LIPUTAN KHUSUS:
Koalisi: Batalkan Pembahasan Rancangan PP Turunan UU Minerba
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Salah satu alasannya yakni, UU Minerba baru yang menjadi payung hukum PP itu dinilai bermasalah, bahkan sedang digugat oleh sejumlah pihak di Mahkamah Konstitusi.
Tambang
Rabu, 16 September 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Koalisi masyarakat sipil #BersihkanIndonesia mendesak agar penyusunan sejumlah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Barat (UU Minerba) dihentikan.
Salah satu alasannya yakni, UU Minerba baru yang menjadi payung hukum PP itu dinilai bermasalah, bahkan sedang digugat oleh sejumlah pihak di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejauh ini, terdapat tiga RPP pelaksana UU Minerba yang tengah digodok oleh pemerintah. Yakni RPP tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, RPP tentang Wilayah Pertambangan dan RPP tentang Pengawasan Reklamasi dan Pascatambang.
Dalam siaran persnya, koalisi #BersihkanIndonesia menyebut RPP tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara saat ini tengah dilakukan finalisasi dan dibahas oleh Kementerian ESDM bersama sejumlah kementerian dan lembaga negara terkait lainnya. Sedangkan untuk RPP tentang Wilayah Pertambangan dan RPP tentang Pengawasan Reklamasi dan Pascatambang pembahasannya masih dibahas secara internal.
Terdapat beberapa aspek yang diatur dalam RPP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Yakni soal rencana pengelolaan mineral dan batu bara, pemberian perizinan berusaha di bidang pertambangan mineral dan batu bara, hak kewajiban dan larangan pemegang perizinan berusaha, serta pengutamaan penggunaan mineral logam dan/atau batu bara untuk kepentingan dalam negeri.
"Yang kita tahu bahwa sekarang ini ada beberapa perusahaan besar yang mengajukan perpanjangan PKP2B-nya (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara). Jadi ada dugaan sangat besar bahwa PP ini sangat terburu-buru karena untuk memfasilitasi perpanjangan PKP2B yang sudah mau habis," kata Aryanto Nugroho, peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, dalam konferensi pers yang digelar secara virtual pada Selasa (15/9/2020).
Ada empat alasan mengapa pembahasan dan penyusunan RPP turunan UU Minerba ini dianggap perlu ditunda atau dibatalkan. Pertama, UU Minerba yang menjadi landasan penyusunan RPP tersebut masih dinilai kontroversial dan menimbulkan polemik hingga mendapatkan penolakan dari berbagai pengamat, akademisi, organisasi masyarakat sipil dan publik secara umum.
"RRP ini merupakan turunan UU Minerba yang masih menjadi polemik. Dari segi proses maupun substansinya tidak transparan, tidak partisipatif dan tidak memiliki akuntabitas."
Penolakan terhadap UU Minerba itu bahkan melahirkan gugatan uji formil dan uji materiil di MK yang dilayangkan sejumlah pihak. Yaitu, Permohonan Nomor 58/PUU-XVIII/2020 oleh Asosiasi Advokat Konstitusi, Permohonan Nomor 60/PUU-VIII/2020 oleh Tamsil Linrung dkk, Permohonan Nomor 64/PUU-VIII/2020 oleh Helvis dkk dan Permohonan Nomor 65/PUU-VIII/2020 oleh Erzaldi Rohmah, Gubernur Bangka Belitung.
"Saat ini UU Minerba sendiri itu sedang digugat oleh beberapa elemen masyarakat. Setidaknya ada beberapa yang sudah masuk. Baik itu JR (judicial review) secara formil artinya prosedural maupun JR secara materiil ataupun materi dalam pasal. Bahkan yang menggugat tidak main-main, ada beberapa advokat kemudian anggota DPD. Bahkan Gubernur Bangka Belitung merupakan salah satu pemohon JR UU Minerba ini."
Poin-poin gugatan tersebut di antaranya mengenai kontroversi pembahasan yang begitu dipercepat, berlangsungnya pembahasan di luar gedung DPR RI, dan pelanggaran UUD 1945 pasal 22 D ayat 2 dikarenakan pembahasan dilakukan tanpa melibatkan elemen DPD RI.
Koalisi #BersihkanIndonesia menganggap pemerintah seharusnya tidak melakukan pembahasan dan pengesahan RPP hingga ada hasil putusan MK atas UU Minerba terlebih dahulu. Karena, putusan MK ini akan berpengaruh pada RPP yang akan disusun dan jangan sampai pemerintah nantinya malah melakukan revisi terhadap regulasi yang ditetapkan karena tidak menunggu hasil putusan MK.
