LIPUTAN KHUSUS:

Koalisi Minta Kasus Pembalakan Liar di Papua Barat Diusut Tuntas


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Koalisi meminta kasus dugaan pembalakan liar di Papua Barat, dengan terdakwa Felix Wiliyanto Direktur PT Bangkit Cipta Mandiri, dapat diusut hingga tuntas.

Hukum

Kamis, 06 Agustus 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Sejumlah lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil meminta agar kasus dugaan pembalakan liar di Papua Barat, dengan terdakwa Felix Wiliyanto (FW) Direktur PT Bangkit Cipta Mandiri (BCM), diusut hingga tuntas. Kasus tersebut juga dinilai perlu dikembangkan dan didalami lebih jauh lagi, terutama untuk mengungkap aktor lain yang terlibat.

Baca juga: Illegal Logging di Raja Ampat, KLHK Tangkap Bos PT BCM

Dalam kasus ini, pada 23 Juli 2020 lalu Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Sorong telah membacakan dakwaan terhadap Felix Wiliyanto. Bos PT BCM ini didakwa atas dugaan pelanggaran Pasal 83 ayat 1 huruf b jo. Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Menurut Koalisi, FW bukanlah nama baru dalam dunia perkayuan di Papua Barat. Pascaoperasi Hutan Lestari II (operasi gabungan penegakan hukum illegal logging di Papua dan Papua Barat) nama FW pernah disebut pada kasus Faisal Abdul Naser dan Aceng Danda, dua orang anggota Polri yang dipidana karena terlibat kasus pembalakan liar. Pada kasus tersebut posisi FW sebagai saksi sekaligus pemilik kayu.

Terdakwa FW saat ditangkap di Jakarta pada 16 Juli 2020 lalu/Foto: Dokumentasi Gakkum

Dalam siaran persnya, Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan, dalil pembelaan yang disampaikan terdakwa FW bahwa kayu yang disita adalah kayu Non-Police Line (NPL) dengan bukti setor Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dibayarkan pada 2013 dan 2014, sangat meragukan dan dianggap tidak bisa diterima.

Keraguan tersebut dilatari bahwa pada 27 Desember 2018 lalu KLHK telah menghapus dan menyatakan status kayu NPL tidak berlaku lagi. Pencabutan status kayu NPL ini dinyatakan dalam Surat Menteri LHK Nomors.408/Menlhk/Setjen/GKM.2/12/2018.

Sehingga dapat diartikan bahwa sejak surat itu terbit, tidak ada lagi status kayu NPL yang beredar di manapun di Papua Barat. Sementara penangkapan FW oleh Gakkum KLHK dilakukan setahun lebih setelah surat Pencabutan Status Kayu NPL itu diterbitkan. Dengan kata lain, status NPL terhadap kayu yang disita sudah tidak berlaku lagi dalam penegakan hukum yang dilakukan pada FW saat ini.

"Sejak 27 Desember 2018, kayu Non-Police Line sudah dihapus oleh Kementerian Kehutanan. Penjelasan Felix Wijayanto yang menyatakan bahwa kayu mereka adalah Kayu NPL sangat tidak mendasar. Penegak Hukum jangan terkecoh dengan modus Kayu NPL yang digunakan oleh FW," kata Abu Meridian, Direktur Eksekutif Kaoem Telapak, Rabu, 5 Agustus 2020.

Alasan lainnya, pada 2017 lalu PT BCM dinyatakan tidak memenuhi kriteria Sertifikasi Legalitas Kayu (SLK) oleh PT Sucofindo, lembaga sertiikasi yang menilai PT BCM. Disebabkan PT BCM menyatakan tidak melakukan penerimaan bahan baku kayu.

Dalam kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), setiap kayu yang beredar harus lolos verifikasi legalitas kayu. Selain itu, dalam dokumen penilaian PT Sucofindo tersebut tidak menyebut bahwa PT BCM memiliki kayu hasil lelang apalagi berasal dari kayu NPL.

Sejumlah kayu merbau yang diduga hasil pembalakan liar milik terdakwa FW, yang diamankan oleh Tim Gakkum saat dimuat ke dalam KLM Sumber Harapan III di Kampung Kalwal, Distrik Salawati Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, pada awal Februari 2020 lalu./Foto: Dokumentasi Gakkum.

