LIPUTAN KHUSUS:

Cegah Karhutla Cara Kalbar, Gubernur: Harus Tegas ke Korporasi


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Menurut Gubernur Kalbar Sutarmidji, dalam masalah karhutla, pemerintah selalu berpihak kepada korporasi, dan tidak berpihak kepada lingkungan maupun masyarakat.

SOROT

Rabu, 09 September 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi berulang-ulang, hampir setiap tahun. Ada beragam spekulasi tentang penyebab terjadinya karhutla berulang ini. Beberapa di antaranya karena tidak adanya solusi yang tepat dan tindakan tegas yang dikenakan kepada para pembakar lahan, terutama kepada korporasi.

Hal tersebut mencuat dalam diskusi publik, Ngopini Hutan: Belajar dari Kebakaran 20 Tahun Terakhir yang digelar pada Selasa (8/9/2020). Dalam diskusi itu, Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar), Sutarmidji yang menjadi salah satu pembicara mengungkapkan, pada 2019 lalu, karhutla di Kalbar luasnya mencapai 151.070 hektare.

Luas karhutla 2019 ini lebih besar dari 2015 yang sekitar 93.515 hektare. Sementara di 2020 ini, hingga 30 Agustus, luas karhutla di Kalbar tercatat sebesar 2.500 hektare.

Dari kejadian 2019, Pemprov Kalbar, kata Sutarmidji, mengambil tindakan dengan memberi peringatan kapada 157 perusahaan, yang 109 di antaranya merupakan perkebunan dan 48 lainnya adalah perusahaan kehutanan.

Ditjen Gakkum KLHK menyegel konsesi perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran hutan dan lahan di konsesinya secara sengaja pada Agustus 2019. Foto: Ditjen Gakkum KLHK.

"Artinya api itu sebagian besar ada di perusahaan perkebunan dan perusahaan kehutanan," kata Sutarmidji, Selasa (8/9/2020).

Kemudian pihaknya juga melakukan penyegelan terhadap 67 perusahaan. Dengan rincian 47 perusahaan perkebunan dan 20 perusahaan kehutanan. Tak hanya itu, 20 perusahaan juga dikenakan sanksi administratif paksaan dari pemerintah, 14 di antaranya perusahaan perkebunan dan 6 lainnya adalah perusahaan kehutanan.

"Kita belajar dari 20 tahun dengan data tanpa ada solusi maupun tindakan. Itu akhirnya berulang terus. Harus ada solusi dan tindakan-tindakan yang tegas untuk masalah ini. Makanya tadi 157 perusahaan kita beri peringatan, kemudian penyegelan dan tindakan hukum."

Di sisi lain, masyarakat dibenarkan untuk melakukan pembukaan lahan dengan cara tebang bakar maksimal 2 hektare. Namun yang jadi permasalahan adalah, perusahaan-perusahaan hampir tidak pernah terjamah, sedangkan masyarakat ditangkap.

"Karena dia (masyarakat) ditangkap. Maka dia kadang membakar, takut setelah membakar dia lari, dia tinggalkan itu. Sehingga terjadilah kebakaran-kebakaran. Yang paling penting sekarang ini, jangan sampai masyarakat itu dijadikan alat oleh perusahaan untuk membakar."

Gubernur Kalbar, Sutarmidji, dalam diskusi publik Ngopini Hutan: Belajar dari Kebakaran 20 Tahun Terakhir, Selasa (8/9/2020)

Menurut Sutarmidji, selama ini pemerintah pada umumnya selalu berpihak kepada korporasi, dan tidak berpihak kepada lingkungan maupun masyarakat. Hal itu membuat karhutla selalu terjadi berulang di dalam konsesi perusahaan.

"Sepanjang kita berpihak kepada pengusaha, terutama pengusaha yang nakal, maka selama itu juga pasti terbakar."

Sutarmidji juga berharap Badan Restorasi Gambut (BRG) membuat topografi khususnya di lahan gambut, agar metode pembasahan lahan gambut menggunakan sumur-sumur pompa di musim kemarau lebih efektif dilakukan.

Sutarmidji mengatakan, lahan gambut boleh dimanfaatkan untuk usaha pertanian tertentu. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh masyarakat di salah satu kecamatan di Pontianak. Yang mana pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya pertanian di kecamatan tersebut mampu memberikan hasil yang lumayan baik, bahkan mampu mencukupi kebutuhan pangan daerah sekitarnya.

