LIPUTAN KHUSUS:

Indonesia Tidak Perlu Perluas Kebun Sawit, Ini Sebabnya


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sejumlah pakar atau peneliti berpendapat perkebunan sawit di Indonesia sudah cukup luas dan tidak perlu lagi memperluas kebun sawit.

SOROT

Jumat, 26 Juni 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Sejumlah pakar berpendapat perkebunan sawit di Indonesia sudah cukup luas dan tidak perlu lagi menambahnya. Meski produktivitas sawit Indonesia masih terbilang rendah, minyak yang dihasilkan dari 16,3 juta hektare kebun sawit di Indonesia masih mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, ekspor dan pemenuhan kebutuhan biodiesel.

Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan, Indonesia saat ini belum membutuhkan ekspansi atau perluasan perkebunan sawit. Karena berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), saat ini masih tersisa stok CPO yang tidak terserap pasar. Yakni 4,5 juta ton di 2019 dan 3,2 juta ton di 2018.

Berdasarkan catatan SPKS, pada 2018  sekitar 32 persen dari pemegang Izin Usaha Perkebunan (IUP) di Indonesia belum merealisasikan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat sebesar 20 pesen dari luas areal IUP. Kemudian masih ada 25 grup pemegang IUP yang belum membuka lahannya. Yang bila ditotal luas lahan yang belum ditanami seluas 2,5 juta hektare.

"Menurut analisis saya, akan ada over supply besar-besaran bila potensi landbank dibuka, alokasi 20 persen plasma dibuka dan program PSR sawit rakyat terus berjalan dan meningkatkan produktivitas CPO. Sehingga mengapa industri dan pemerintah terus mendesak pasar domestik hingga B100?" kata Mansuetus Darto, dalam diskusi Ngopini Sawit bertemakan 'Pascacovid-19 Perlukah Indonesia Memperluas Kebun Sawit', yang digelar secara virtual oleh Auriga Nusantara, Rabu (24/6/2020).

Tampak dari atas kondisi pembukaan hutan untuk lahan sawit/Foto: Dok. Save Our Borneo

Kebun sawit dalam kawasan hutan./Sumber: SPKS

Darto melanjutkan, saat ini terdapat 3,1 juta hektare perkebunan sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Untuk mencegah pasokan berlebih, harus ada penegakan hukum pada konsesi perusahaan sawit yang berada dalam kawasan hutan yang menghasilkan kurang lebih 9 juta ton CPO per tahun. Selain itu, juga perlu dilakukan pemetaan menyeluruh dengan mengklasifikasikan petani.

"Stop ekspansi dan tingkatkan produktivitas tetap tidak akan mengubah nasib petani kelapa sawit dalam kawasan hutan. Membantu petani adalah harus dengan stabilisasi harga TBS dengan mencegah over supply dalam negeri. Rantai pasok biodiesel (B30) harus dari kelembagaan tani swadaya. Prosedurasi, birokratisasi akan menjadi wabah penghalang peningkatan sawit rakyat."

Di kesempatan yang sama, Pakar Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri mengatakan, ekonomi dunia akan mengalami resesi dengan pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan minus 7,6 persen. Namun pada 2021 diperkirakan ekonomi di seluruh dunia akan recovery.

"Akan tetapi pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih lambat," kata Faisal Basri.

Menurut Faisal, Indonesia harus berubah pascapandemi Covid-19 nanti. Karena sebelum pandemi Covid-19 pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami tren melandai. Bahkan pertumbuhan di sektor tanaman pangan minus 10,31 persen di triwulan pertama 2020 ini. Kemudian 8 dari 14 industri sudah minus di triwulan pertama 2020.

Ekspor sejumlah komoditi primer./Sumber: Economic Outlook Amid Covid-19, Faisal Basri.

Untuk bayar hutang luar negeri, Indonesia sangat mengandalkan devisa yang berasal dari komoditas ekspor, seperti tambang, minyak kelapa sawit, gas dan lain-lain. Dengan pola pembangunan seperti ini, lanjut Faisal Basri, akan menyebabkan eksploitasi sumber daya alam akan semakin banyak.

