LIPUTAN KHUSUS:
Layu Hutan kala Wilayah Bermekaran di Papua
Penulis : Kennial Laia
Kebijakan perizinan di sektor kehutanan berkontribusi besar terhadap deforestasi di Tanah Papua
Deforestasi
Senin, 08 Februari 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Setelah menerapkan otonomi khusus, pemekaran wilayah administratif besar-besaran terjadi di Tanah Papua. Pada 1996, Papua masih terdiri dari 14 kabupaten. Namun hingga 2020, jumlah wilayah administratifnya itu berkembang menjadi 40 kabupaten.
Pemekaran di Tanah Papua diatur dalam beberapa beleid. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 yang mengatur tentang pembentukan kabupaten seperti Sarmi, Raja Ampat, Yahukimo, Boven Digoel, Asmat, dan Teluk Bintuni.
Terkait dengan deforestasi, yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah kebijakan pemekaran wilayah di Papua berdampak kepada laju deforestasi di Bumi Cendrawasih itu?
Data Yayasan Auriga Nusantara mengungkap, terjadi deforestasi di berbagai kabupaten hasil pemekaran di Tanah Papua selama 20 tahun terakhir. Organisasi pegiat isu lingungan dan hutan tersebut menggabungkan dataset Global Forest Change dari Global Land Analysis and Discovery dan peta penutupan lahan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2000.
Hasilnya, setiap kabupaten mengalami deforestasi dalam rentang waktu 2001-2019. Deforestasi terbesar terjadi di Kabupaten Merauke seluas 123.049 hektare, disusul Kabupaten Boven Digoel seluas 51.600 hektare. Bila digabung, empat kabupaten tersebut mencatat deforestasi seluas 203.006 hektare. Angka itu hampir sepertiga dari seluruh tutupan hutan yang hilang di Tanah Papua.
Perlu diperhatikan, Boven Digoel, bersama Mappi dan Asmat merupakan kabupaten hasil pemekaran wilayah dari Merauke. Pemekaran wilayahnya dilaksanakan pada 2002, artinya deforestasi terjadi saat kabupaten baru mulai bermekarkan.
Di Papua Barat, luasan deforestasi terpantau merata. Auriga mencatat Kabupaten Teluk Bintuni dengan kehilangan tutupan hutan terbesar (33.443 hektare), Kabupaten Sorong (33.433 hektare), dan Kabupten Fakfak (31.776 hektare).
Menurut Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra, kebijakan seperti pemekaran ikut menyumbang deforestasi di Tanah Papua. Kegiatan seperti pembangunan infrastruktur, pembukaan permukiman, dan pertokoan membutuhkan pembukaan lahan yang tidak sedikit.
Namun, kebijakan terkait penerbitan izin untuk industri kehutanan dan perkebunan monokultur skala besar. Perambahan liar saat itu juga diyakini sebagai penyumbang utama penurunan tutupan hutan di Bumi Cenderawasih.
“Undang-undang Otsus itu semangatnya protektif tapi terbentur dengan kepentingan pemerintah pusat terkait kebijakan kehutanan di Papua,” kata Syahrul kepada Betahita, Kamis, 4 Februari 2021.
Salah satu kebijakannya adalah tata batas kawasan hutan. Menurut Syahrul, saat penetapan kawasan hutan, justru hutannya itu ditetapkan sebagai Hutan Produksi dan Hutan Produksi Konversi. Dengan status ini, hutan itu berpotensi untuk pelepasan kawasan hutan.
“Eksploitasi hutan Papua telah direncanakan sejak awal saat penetapan kawasan hutan,” kata Syahrul.
Kebijakan lain yang ikut berkontribusi terhadap turunnya tutupan hutan Tanah Papua adalah sektor hutan tanaman industri (HTI). Kata Syahrul, sebelumnya industri HTI hanya beroperasi di area yang tidak produktif seperti padang ilalang. Namun, kriteria tersebut dihilangkan. Akibatnya, industri HTI boleh beroperasi di kawasan hutan produksi.
“Dalam konteks Papua, kan kaya hutan. Jadi ketika mereka masuk, sudah pasti land clearing. Itu yang sebabkan deforestasi,” jelasnya.
Hal serupa terjadi dengan izin hak pengusahaan hutan (HPH), yang meliputi kegiatan seperti penebangan kayu, pengolahan, dan pemasaran hasil kayu. Industri kehutanan tertua di Papua ini bermula sejak 1980-an, saat eksploitasi terjadi. Perambahan terjadi, termasuk oleh pemegang izin yang menebang kayu hingga ke luar konsesi. Akibatnya, hutan primer pun berubah wajah jadi hutan sekunder.
