LIPUTAN KHUSUS:
PLN Akui Biaya Energi Terbarukan Semakin Murah
Penulis : Aryo Bhawono
Menekan biaya peralihan energi bergantung pada niat pemerintah.
Energi
Senin, 13 Desember 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Biaya transisi energi selalu menjadi alasan PLN dan pemerintah untuk mempercepat penghentian penggunaan batu bara sebagai sumber energi. Alasan ini menjadi ironi karena pemerintah masih memberikan berbagai penjaminan PLTU dan subsidi harga batu bara.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyebutkan saat ini batu bara menjadi sumber energi murah karena persediaan di dalam negeri melimpah. Harga pun dapat ditekan hingga 4-6 sen per Kwh.
Sedangkan penggunaan penggunaan gas sebagai sumber energi membutuhkan biaya 9 sen per Kwh. Lalu pembangkit listrik geothermal sebesar 11-12 sen per Kwh, dan bayu 10-11 sen per Kwh.
"Saat ini memang kalau mau energi murah ya kotor, dan kalau mau yang bersih agak mahal. Tapi ke depan, dilema itu bisa dibalik. Saya yakin 5-6 tahun dari sekarang, Energi Baru Terbarukan (EBT) akan superior karena secara teknis lebih andal, secara komersial juga lebih murah," kata Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo dikutip dari detikFinance.
Perkembangan teknologi dapat menekan harga ini. Pada 2015 ketika PLN melelang PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) harganya 25 sen per KWH. Tapi pada 2017 sudah turun menjadi 15 sen, 2020 (5,8 sen) dan terakhir (3,8 sen).
Artinya, PLTS yang bersih dari emisi menjadi kian murah seiring kemajuan teknologi. Demikian juga pembangkit listrik tenaga bayu yang sebelumnya 11 sen per kwh sudah turun menjadi 8 sen.
Atas dasar keyakinan itu, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, akan ada penambahan kapasitas listrik lebih dari 40 MW yang 51% di antaranya berbasis EBT. Darmawan mengklaim RUPTL ini adalah yang terbersih dalam sejarah energi Indonesia. Pada 2025 diproyeksikan 23% pembauran berbasis pada EBT.
"Pada 2026, berpikir membangun pembangkit listrik tenaga bara sudah haram. Pada 2025, PLTD yang membutuhkan banyak BBM juga akan mulai diganti dengan EBT yang lebih murah dan bisa beroperasi 24 jam. Kita juga bangun PLTS, Panas Bumi, Bayu," tegas doktor ekonomi lingkungan dari Universitas Texas, Amerika Serikat itu.
Sedangkan PLTU berbasis batu bara secara bertahap akan dicampur dengan biomassa yang berbasis kerakyatan, sehingga berdampak pada pembukaan lapangan kerja. PLTU batu bara tak serta-merta diganti total karena sebagian kontraknya dengan pihak swasta baru akan berakhir pada 2056. Khusus PLTU yang dimiliki langsung oleh PLN (16 MW) akan ada percepatan pensiun dini untuk beralih ke EBT," ujar Darmawan Prasodjo.
Sebelumnya Peneliti Auriga Nusantara, Widya Kartika, menganggap transisi energi secara lebih murah dapat dipercepat dengan mengubah alokasi dana berbagai penjaminan PLTU dan subsidi harga batu bara. Dana itu dapat dialihkan untuk membangun infrastruktur energi terbarukan. Niat menekan biaya dari peralihan energi bergantung pemerintah.
Selama ini pemerintah berani menjamin pembangunan PLTU melalui berbagai kebijakan pembangunan seperti Penjaminan Jual Beli Listrik (PJBL), jaminan resiko kelayakan usaha, dan beban perubahan kurs yang ditanggung pemerintah sejak 2016.
“Jika sebuah PLTU saja dijamin senilai 40 triliun bayangkan ada berapa PLTU dan berapa triliun uang yang dikeluarkan,” ucap dia.
Menurutnya selama ini negara memberikan banyak subsidi kepada energi fosil. Selain menghambat rencana memangkas emisi gas rumah kaca dan dekarbonisasi, subsidi ini justru tak efisien, boros, dan tak tepat sasaran. Dampak dari subsidi energi, kata dia, juga membuat harga energi terbarukan tidak kompetitif.