Bicara tentang evaluasi, Sutarmidji menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi atau perusahaan nakal yang diduga melakukan pembakaran lahan. Menurutnya, pemerintah pada umumnya masih tidak berani untuk mengambil tindakan tegas. Meskipun penegakan hukum terhadap banyak perusahaan telah dilakukan, namun proses penegakan hukumnya banyak yang mentah saat berada di Mahkamah Agung.

"Karena kita tidak berani menindak. Termasuk misalnya kita bicara sisi penegakan hukum, sampai Mahkamah Agung bebas tuh. Mungkin dari 100 yang masuk ke pengadilan, paling yang kena hukum 1 atau 2 aja. Kan faktanya terjadi kebakaran, jelas tidak boleh membakar ketika membuka lahan, kan itu harusnya, gampang sekali membuktikan, tapi kenapa bebas."

Lebih lanjut Sutarmidji mengatakan, perlu ada penyelesaian komprehensif terkait karhutla ini. Bila tidak, maka persoalan karhutla ini hanya akan terus terjadi secara berulang dan hanya akan menghabiskan anggaran negara saja.

Menurutnya, ada satu program yang bagus yang bisa menjadi solusi mengurangi terjadinya karhutla di Indonesia. Yakni melalui program Indeks Desa Membangun. Untuk menjadi desa mandiri, suatu desa harus memenuhi 54 indikator. Indikator ini dibagi dalam 3 kelompok. Yakni indeks kekuatan ekonomi, indeks kekuatan lingkungan dan indeks kekuatan sosial.

Di indeks kekuatan lingkungan, salah satu variabelnya untuk suatu desa menjadi desa mandiri adalah tidak adanya kebakaran lahan dan sebagainya. Sehingga dengan semakin banyak desa mandiri, maka semakin kecil potensi kebakaran lahan terjadi. Dikarenakan masyarakat desa setempat akan menjaga lahan di desanya agar tidak terbakar.

"Dari 74.954, desa mandiri itu per 2019 kemarin baru ada 876. Kalau sekarang 2020 ini paling tinggi 2.000-anlah desa mandiri. Bayangkan 74 ribu desa mandiri cuma 2.000. Nah itu saja menunjukkan bahwa kita sebetulnya enggak serius itu ngurus lingkungan. Padahal di indeks desa membangun itu ada indikator lingkungan."

Sutarmidji menegaskan, selama pemerintah tidak serius melibatkan masyarakat, tidak mau membangun desa dan enggan mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan, maka selama itu pula negara ini akan terus bicara tentang sejarah dan evaluasi karhutla yang tidak ada manfaatnya. Terutama bila tanpa tindakan nyata.

"Tindakan nyata solusi saya adalah bagaimana kita membangun desa. Karena hutan itu kan tidak ada di kota. Hutan kota itu tidak ada terbakar. Hutan kota itu biarpun di lahan gambut, kita ini di Universitas Tanjung Pura itu lahannya 200 hektare lebih, hampir semuanya gambut tidak pernah terjadi kebakaran di situ. Kenapa? Karena masyarakatnya tidak tergantung untuk tanam dan sebagainya. Ini sebagai contoh saja."

7 Provinsi Langganan Karhutla 20 Tahun Terakhir

Direktur Data Yayasan Auriga Nusantara, Dedi Sukmara mengungkapkan, berdasarkan kajian hotspot 20 tahun terakhir yang dilakukan Auriga Nusantara, sebagian besar titik panas berada di lahan gambut. Terutama di 7 provinsi, yakni Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Papua.

"Ini yang kemudian menyebabkan kebakaran semakin sulit dipadamkan karena api menjalar di perut gambut dan memicu bencana asap," kata Dedi, dalam diskusi virtual, Belajar dari Kebakaran 20 Tahun Terakhir.

Masih berdasarkan kajian, karhutla yang terjadi dalam rentang 2001-2019, diketahui berulang-ulang terjadi di kabupaten yang sama di bulan yang sama di sejumlah provinsi. Data hotspot 19 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan api tinggi hanya di sebagian kabupaten di 7 provinsi.

Sumber: Auriga

Dedi melanjutkan, kemunculan hotspot 20 tahun terakhir juga menunjukkan pola tertentu. Di Indonesia, hotspot terpantau selalu muncul pertama kali di beberapa kabupaten di Riau. Di Riau terjadi dua gelombang titik api. Yakni Januari-Maret terjadi di 6 kabupaten dan Mei-September 8 kabupaten. Beberapa kabupaten dengan jumlah titik api tertinggi adalah Pelalawan, Bengkalis, Dumai dan Kepulaun Meranti.

Selanjutnya, pada Juni titik api mulai terpantau di Kalbar. Di provinsi ini titik api tertinggi terjadi pada Juni-Oktober, ini cenderung terjadi di 6 kabupaten. Seperti di Bengkayang, Ketapang, Kubu Raya dan Sanggau.