"Akibatnya apa? Oligarki semakin kuat karena sumber daya alam kita dikuasai oleh segelintir kekuatan di dalam negeri yang kita sebut oligarki."

Pada 2025, apabila program nasional biofuel atau biodiesel digenjot, diperkirakan akan butuh tambahan lahan sawit baru sekitar 5 sampai 9 juta hektare. Itu dikhawatirkan akan membuat korporasi penghasil biodiesel meminta lahan baru.

"Ekspansi kalau terus-menerus, diversifikasi tanaman pangannya babak belur. Belum apa-apa saja tanaman pangan itu mengalami kontraksi 10 persen. Mau memperluas lahan sudah tidak bisa lagi, semua sudah sawit," tutur Faisal Basri.

Dalam diskusi virtual tersebut, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHBun) Kementerian Pertanian (Kementan), Dedi Junaedi mengatakan, pihaknya saat ini lebih berfokus pada peningkatan produktivitas perkebunan sawit. Hal tersebut diatur melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang akan berlaku hingga 2021 nanti.

Menurut data, saat ini produktivitas perkebunan sawit di Indonesia terbilang rendah. Yakni rata-rata 3,6 ton per hektare per tahun. Padahal potensi produksi per hektare per tahun mencapai 5 sampai 6 ton.

Sebaran perkebunan sawit Indonesia 2018./: Sumber Statistik Perkebunan 2016-2018

Bila merujuk pada Statistik Perkebunan 2016-2018, produksi sawit di Indonesia pada 2018 tercatat sebesar 37,8 juta ton. Provinsi dengan produksi sawit tertinggi adalah Riau sebesar sekitar 9 juta ton pada 2018. Diikuti Sumatera Utara dengan produksi sekitar 5,8 juta ton dan Kalimantan Tengah sebesar 4,4 juta ton.

Dedi menjelaskan, data tutupan sawit di Indonesia yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833 Tahun 2019, seluas sekitar 16,3 juta hektare. Namun luasan tersebut belum masuk dalam data Badan Pusat Statistik (BPS). Hal itu dikarenakan masih ada sekitar 3 juta hektare perkebunan sawit yang terindikasi mengalami tumpang tindih dengan kawasan hutan dan kesatuan hidrologi gambut (KHG).

"Nah ini yang menjadi amanat Inpres Nomor 8 Tahun 2018. Ada beberapa menteri yang mendapat instruksi termasuk gubernur, bupati dan walikota yang ada sawitnya untuk menyelesaikan evaluasi perizinan," kata Dedi Junaedi.

Selain tumpang tindih kawasan dan produktivitas yang rendah, terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi sektor perkebunan sawit nasional saat ini. Di antaranya, belum adanya satu data dan satu peta perkebunan sawit nasional. Kemudian masih terdapat perkebunan sawit yang belum memiliki legalitas dan perizinan seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) maupun Hak Guna Usaha (HGU).

Tak hanya itu, saat ini masih adanya pelaku usaha yang belum memenuhi kewajiban-kewajibannya, seperti pembangunan kebun masyarakat minimal 20 persen. Pengelolaan perkebunan sawit saat ini juga belum mengacu pada prinsip sustainable, yang diindikasikan oleh adanya gangguan terhadap lingkungan dan terjadinya kebakaran lahan.

Untuk program peremajaan sawit, lanjut Dedi, dari 16,4 juta hektare luas kebun sawit nasional, sekitar 6,7 juta hektare di antaranya merupakan sawit rakyat. Dari luasan tersebut yang berpotensi untuk dilakukan peremajaan seluas 2,78 juta hektare. Hingga 2024 mendatang, pemerintah menargetkan peremajaan sawit rakyat seluas sekitar 540 ribu hektare.

Berdasarkan data yang terhimpun hingga 27 Mei 2020, rekomendasi teknis peremajaan sawit rakyat yang terealisasi seluas 167.299 hektare. Sedangkan transfer dana BPDPKS yang teralisasi sebesar Rp3,4 triliun tersebar di 21 provinsi dan 87 kabupaten/kota.