Koalisi Masyarakat Sipil juga menyebut Kasus FW ini merupakan kasus yang berulang. Beberapa kasus pembalakan liar asal Papua atau Papua Barat yang pernah disidang, selalu mendalilkan kayu yang ditangkap merupakan kayu masyarakat atau kayu NPL khusus di Papua Barat.

Mengenai kayu masyarakat, berdasarkan pemantauan Koalisi, masyarakat hanya memperoleh kompensasi antara Rp100 ribu sampai Rp600 ribu per meter kubik kayu yang ditebang dari tanah ulayat mereka. Padahal untuk satu meter kubik kayu di Papua maupun Papua Barat nilainya mencapai Rp7 juta per meter kubik.

"Jika tiba di luar Papua harga kayu itu akan berkali lipat. Pada situasi ini keuntungan terbesar bukan pada orang asli Papua. Mereka kerap ditumbalkan oleh para cukong untuk lepas dari jeratan hukum," kata Syahrul Fitra, Direktur Media dan Komunikasi Yayasan Auriga Nusantara, Rabu (5/8/2020).

Selain itu, beberapa kasus hanya terhenti pada aktor di Papua saja. Padahal pasokan kayu di Papua tersebut berkaitan dengan permintaan dari luar Papua. Dalam hal ini sangat mungkin FW merupakan aktor lapangan, sementara aktor sesungguhnya adalah pihak-pihak lain, baik yang berada di wilayah Papua atau di wilayah lain.

"Mereka bisa saja sebagai pihak yang mendanai penebangan di Papua sekaligus menerima keuntungan paling besar. Oleh karena itu, penyidik KLHK harus mengembangkan kasus FW ini dengan menelusuri aliran transaksi keuangan PT BCM maupun FW. Apalagi sejak 2017, dalam situs http://silk.dephut.go.id/, PT BCM tidak tercatat sebagai pemegang sertifikat legalitas kayu," tambah Syahrul.

Selama periode 2017-2020 PT BCM diketahui melakukan transaksi penjualan kayu dengan perusahaan lain. Sehingga perusahaan yang menerima aliran kayu tersebut patut dicurigai terlibat pencucian kayu yang diduga ilegal.

Berangkat dari hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil meminta, pertama, agar KLHK mengembangkan kasus FW untuk melihat aktor lain yang terlibat. Kedua, penyidik mengembangkan kasus menggunakan pendekatan rezim hukum tindak pidana pencucian uang.

Ketiga, KLHK menelusuri transaksi kayu PT BCM selama periode 2017-2019. Keempat, KLHK menerapkan pidana korporasi terhadap kasus pembalakan liar yang dilakukan FW maupun terhadap kasus-kasus lainnya di Papua. Terakhir kelima, pihak penegak hukum terhadap kasus FW untuk mengabaikan status NPL sebagai alibi dari tindakan pembalakan liar yang telah dilakukan terdakwa.

Koalisi Masyarakat Sipil sendiri merupakan kumpulan dari sejumlah lembaga masyarakat sipil, yang di dalamnya termasuk Papua Forest Watch, Perkumpulan Bantuan Hukum dan Keadilan Papua, Pusaka Bentala Rakyat, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, Auriga Nusantara, Kaoem Telapak, Greenpeace Indonesia, WALHI Papua, PAHAM Papua, Foker LSM Papua, ELSAM, Walhi Eksekutif Nasional, dan Indonesia Corruption Watch.

Seperti diberitakan sebelumnya, kasus dugaan pembalakan liar yang dilakukan FW ini bermula dari kegiatan operasi KLHK pada Februari 2020 lalu. Dalam operasi tersebut Tim Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (BPPH) Wilayah Maluku-Papua kala itu mendapati adanya aktivitas pemuatan kayu ke atas kapal KLM Sumber Harapan III.

Kayu yang dimuat adalah merbau, dengan jumlah lebih dari 100 meter kubik. Aktivitas pemuatan kayu merbau ini tidak dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) dan kayu-kayu tersebut diduga berasal dari hutan yang masuk dalam kawasan konservasi.

FW ditetapkan sebagai tersangka pada Maret 2020, namun penahanan baru dilakukan pada Juli 2020. Penahanan FW sendiri dilakukan secara paksa di Jakarta, dikarenakan FW telah dua kali mangkir dari panggilan penyidik.