LIPUTAN KHUSUS:

AHLI: Korupsi Tambang terus Gerus Kocek Negara


Penulis : Tim Betahita

Kerugian negara juga terjadi pada sisi investasi dan penyerapan tenaga kerja.

Hukum

Minggu, 20 Juni 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Korupsi sumber daya alam seperti mineral dan tambang menggerus setoran pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Hal itu diungkapkan oleh Ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri, dalam diskusi virtual, kemarin.

“Penerimaan pajak terus merosot lantaran pertambangannya jebol,” ujar Faisal. “Koefisien pajak dari pertambangan tinggal 0,66 persen. Artinya, peningkatan nilai tambah berbasis pajak dari sektor ini cuma 0,66 persen dari yang seharusnya 1 persen."

Faisal mengatakan perhitungan koefisien pajak dari pertambangan sebesar 0,66 persen ini merujuk pada data per akhir 2020. Padahal, sekitar 2012-2016, tingkat koefisien pajak pertambangan di Indonesia masih berada di kisaran 1,4 persen.

"Jadi semakin jelas, dalam lima tahun terakhir ketika sektor pertambangan semakin dikeruk, tapi penerimaan bagi negara turun. Ini karena adanya korupsi di sektor ini," ucapnya.

Ilustrasi Suap (Photo by cottonbro from Pexels)

Tingkat koefisien pajak pertambangan, sambungnya, tertinggal jauh dari sektor lain, misalnya sektor jasa keuangan. Tercatat, tingkat koefisien pajak sektor itu mencapai 3,54 persen pada 2020.

Dampak lanjutannya, sumbangan minim pajak dari sektor pertambangan membuat rasio kepatuhan pembayaran pajak di Indonesia juga kian turun. Pada 2020, misalnya, rasio pajak cuma 9,75 persen.

"Peringkat tax ratio kita 127 dari 140 negara, jadi luar biasa. Akibat lain, dengan penerimaan yang turun terus, jadi harus utang," tuturnya.

Tak cuma kontribusi pajak yang menurun. Faisal juga mencatat setoran PNBP dari pertambangan terus tergerus. Selain karena korupsi, hal ini juga terjadi karena pemerintah terlalu 'bermurah hati' kepada pengusaha sektor tersebut.

"PNBP ini semakin lama kecenderungannya turun, semakin tidak bisa digali. Ini juga karena kebijakan royalti dan lainnya, yang membuat mereka (pengusaha tambang) mendapat banyak insentif, tapi setoran ke negara jadi berkurang," katanya.

Lebih lanjut, Faisal mengatakan bahwa kerugian negara juga terjadi pada sisi investasi dan penyerapan tenaga kerja.

Kondisi ini terjadi bukan cuma karena korupsi, tapi pemerintah terlalu sering memberikan 'karpet merah' pada investasi dan tenaga kerja asing, salah satunya dari China.

Menurut catatannya, sumbangan investasi dari China mencapai 10,6 persen dari total modal asing yang mengalir ke Indonesia. Namun, kontribusi tenaga kerja asingnya mencapai 36,2 persen di dalam negeri.

"Ini membuat koefisiennya jadi 3,4 persen. Gampangnya, dia (China) bawa investasi satu, tapi tenaga kerjanya sampai tiga orang. Beda ini dengan investasi Singapura, misalnya, yang lebih banyak investasinya daripada tenaga kerjanya yang masuk ke kita," katanya.

Di sisi lain, Faisal menilai korupsi yang tinggi di sektor pertambangan terjadi karena ada peran dari pemerintah pusat dan daerah. Toh, penyelenggaraan usaha pertambangan membutuhkan banyak izin, salah satunya untuk konsesi lahan.

"Penyebab terjadinya korupsi di sumber daya alam ini juga terjadi karena pemberian izin. Pengelolaan sumber daya alam kan butuh izin konsesi. Ini bisa berasal dari pemerintah," tuturnya.