Sumber: Paparan Direktur PPHBun Kementan, Dedi Junaedi, Data dan Fakta Sawit Indonesia: Luas, Sebaran dan Tantangannya

Perencana Ahli Utama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Nono Rusono menambahkan, pada waktu penyusunan RPJMN 2020-2024 dilakukan, kondisi Indonesia sedang mengalami de-industrialisasi. Pangsa sektor pertanian terhadap PDB cenderung menurun dan ironinya pangsa sektor industri juga turun.

"Share pertanian (terhadap PDB) menurun tetapi nominalnya tetap meningkat. Dan yang disayangkan memang industrialisasi. Jadi memang cukup berat yang dihadapi Indonesia pada waktu awal kita dan sekarang ini kita mengalami de-indsutrialisasi apalagi menghadapi pandemi ini. Kita harapkan memang sawit ini bisa mendukung industrialisasi," kata Nono.

Pembangunan kelapa sawit nasional diarahkan untuk mencapai dan menopang pencapaian sasaran-sasaran pembangunan nasional 2020-2024. Yang meliputi, tingkat kemiskinan 6-7 persen, pertumbuhan ekonomi 6 persen, Gini Rasio 3,360-0,374, tingkat pengangguran terbuka 3,6-4,3 persen, indeks pembangunan manusia 75,54 dan penurunan emisi gas rumah kaca menuju target 29 persen di 2030 sebesar 27,3 persen.

Di dalam RPJMN 2020-2024 tedapat 7 prioritas nasional yang akan dijalankan. Sawit berada di prioritas nasional pertama, yakni penguatan ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan. Ada 8 program dalam prioritas nasional 1 dan 3 di antaranya didukung industri sawit.

Nono menjelaskan, di dalam RPJMN 2020-2024 terdapat beberapa major project atau proyek prioritas strategis. Salah satunya pembangunan energi terbarukan Green Fuel berbasis kelapa sawit. Dalam proyek ini diharapkan pihak swasta bisa mengambil peran cukup besar. Sedangkan pembiayaan pemerintah hanya untuk stimulus ataupun memfasilitasi pelayanan publik untuk memperlancar proyek ini.

"Harapannya memang kontribusi dari biofuel akan lebih besar lagi ke depan. Dan terus terang, major project ini fokusnya bukan pada perluasan areal tetapi pada peningkatan produktivias. Malah lebih fokus lagi pada peningkatan produktivitas dari kelapa sawit rakyat."

Pandemi Covid-19, kata Nono, telah menurunkan demand sawit karena adanya gangguan pada rantai pasok. Sehingga membatasi penambahan luas kebun sawit merupakan kebijakan yang tepat untuk saat ini. Kemudian, industrialisasi hulu sawit di Indonesia saat ini memasuki tahap peningkatan produktivitas kebun eksisting.

Sementara dari pihak pengusaha, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Paulus Tjakrawan, menuturkan, dalam program B20 2019, capaian penggunaan biodiesel sebesar 6,37 juta Kl atau sekitar 40 juta barel. Itu diperkirakan setara dengan 50 hari hasil minyak Indonesia. Sedangkan program B30 2020, penggunaan biodiesel diproyeksikan sebesar 9,6 juta Kl atau 60 juta barel sama dengan 77 hari hasil minyak Indonesia.

"Kalau katakanlah B50. B50 itu memerlukan sekitar 16 juta Kl. Itu sama dengan 13 juta ton CPO, kalau B50. Kalau keperluan Indonesia sekitar 7-8 juta kiloliter. Jadi untuk ekspor masih tinggi. Masih bisa 20 lebih. Sehingga untuk B50 masih tidak ada masalah. Tapi kalau B100 mungkin agak repot kalau kita menggantungkan dari sawit," kata Paulus.

Paulus mengungkapkan, saat ini terdapat 19 pabrik biodiesel yang berdiri di Indonesia yang menghasilkan kurang lebih 11,6 juta kl biodiesel per tahun. Di antaranya, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Smart, Tbk, PT Sinarmas Bio Energy dan PT Musim Mas.

