LIPUTAN KHUSUS:

Suara Suku Namblong yang Hutan Adatnya Dibabat PT PNM


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

PT Permata Nusa Mandiri (PNM) yang bahkan perizinan kehutanannya sudah dicabut, tetap nekat membabat hutan yang menjadi sumber hidup masyarakat adat Suku Namblong.

Hutan

Selasa, 08 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Ekspansi perusahaan perkebunan sawit di Tanah Papua seolah tak terbendung. PT Permata Nusa Mandiri (PNM) yang bahkan perizinannya sudah dicabut, tetap nekat membabat hutan yang menjadi sumber hidup masyarakat adat. Itu terjadi di Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Aktivitas pembabatan hutan oleh PT PNM yang terjadi justru setelah Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutannya dicabut oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)--melalui Keputusan Nomor: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan--itu telah menciptakan kegetiran hidup bagi masyarakat adat Suku Namblong yang tinggal di wilayah Grime dan Nawa.

"Hutan yang dibabat (oleh PT PNM) itu adalah hutan yang belum pernah dijamah (eksploitasi) sama sekali oleh manusia. Masyarakat adat masuk di hutan itu hanya sebatas berburu dan memancing saja," kata Abraham Yanetawa, perwakilan masyarakat adat, dalam konferensi pers yang digelar secara virtual oleh Organisasi Perempuan Adat (OrPA) Namblong dan Jerat Papua, Senin (7/3/2022).

Tidak kurang dari 100 Masyarakat Adat Suku Namblong yang tinggal di lembah Grime dan Nawa menandatangani pernyataan sikap, yang secara umum berisi penolakan keberadaan perusahaan perkebunan sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di atas wilayah adat.

Tampak dari ketinggian hutan yang digusur oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri di Namblong./Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Ketua OrPA Namblong, Rosita Tecuari dalam penyampaian pernyataan sikap itu meminta PT PNM untuk tidak lagi melakukan aktivitas di atas wilayah tanah adat Grime dan Nawa. Karena Masyarakat Adat Grime dan Nawa tidak setuju tanah adat berpindah tangan dan masyarakat adat tidak mau hutan itu rusak karena perkebunan kelapa sawit.

"Karena di hutan itulah kami selalu melakukan aktivitas untuk meramu. Hutan itu adalah pemberian Tuhan kepada leluhur kami dan diwariskan secara turun temurun sampai kepada kami dan kami pun juga harus mewasirkannya kepada anak cucu dan generasi yang akan datang," kata Rosita.

Masyarakat Adat Grime dan Nawa mengapresiasi sikap Presiden Joko Widodo yang pada 6 Januari 2022 lalu telah mengumumkan pencabutan izin konsesi--salah satunya Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan PT PNM-- yang ditegaskan pula oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melalui Keputusan Nomor: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022.

Meski begitu, PT PNM ternyata terus berdiri dan melawan pemerintah dengan cara mengabaikan keputusan pencabutan izin tersebut. Di lapangan, perusahaan PT PNM terus melakukan aktivitas penggusuran hutan di tanah adat. Karenanya masyarakat adat meminta kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri LHK Siti Nurbaya untuk segera melihat dan menindak perusahaan dengan tegas dan harus diberikan sanksi hukum sesuai dengan UU yang berlaku.

Kemudian, Masyarakat Adat Grime dan Nawa juga meminta pihak Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua untuk segera turun ke wilayah Unurum Guay dan Nimbokrang, untuk melihat apa yang sedang terjadi di hutan adat Grime dan Nawa. Yang mana di sana sudah terjadi penebangan hutan dan pengambilan kayu.

"Apakah sudah ada izin pemanfaatan kayu (IPK) atau belum, adanya keputusan Menteri LHK SK 01/2022, maka seharusnya izin-izin batal dan tidak berlaku lagi dengan sendirinya dinyatakan mati demi hukum."

Rosita menegaskan, kawasan hutan yang sementara ini digusur oleh PT PNM itu 30 tahun lebih telah menjadi tempat pemantauan burung cendrawasih. Pada saat ini hutan tersebut juga merupakan hutan adat dan hutan wisata yang dikelola oleh Alex Waisimon.

"Sehingga kami minta untuk bapak sesegera mungkin melakukan evaluasi dan melakukan tindakan yang betul-betul menguntungkan masyarakat adat," lanjut Rosita.

Selanjutnya, masyarakat adat meminta Bupati Jayapura untuk dapat bisa berempati kepada masyarakat adat Suku Namblong yang berada di wilayah Kabupaten Jayapura. Karena selain sebagai tempat masyarakat adat meramu dan tempat yang tersisa bagi anak cucu, hutan yang dibabat oleh PT PNM itu juga adalah habitat burung cendrawasih, kasuari, mambruk dan satwa lainnya.

