LIPUTAN KHUSUS:

Studi: 71 Persen Cuaca Ekstrim Sebab dari Aktivitas Manusia


Penulis : Tim Betahita

Sejak awal 2000, para peneliti telah melacak sebanyak 504 peristiwa cuaca ekstrem. Kesimpulan studi mereka berasal dari pelacakan yang panjang.

Perubahan Iklim

Senin, 08 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Climate Brief, sebuah organisasi nirlaba dari Inggris, dalam studinya menyimpulkan bahwa 71 persen anomali cuaca hingga munculnya cuaca ekstrim mulai dari AS hingg Eropa, dipicu oleh ulah manusia. “Semua kemudian diperparah dengan perubahan iklim,” ujar para peneliti dalam kesimpulan penelitian mereka.

Sejak awal 2000, para peneliti telah melacak sebanyak 504 peristiwa cuaca ekstrem. Lalu mereka menggabungkan data set sedari 20 tahun terakhir, ihwal studi tentang panas yang berlebihan (30%), curah hujan atau banjir (25%), dan kekeringan (25%) mendominasi literatur (16 persen).

“Pelacakan ini mencakup lebih dari dua pertiga dari semua penelitian yang telah kami terbitkan,” menurut pernyataan dari Climate Brief.

Pada 80% kasus yang diperiksa, para peneliti menentukan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia (deforestasi, alih fungsi lahan untuk tambang atau peternakan juga perkebunan) telah mengubah peluang atau intensitas terjadinya cuaca ekstrem.

Ilustrasi perubahan iklim. (Sandy Indra Pratama| Betahita)

“Aktivitas manusia di seluruh dunia adalah punca masalah cuaca ekstrim selama ini. Semua saling terhubung,” ujar para peneliti. Sementara itu, pemanasan iklim telah mempercepat 93% dari semua kejadian panas tinggi.

Angka yang sama juga ditemukan di balik banjir dan kejadian terkait kekeringan di mana 56 persen dari 126 kejadian curah hujan atau banjir menjadi lebih parah karena perubahan iklim terkait manusia, sementara 68 persen dari 81 kejadian kekeringan yang diteliti disebabkan oleh alasan ini.

Penelitian juga mengungkapkan bahwa sejumlah panas ekstrem tidak akan terjadi tanpa adanya perubahan iklim antropogenik. Gelombang panas di Siberia pada tahun 2020, 'kubah panas' di Pacific Northwest pada tahun 2021, dan musim panas yang memecahkan semua rekor di Eropa pada tahun 2021, adalah bukti dari semuanya.

Gelombang panas Eropa 2022 juga menyoroti ketidakmampuan pemerintah dan kurangnya kesiapan untuk masa depan yang memanas.

Lambannnya tindakan pemerintah

Climate Action Tracker juga mencatat tren serupa dan memperingatkan bahwa kebijakan saat ini diperkirakan akan menghasilkan pemanasan sekitar 2,7 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri.

Climate Action Tracker melacak aksi iklim pemerintah dan membandingkannya dengan Perjanjian Paris yang disetujui secara global. Tujuan Perjanjian Paris untuk menjaga suhu global di bawah 1,5 derajat Celcius akan dilanggar oleh ini.

Sebuah kelompok PBB yang disebut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) telah menemukan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia mengganggu alam dengan cara yang berbahaya dan memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan miliaran orang di seluruh dunia.

Dalam laporan terbarunya, panel tersebut menyatakan bahwa kejadian cuaca buruk, khususnya di Afrika, Asia, Amerika Tengah dan Selatan, di Pulau-Pulau Kecil, dan di Kutub Utara, telah membuat jutaan orang mengalami kekurangan pangan dan air yang akut.