Kemudian memasuki Juli, titik api terpantau muncul di Kalteng. Jumlah titik api tertinggi berada di 8 kabupaten selama Juli-Oktober. Di antaranya Barito Selatan, Kapuas, Katingan dan Kotawaringin Barat.

Menyusul kemudian Jambi yang umumnya mulai terpantau adanya hotspot pada Agustus-Oktober. Di Jambi jumlah titik api tertinggi berada di 4 kabupaten, yakni di Muaro Jambi, Sarolangun, Tanjung Jabung Timur dan Tebo.

Hampir bersamaan dengan kemunculan titik api di Jambi. Di Sumsel titik api mulai terpantau bermunculan juga pada Agustus-Oktober. Jumlah titik api tertinggi biasanya terjadi di Kabupaten Banyuasin, Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir.

Kemudian di Kalsel, titik api mulai terpantau muncul pada Juli-Oktober. Beberapa kabupaten dengan jumlah titik api tertinggi yakni Banjarmasin, Hulu Sungai Tengah dan Tanah Laut.

Titik api dalam 20 tahun terakhir juga terpantau kerap muncul di Provinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Merauke. Titik api di kabupaten tersebut mulai terpantau pada Juli-November.

"Tapi beberapa tahun terakhir ada episentrum api baru yang muncul. Yakni di Sulawesi Tengah, Sulawei Tenggara dan Kalimantan Utara."

Dedi menjelaskan, dilihat dari tren hotspot di lahan gambut, 1 dari 4 hotspot yang muncul sepanjang dua dekade terakhir berada di 7 provinsi kaya gambut. Hotspot di lahan gambut paling banyak ditemukan di Kalimantan. Namun pada 2019, laju peningkatan hotspot di area gambut paling tinggi di Sumatera.

"Yakni di Jambi, Sumatera Selatan dan Riau. Tiga provinsi ini juga mencetak rekor titik panas tertinggi di gambut dalam 20 tahun terakhir."

Penyebab Karhutla Berulang Kali Terjadi

Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero berpendapat, karhutla bisa terjadi secara berulang, salah satunya karena memang hal itu dikehendaki. Selain itu, latar belakang terjadinya kebakaran tidak serta merta dikarenakan penyiapan lahan dengan pembakaran. Karena bisa jadi itu karena jual beli lahan dan klaim asuransi.

Selain itu, penyebab lain adalah tidak tegas dan pilih kasih dalam penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan. Selanjutnya kebakaran terhadi karena adanya pembiaran, dan juga karena pengendalian kebakaran yang dilakukan tidak menyentuh masyarakat di tingkat tapak. Terakhir pengendalian kebakaran yang tidak berbasis ilmian tetapi berbasis politik.

"Yang terjadi malah di tengah-tengah sibuk mengurusin kebakaran dan kebakarannya sudah terjadi, kita baru sibuk. Wah kita mau mulai pencegahan nih. Pencegahan macam apa? Kebakarannya sudah terjadi kok, sudah besar baru kita ributkan pencegahan. Ketika pemadaman, kita sudah berhasil lakukan pemadaman. Menurut saya pemadaman itu adalah keberhasilan semu. Mengapa kita bangga dengan pemadaman tapi kita sudah banyak kehilangan," kata Bambang Hero, Selasa (8/9/2020).

Pada 2014 pihaknya melakukan audit kepatuhan, hasilnya banyak kabupaten dan juga perusahaan yang tidak patuh. Dicontokannya, di Riau dari 6 kabupaten hanya 1 kabupaten saja yang dinyatakan lulus uji kepatuhan. Sedangkan audit kepatuhan yang dilakukan kepada perusahaan perkebunan dan kehutanan, pihaknya menemukan tidak satupun perusahaan yang lulus uji kepatuhan.

Bambang Hero menyarankan, ada beberapa solusi yang bisa diterapkan untuk mencegah dan menghadapi karhutla. Yang pertama pengendalian kebakaran haruslah berbasis ilmiah dalam arti sesungguhnya. Kemudian tahapan pengendalian karhutla dilakukan dengan sebenar-benarnya, jangan pencegahan malah dilakukan di saat kebakaran sedang terjadi.

"Kemudian, masyarakat mustinya merupakan partner dan bukan sparring partner yang selalu dimusuhi dan lain sebagainya. Terakhir adalah penegakan hukum sejatinya memang dilakukan untuk menimbulkan efek jera."

Lihat juga video diskusi Belajar dari Kebakaran 20 Tahun Terakhir.  di