"Kami mau bertanya kepada Bapak Bupati masih adakah hati nurani, masih adakah rasa sebagai anak adat ataukah tidak, kami yakin apa yang kami rasa itu juga yang akan dirasakan oleh Bapak Bupati sebagai anak adat."

Oleh sebab itu masyarakat adat meminta kepada Bupati Jayapura segera mencabut SK Bupati Jayapura No.2/3/2011 tentang Izin Lokasi seluas 32.000 hektare dan SK Bupati Jayapura No. 62/2014 tentang Izin Lingkungan kepada perusahaan PT PNM yang beroperasi di wilayah Grime dan Nawa, meliputi Distrik Unurum Guay, Nimbokrang, Nimboran, Kemtuk Gresi dan Distrik Kemtuk.

"Karena Bapak mengetahui bahwa di beberapa distrik ini bukan tanah kosong, tetapi di atas tanah ini ada kami masyarakat adat yang berdiam di atasnya, kalau Bapak mengangkat Program Kampung Adat di wilayah Kabupaten Jayapura, maka Bapak harus melihat hak kami selaku masyarakat adat, bukan Bapak harus memberikan izin kepada perusahaan. Sehingga pada kesempatan ini kami minta untuk Bapak segera mencabut izin yang telah Bapak keluarkan pada tahun 2011 dan 2014 lalu."

Tak hanya itu, pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Jayapura juga diminta untuk meninjau kembali Hak Guna Usaha (HGU) yang telah diberikan kepada PT PNM. Karena masyarakat adat menganggap HGU yang diterbitkan untuk PT PNM itu tidak sah, lantaran masyarakat adat belum pernah melepaskan tanah adat kepada pihak perusahaan.

"Informasi pelepasan yang diberikan oleh Marga Tecuari berlangsung secara sepihak, tanpa musyawarah mufakat. Karena tanah itu bukan milik Ondoafi (pemimpin marga) sendiri, Ondoafi atau Iram itu hanya mempunyai hak sebagai hak pelindung bukan pemilik, yang mana mereka melindungi hak-hak masyarakat yang dipimpinnya bukan hak menjual tanah tanpa sepengetahuan masyarakatnya."

"Pemberian uang kompensasi dilakukan dengan tipu daya yang membuat orang tertentu tidak berdaya dan terpaksa menerima. Tanah itu milik banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan, baik dia kecil atau besar, tua atau pun muda, maka surat pelepasan yang diberikan oleh Ondoafi dan beberapa pihak itu kami nyatakan tidak sah."

Penerbitan HGU PT PNM itu dirasa sangat merugikan masyarakat adat. Hutan dibabat, tanaman jangka panjang yang tanam digusur, hutan sagu jgua akan digusur. Hal itu membuat masyarakat tidak tahu lagi harus bergantung hidup kemana.

Rosita menegaskan, masyarakat adat tidak mungkin makan kelapa sawit dan tidak mungkin bekerja di perkebunan sawit. Sebab masyarakat adat adalah orang yang tidak terbiasa bekerja dengan sistem pengaturan perusahaan.

Dengan kata lain, masyarakat adat tidak bersedia diatur oleh orang lain, apalagi perusahaan. Masyarakat adat punya cara dan keinginannya sendiri dalam mengupayakan kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga pihaknya meminta agar HGU PT PNM dicabut, dan menurutnya HGU itu seharusnya sudah tidak berlaku lagi sejak keluarnya Keputusan Menteri LHK Nomor SK.01 itu.

"Maka kepada para pemimpin yang telah kami sebutkan ini mohon mendengar suara hati kami masyarakat adat yang berada di wilayah Grime dan Nawa. Kami tahu bahwa kita semua adalah orang-orang adat dan orang yang berbudaya yang tahu akan nilai-nilai adat, dan terlebih khususnya kita yang berada di Papua."

"Jadi kami minta pada saat ini dengarlah pernyataan suara hati kami masyarakat adat yang berada pada akar rumput bahwa hentikan dengan segera aktivitas perusahaan di atas hutan adat kami dan segera mencabut semua izin yang ada."

Kegetiran Hidup Perempuan Adat

Terakhir, Rosita menyampaikan pernyataan sikap sebagai perempuan adat. Pihaknya sebagai perempuan adat menyatakan sikap kepada pemerintah untuk segera meninjau kembali semua keputusan yang telah diambil dan diberikan kepada pihak PT PNM dan perusahaan manapun yang berada di daerah Grime Nawa, wilayah Mamta ataupun di atas tanah Papua, untuk dicabut izinnya.

Karena semua perusahaan yang masuk di atas tanah Papua tidak membawa keuntungan bagi masyarakat ataupun mengubah sedikit ekonomi masyarakat, bahkan para suami yang dulunya bisa berburu di hutan dan dari situlah perempuan adat hidup, tetapi dengan hadirnya perusahaan maka perempuan adat kehilangan mata pencarian.