Pada 2020 ini, terhitung Januari hingga April, produksi biodiesel di Indonesia mencapai 3,5 juta kl. Persentase penggunaan biodiesel dari hasil sawit Indonesia di 2019 sekitar 12 persen atau 5.542 ribu ton. Sedangkan di 2020 diharapkan sekitar 17,5 persen atau sekitar 8.091 ribu ton, namun diperkirakan akan menurun karena itu diproyeksikan sebelum pandemi Covid-19.

Masih dalam kesempatan yang sama. Peneliti Auriga Nusantara, Mouna Wasef mengungkapkan, kondisi pertumbuhan luas perkebunan sawit dunia saat ini meningkat. Terutama di negara-negara Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Pada 2016 saja, luas kebun sawit yang menghasilkan di dunia mencapai 18,56 juta hektare.

Mouna menjelaskan, belakangan telah terjadi pergeseran sentra pertumbuhan kebun sawit, tidak lagi berada di Asia Tenggara, melainkan di negara-negara lain di seperti Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Khususnya di Asia Tenggara, sentra pertumbuhan kebun sawit sudah mulai bergeser ke Thailand.

Pergeseran pertumbuhan ini terjadi karena lahan yang tersedia untuk kebun sawit di Indonesia maupun Malaysia sudah sedikit. Sementara di negara-negara lain masih luas. Selain itu juga karena semakin tingginya permintaan minyak sawit itu sendiri.

"Ini karena sawit yang lebih baik dari minyak nabati lain, juga karena digalakanya energi yang tidak berbasis fosil. Sawit adalah salah satu sumber energi yang tidak berbasis fosil yang sekarang dikenal dengan istilah biofuel atau biodiesel," kata Mouna Wasef.

Kondisi semakin meluasnya kebun sawit di negara-negara Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan ini akan membahayakan minyak sawit Indonesia karna pasar yang semakin kecil. Karena Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan lebih dekat dengan pasar utama, seperti Eropa dan Amerika Serikat. Meskipun, yang melakukan ekspansi di negara-negara tersebut adalah perusahaan-perusahaan yang berasal dari Malaysia dan Singapura juga, seperti SMART dan Wilmar.

Mouna juga menyoroti soal ketimpangan geografis antara kebun, pabrik kelapa sawit, dan kilang. Sebaran kilang cenderung berpusat di daerah tertentu saja seperti Jawa Timur misalnya ada sekitar 11 kilang. Sementara kebun sawit dan pabrik kelapa sawit di daerah tersebut tidak ada.

"Di beberapa daerah, lokasi kebun sangat jauh dengan pabrik, sehingga bagi beberapa pekebun terutama pekebun swadaya kesulitan untuk menjual hasil produksinya atau kesulitan untuk mengakses pasar. Perlu mendesain ulang industri sawit dalam negeri agar pekebun lebih mudah untuk mengakses pasar dan meningkatkan nilai tambah sektor perkebunan."

Mouna Wasef juga mengungkapkan, industri sawit nasional saat ini dikuasai oleh segelintir kelompok korporasi saja. Dari informasi yang dimuat dalam Infobrief 9 trase, 2020, bagian hulu dari industri sawit cenderung lebih kompetitif dibandingkan dengan bagian hilirnya. Di bagian kebun dan PKS saja terdapat masing-masing 187 dan 178 kelompok korporasi yang bermain di sektor tersebut. Sementara di bagian hilir, seperti perdagangan dan kilang hanya ada masing-masing 25 dan 55 kelompok yang bermain.

Sumber: Infobrief 9 Trase, 2020

Sumber: Infobrief 9 Trase, 2020

Dari sini saja sudah terlihat bahwa memang kompetisi lebih cenderung sempurna di bagian hulu sektor perkebunan dan di hilirnya yang bermain hanya sedikit. Hal ini belum ditambah dengan fakta bahwa lebih dari 50 persen transaksi perdagangan dan kapasitas kilang di Indonesia dikuasai oleh 3 kelompok korporasi saja, yakni Sinar Mas, Wilmar, dan Musim Mas.

"Penerima manfaat besarnya hanya dinikmati oleh segelintir kelompok saja. Agar ketimpangan geografis dan penerima manfaat ini tidak meninggi, akan lebih tepat bila Indonesia mempermanenkan moratorium perluasan sawit sembari menata desain industrialisasi sawit nasional," kata Mouna.