela kepada PT EWF."

Yudi juga menjelaskan, pasal-pasal Undang-Undang Perkebunan yang didakwakan kepada Thawaf, tidak berlaku dalam perkara ini. Karena pembuatan pondok yang menjadi alasan atau dasar pihak PT EWF melaporkan Thawaf dibuat sebelum HGU untuk PT EWF terbit pada 30 Juli 2018.

"Pembuatan pondok itu dilakukan bulan Mei, 2 bulan sebelum HGU PT EWF keluar. Artinya pembuatan pondok itu dibuat sebelum ada HGU. Suatu perusahaan perkebunan bisa dilindungi Undang-Undang Perkebunan kalau sudah memiliki dua syarat, IUP dan HGU. Otomatis UU perkebunan tidak bisa dipakai."

Sejarah Panjang Konflik Lahan

Dalam kesempatan yang sama, Thawaf yang telah diputus bebas oleh majelis hakim memberikan penjelasan tentang konflik lahan antara petani Desa Merbau dengan PT EWF yang ternyata memiliki sejarah panjang. Permasalahan lahan ini, menurut Thawaf, bermula sejak masuknya PT Sawit Mas Perkasa (SMP) ke Desa Merbau sekitar 2006, untuk bermitra dengan masyarakat setempat di atas lahan 1.200 hektare. Dengan kesepakatan kayu-kayu yang ada di atas lahan tersebut akan menjadi milik perusahaan dan pihak perusahaan akan menanamkan sawit di atas lahan masyarakat.

"Proses berjalan. Kesepakatan itu diingkari oleh perusahaan. Yang tertanam hanya sekitar 150 hektare. Kemitraan itu tidak terjadi," kata Thawaf.

Berjalannya waktu, pada 2012 lahan masyarakat yang akan dimitrakan tersebut diketahui dijual oleh pihak PT SMP kepada PT Indonusa. Lahan yang dijual seluas 406 hektare. Penjualan lahan milik masyarakat oleh PT SMP ini dilakukan dengan rekayasa data masyarakat pemilik lahan. Karena para pemilik lahan merasa tidak pernah menjual lahan tersebut kepada PT SMP yang kemudian dijual kepada PT Indonusa.

"Ada pemalsuan tanda-tangan, sehingga pada waktu itu dibentuklah Tim Sembilan oleh Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Masyarakat tidak terbukti menjual lahannya kepada PT SMP, sehingga diputuskan lahan dikembalikan kepada masyarakat."

Thawaf mengatakan, pada akhir 2012 kembali terjadi penjualan lahan. Kali ini lahan tersebut dijual kepada PT EWF. Namun ada 47 warga yang diketahui tidak menjual lahannya, seluas total 72 hektare, kepada PT EWF. Penjualan lahan milik 47 warga ini kemudian diketahui dilakukan dengan merekayasa data, yakni dengan memalsukan nama-nama pemilik lahan.

Pemalsuan data pemilik lahan ini telah dilaporkan kepada polisi dan bahkan sudah ada putusan pengadilan yang menyatakan para pihak yang memalsukan data pemilik lahan itu bersalah. Atas adanya persoalan lahan milik 47 warga ini, pada 9 Mei 2018 warga membuat surat pengaduan kepada BPN meminta mediasi dengan PT EWF serta meminta agar sertifikat HGU untuk PT EWF tidak diproses sebelum persoalan lahan seluas 72 hektere milik 47 warga itu terselesaikan.

"Tanggal 4 Juli 2018 kita diundang untuk mediasi dengan PT EWF yang diwakili staf perusahaan. Dilanjutkan dengan mediasi pada 6 Agustus 2018 di kantor BPN Tanjung Jabung Timur. Proses berjalan, kami dilaporkan oleh PT EWF ke Polres Tanjung Jabung Timur pada  20 Agustus 2019. Belakangan baru kami ketahui HGU PT EWF ini sudah terbit tertanggal 30 Juli 2018."

Dalam jumpa pers itu, Koordinator Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Wilayah Jambi, Frandodi mengatakan, putusan bebas atau tidak bersalah terhadap Thawaf ini akan menjadi penyemangat bagi masyarakat Desa Merbau dalam mengambil alih kembali tanah-tanahnya yang diklaim PT EWF.

Frandodi menegaskan, pihaknya bersama petani yang dirampas tanahnya oleh PT EWF akan tetap memperjuangkan dan mengambil kembali tanah-tanah tersebut.

"Ini adalah penyemangat. Kita anggap ini adalah bunga-bunganya perjuangan. Kita akan terus memperjuangakan lahan ini. Pilihannya kita akan ambil alih tanah itu. Karena itu hak kaum tani dan bukan milik PT EWF. Ada proses yang salah dan keliru ketika penerbitan HGU tanpa melibatkan petani. Dari 2004, milik petani Desa Merbau," kata Frandodi.

Frandodi mengatakan, putusan hakim yang menyatakan Thawaf tidak bersalah ini juga membuktikan bahwa ada hak-hak petani yang dirampas, melalui penerbitan HGU yang diterbitkan BPN untuk PT EWF.