"Kami merasa susah kami mendapat beban hidup yang sangat berat karena suami kami tidak berburu di hutan lagi, kami harus mencari nafkah dengan susah payah dengan membeli pinang pada orang lain dan dijual pada emperan toko," keluh Rosita.

Rosita melanjutkan, dulunya para perempuan adat masih bisa berjualan hasil kebun, sagu dan hasil buruan di pasar. Dari itu perempuan adat masih bisa mendapatkan penghasilan yang baik. Tetapi kini perempuan adat hanya bisa mendapat Rp2 ribu saja dari berjualan pinang. Duit sebesar itu dikumpulkan untuk membeli nafkah (belanja untuk hidup), membayar listrik, memenuhi kebutuhan sekolah anak, dan kebutuhan lain dalam keluarga.

"Kami merasa sedih karena telah dan akan kehilangan kebahagiaan kami. Kami melahirkan dan akan melahirkan anak-anak yang akan mewarisi tanah ini, tetapi nasib mereka sial karena bapak-bapak yang menjadi pemimpin di atas tanah ini seperti gubernur, bupati, kepala dinas yang seharusnya melindungi hak kami dan anak-anak yang kami lahir, karena bapak-bapak dipercayakan oleh Tuhan melalui suara masyarakat untuk melindungi dan menjaga kami masyarakat dan segala yang kami miliki. Jadi kesempatan ini kami minta kembalikan kebahagiaan kami, kembalikan hak kami, kembalikan hak anak cucu kami," urai Rosita.

Pemerintah Jayapura Hentikan Sementara Operasi PT PNM

Dilansir dari Jerat Papua, sebelumnya Pemerintah Kabupaten Jayapura menghentikan sementara operasi PT PNM yang beroperasi di wilayah Distrik Nimbokrang. Penghentian ini ditegaskan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kabupaten Jayapura, Delila Giyai melalui Surat Nomor 001/PNM/JPR/II/2022 tentang Penghentian Sementara Kegiatan Pembukaan Lahan Land Clearing dan Operasional di Lapangan.

Surat tersebut diterbitkan sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM 1/1/2022 tertanggal 5 Januari 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan. Yang mana dalam SK.01 yang dikeluarkan Menteri LHK itu, nama PT Permata Nusa Mandiri masuk dalam daftar izin konsesi kehutanan yang dicabut. Penghentian sementara operasional PT PNM ini dilakukan sampai dengan adanya surat klarifikasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Penghentian sementara, kenapa kita berhentikan karena ada SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 5 Januari 2022 sehingga kami menindaklanjuti dan menghentikan dul,” kata Delila Giyai, Selasa (1/3/2022).

Delila Giyai mengakui PT Permata Nusa Mandiri sudah mengajukan izin untuk membuka lahan dan melakukan aktivitas di konsesinya. Meski demikian pemerintah daerah masih menunggu surat klarifikasi dari pihak KLHK.

"Kita sudah menerima pengajuannya izin sementara sambil menunggu pencabutan SK Menteri, tetapi kita tunggu sampai ada klarifikasi, karena penghentiannya bersifat sementara."

Sebelumnya, Rosita Tecuari menjelaskan, terdapat dua perusahaan yang melakukan aktivitas pembongkaran hutan dan penebangan kayu di wilayah Beneik Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura. PT PNM adalah salah satunya.

"Ada dua perusahaan, yang satunya PT Permata Nusa Mandiri (PNM) untuk persiapan sawit dan yang satunya untuk kayu karena ada bongkar-bongkar jalan di dalam area itu," katanya 2 Februari 2022 lalu.

Rosita menambahkan, kawasan hutan yang ditebang oleh dua perusahaan itu masuk dalam kawasan konservasi cagar alam yang dilindungi seluas 1000 hektare. Kawasan itu menjadi habitat atau rumah bagi satwa liar yang di lindungi, seperti cenderawasih. Selain itu ruang kelola hidup masyarakat adat setempat juga dipastikan akan hilang dengan adanya penebangan dan penggusuran secara besar-besaran hutan.

"Sawit inikan tidak menguntungkan bagi masyarakat adat, masyarakat adat tidak bisa bekerja seperti begitu. Mereka kerjanya secara tradisional, tidak menetap. Sehingga sangat sulit untuk beradaptasi.”

Ada 6 Marga yang mendiami kawasan hutan tersebut yakni Bano, Kekri, Sawa, Kasmando, Tecuari dan Gosto. Sehingga aktivitas ini akan mengancam keberlangsungan hidup marga-marga itu yang sejak nenek moyang bergantung hidup dari bertani, berburu dan meramu.