Syahrul juga menyorot Izin Usaha Perkebunan (IUP), khususnya kelapa sawit. Saat ini IUP kelapa sawit di Tanah Papua mencapai 1,5 juta hektare. Izin-izin tersebut beroperasi di area kaya hutan berstatus hutan produksi dan hutan produksi konversi.
“Ketika terjadi pelepasan kawasan hutan, konversi habis-habisan pun terjadi. Ini juga akibat dari kebijakan di sektor pertanian terkait proses perizinan yang tidak jelas,” kata Syahrul.
Program pembangunan pemerintah juga ikut mendorong laju deforestasi di papua. Salah satunya adalah pembangunan jalan trans Papua yang mempercepat laju pembukaan hutan di Papua.
“Ini mendorong kerusakan karena konsepnya tidak berdasarkan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan Orang Asli Papua,” ujar Syahrul.
Laju Deforestasi Papua dalam Angka
Bila dirinci, dalam 20 tahun terakhir, 87 persen deforestasi itu terjadi di 20 kabupaten, atau di separuh dari jumlah kabupaten yang ada di Tanah Papua. Deforestasi terbesar terjadi Kabupaten Merauke, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Yang masing-masing seluas 123.049 hektare, 51.600 hektare dan 32.924 hektare.
Apabila dilihat berdasarkan tren deforestasi lima tahunan. Terlihat ada beberapa kabupaten yang mendominasi laju deforestasi. Di periode lima tahun pertama (2001-2005), Kabupaten Boven Digoel merajai perolehan angka deforestasi terbesar, dengan mendulang angka sebesar 9.838 hektare. Peringkat kedua ditempati Kabupaten Teluk Bintuni dengan luas 6.871 hektare. Sedangkan peringkat ketiga dan keempat, diduduki oleh Kabupaten Kaimana dengan deforestasi sebesar 6.866 hektare, dan Kabupaten Mimika dengan luas pembabatan hutan alam sebesar 4.563 hektare.
Sama dengan di periode lima tahun pertama. Di periode lima tahun kedua (2006-2010), Kabupaten Boven Digoel lagi-lagi muncul sebagai kabupaten yang paling terdepan menghasilkan deforestasi terbesar di Tanah Papua, dengan luas 12.946,72 hektare. Namun ada nama-nama baru kabupaten penghasil deforestasi terbesar selanjutnya di periode ini. Yaitu Kabupaten Sorong di posisi kedua, yang menghasilkan 9.710,80 hektare, Kabupaten Jayapura sebesar 7.278,32 hektare di posisi ketiga. Pada periode ini Kabupaten Mimika kembali menempati posisi keempat dengan luas deforestasi yang dihasilkan 6.528,32 hektare.
Kemudian di periode ketiga (2011-2015), peringkat kabupaten tertinggi penghasil deforetasi mengalami perubahan. Yang sebelumnya dirajai oleh Kabupaten Boven Digoel, di periode ini dirajai oleh Kabupaten Merauke, dengan luas sebesar 61.648,44 hektare. Namun ada nama-nama baru kabupaten penghasil deforestasi terbesar selanjutnya di periode ini. Yaitu Kabupaten Nabire di posisi kedua, yang menghasilkan 17.592,16 hektare dan Kabupaten Keerom sebesar 16.790,95 hektare di posisi ketiga. Kabupaten Boven Digoel yang di periode pertama dan kedua menempati posisi pertama, di periode ketiga ini menempati posisi keempat dengan luas 13.812,11 hektare.
Pada periode keempat (2016-2019), Kabupaten Merauke juga unggul dalam perolehan angka deforetasi terbesar, dengan luas 52.945,79 hektare. Di peringkat selanjutnya, Kabupaten Boven Digoel sebesar 15.004,34 hektare, Kabupaten Fakfak 13.579,80 hektare dan Kabupaten Teluk Bintuni 11.819,28 hektare.
Pemekaran wilayah prinsipnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan meningkatkan serta mempercepatan pelayanan, kehidupan demokrasi, perekonomian daerah, pengelolaan potensi daerah, keamanan dan ketertiban, dan hubungan yang serasi antar daerah dan pusat. Namun apa yang kemudian diperlihatkan data memang tak seindah cita-cita.