Bila pembahasan RPP dilanjutkan sebelum hasil putusan MK keluar, persepsi ketidakpastian hukum Indonesia akan semakin meningkat. Hal ini malah akan membuat iklim investasi Indonesia semakin tidak menarik.
"Alangkan bijaknya kalau pemerintah kemudian tidak terburu untuk membahas atau mengesahkan PP ini. Karena jika terburu-buru kemudian JR-nya hasilnya membatalkan undang-undangnya maka akan sangat disayangkan."
Alasan kedua, #BersihkanIndonesia menilai penyusunan RPP Pertambangan ini tidak memenuhi aspek transparansi dan tidak membuka ruang yang luas untuk partisipasi masyarakat. Padahal UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengamanatkan agar penyusunan peraturan perundangan-undangan, penyusunan RPP sektor pertambangan harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
Salah satunya dengan mempublikasikan draft dan NA RPP, membuka saluran untuk masukan publik maupun menyelenggarakan putaran konsultasi publik yang menjangkau stakeholder yang seluas-luasnya. Termasuk di dalamnya pemerintah daerah, masyarakat adat, dan masyarakat sekitar tambang.
Persoalan ini sama dengan intisari beberapa poin gugatan terhadap UU Minerba. Yang mana apabila pembahasan RPP ini yang dilakukan tanpa adanya transparansi, hal itu akan kembali berpotensi memicu adanya gugatan dari masyarakat. Tak hanya itu, kurangnya transparansi dalam penyusunan RPP turunan ini juga akan memperburuk persepsi investor mengenai ketidakpastian hukum di Indonesia.
Selanjutnya, ketiga, pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman banyaknya kontroversi maupun sorotan publik terhadap penyusunan PP di sektor pertambangan minerba seperti polemik PP Nomor 1 Tahun 2014, PP Nomor 1 Tahun 2017, maupun Revisi keenam PP 23 Tahun 2010.
#BersihkanIndonesia mendesak pemerintah agar lebih transparan dan tidak tergesa-gesa dalam penyusunan sejumlah RPP terkait pertambangan minerba serta membuka ruang dialog yang seluas-luasnya dengan berbagai pihak. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari adanya polemik dan dugaan adanya kepentingan pihak tertentu maupun potensi gugatan setelah penetapan PP tersebut.
"Apakah pemerintah tidak belajar dari kejadian-kejadian selama 5 tahun terakhir. Harusnya RPP turunan UU Minerba itu jangan jadi polemik lagi dan jangan dipaksakan. Saat ini ternyata pemerintah justru melakukan dan mengulangi kesalahan yang sama terburu-buru dan senyap tidak melakukan konsultasi publik dan diskusi dengan stake holder yang lain."
Banyak Pasal Bermasalah dalam RPP
Keempat, secara substansi banyak sekali pasal-pasal yang bermasalah dalam RPP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Di antaranya, ada banyak bab dan pasal yang memberikan kemudahan bagi perpanjangan PKP2B yang akan berakhir. Dilihat dari penyusunan RPP yang dilakukan secara terburu-buru dan tanpa partisipasi publik, #BersihkanIndoensia menduga RPP ini memang disiapkan untuk kepentingan sejumlah pemegang PKP2B.
Selanjutnya, penyempitan definisi masyarakat yang berpotensi semakin membatasi ruang partisipasi masyarakat, termasuk pelaku usaha, akademisi dan kelompok masyarakat sipil lainnya, serta menghilangkan hak warga negara sebagai bagian dari masyarakat.
Kemudian tidak adanya pertimbangan kebijakan energi nasional dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Minerba Nasional dikhawatirkan berpotensi menjadikan sektor ini sebagai rente komoditas semata dan menyebabkan target bauran energi maupun target emisi yang telah disetujui negara dalam deklarasi Paris tidak tercapai.
Hal lainnya, adanya ketentuan pemindahtanganan IUP berdasarkan persetujuan Menteri ESDM. Hal ini juga berpotensi memberikan lebih banyak lagi peluang bagi adanya pemburu rente yang merugikan negara. Terakhir minimnya transparansi dan partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat di sekitar tambang dalam proses lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), maupun Wilayah Pencadangan Negara.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim) Pradarma Rupang mengungkapkan, satu pekan yang lalu pihaknya melayangkan permohonan data dan informasi tentang sejumlah dokumen terkait 5 perusahaan yang beroperasi di Kalimantan. Yakni PT Kaltim Prima Coal, PT Multi Harapan Utama, PT Berau Coal, PT Kideco Jaya Agung dan PT Arutmin.
"Seiring dengan rencana pemerintah yang akan mengesahkan RPP, patut bagi kami sejauh apa kewajiban-kewajiban tersebut dan hak bagi para pemegang izin, khususnya PKP2B, telah dilaksanakan dan dipatuhi. Karena kita juga punya sejumlah raport buruk perjalanan perusahaan-perusahaan tambang," kata Pradarma Rupang, Selasa (15/9/2020).
Sedangkan dokumen-dokumen yang dimohonkan adalah, dokumen kontrak PKP2B, dokumen rekaman dan atau catatan tertulis notulensi evaluasi pengajuan perpanjangan kontrak PKP2B, dokumen evaluasi pengajuan perpanjangan kontrak PKP2B dan daftar nama, profesi dan jabatan serta lembaga mana saja yang terlibat dalam evaluasi perpanjangan kontrak PKP2B yang terkait dengan 5 perusahaan tersebut.
Apakah PP Pertambangan Bisa Menjawab Persoalan yang Ada?
Rupang juga mempertanyakan apakah RPP turunan UU Minerba bisa menjawab persoalan keselamatan rakyat, permasalahan lingkungan, krisis pangan, konflik perampasan lahan yang dialami petani dan masyarakat adat.
"Keadilan pusat dan daerah, kepatuhan pembayaran royalti, pajak dan PNBP, permasalahan korupsi, permasalahan izin yang tidak clean and clear dan kelanjutan ekonomi daerah tambang setelah pertambangan ditutup. Ini yang saya sampaikan adalah persoalan-persoalan krusial."
Lebih lanjut Pradarma Rupang menjelaskan, ada beberapa permasalahan sektor pertambangan sebelum UU Minerba terbaru yang juga belum terjawab sampai saat ini. Yakni, renegosiasi 37 KK dan 74 PKP2B yang belum terlaksana, peningkatan nilai tambah mineral dan batu bara belum terlaksana dengan baik, pengembangan sistem data informasi minerba masih bersifat parsial.
Kemudian belum diterbitkannya seluruh aturan pelaksana UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan minerba. Penataan Kuasa Pertambangan atau Izin Usaha Pertambangan belum selesai, dan tidak ada upaya sistematis untuk meningkatkan domestic market obligation (DMO).
Selanjutnya kewajiban pelaporan reguler belum dilakukan oleh pelaku usaha dan pemerintah daerah, kewajiban reklamasi dan pascatambang belum sepenuhnya dilakukan, pengawasan pertambangan belum optimal dan terdapat kerugian keuangan negara karena tidak dibayarkannya Iuran Tetap.
Pradarma Rupang menyebut hingga kini sedikitnya sudah ada 39 nyawa melayang akibat lubang tambang. Bahkan baru-baru ini dua anak tewas di lubang tambang salah satu perusahaan di Kaltim. Pertengahan Tahun 2019 KLHK mengumumkan akan membuat percontohan 3 Lubang tambang menjadi peruntukkan lain di Kota Samarinda yakni Obyek Wisata dan Hutan Kota.
Terdapat 4 Perusahaan yang dilibatkan dalam percontohan tersebut, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Lanna Harita Indonesia (LHI), PT Insani Bara Perkasa (IBP) dan PT Energi Cahaya Industritama (ECI). Dari nama-nama tersebut, 3 di antaranya punya rekam jejak buruk terkait pembiaran lubang tambang. Perusahaan tersebut yakni PT LHI, PT IBP dan PT ECI. Ketiganya merupakan penyebab tewasnya 9 anak di lubang tambang.
"Hingga hari ini apa yang terjadi di Kaltim fenomena darurat lubang tambang ini sudah luar biasa. Dalam catatan kami terakhir di bulan ini ada kembali lagi jauh korban 2 anak yang tewas di lubang tambang PT Sarana Daya Hutama, di Kabupaten Paser, itu juga akibat kegagalan program reklamasi yang digembar-gemborkan oleh Dirjen Minerba."
Ketua Divisi Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan menambahkan, bicara UU Minerba maka harus mundur kebelakang. Pada 1960 Indonesia mengesahkan UU Pokok Agraria yang memberikan jaminan perlindungan hak bagi kaum tani dan masyarakat yang menggantunkan hidupnya dari lahan tanah. Namun pada 1967 atau 7 tahun kemudian pemerintah menerbitkan UU Pertambangan bersamaan dengan UU Penanaman Modal Asing yang semangatnya bertolak belakang dengan UU Pokok Agraria.
"Jadi bayangkan, tahun 1960 ada satu UU yaitu UU Pokok Agraria dan 7 tahun kemudian ada satu UU yang semangatnya justru bertolak belakang dengan UU Pokok Agraria. Semangatnya adalah investasi dan ekspolitasi terhadap sumber daya alam yang sebesar-besarnya dan seluas-luasnya," kata Ayip Yogiawan, Selasa (15/9/2020).