LIPUTAN KHUSUS:

Tebang Pilih Penegakan Hukum Sektor Pertambangan


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Pemerintah terkesan hanya keras terhadap takyat demi melayani korporasi

Tambang

Selasa, 06 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, ada 2.700 tambang ilegal di Indonesia, akhir Juli 2022 lalu. Dari jumlah tersebut, 2.600 lokasi merupakan pertambangan mineral dan 96 lokasi adalah pertambangan batu bara. Pemerintah menilai, maraknya tambang ilegal ini berdampak negatif bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Berbagai upaya penegakan hukum gencar dilakukan pemerintah, utamanya, institusi Polri. Meski perlu didukung, namun dasar penegakan hukum yang melulu berkutat urusan administratif ini sarat bias kepentingan.

Lebih jauh, dari urusan ketidaklengkapan administrasi, ada tindak kejahatan korporasi (perusahaan legal) atas lingkungan dan kemanusiaan yang musti mendapat perhatian serius.

Contoh bias kepentingan ini, tercermin dari banyak kasus tambang di Indonesia, antara lain di Pulau Sangihe Sulawesi Utara, Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara, Pasar Seluma Bengkulu, Buli dan Maba di Halmahera Timur, dan Sagea juga Kiya di Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Di Pulau Sangihe misalnya, meksi Izin Lingkungan, PT Tambang Mas Sangihe (TMS), telah dibatalkan PTUN Manado dan upaya Banding warga Sangihe dalam gugatan terhadap Kontrak Karya juga di PTUN Jakarta, PT TMS masih melakukan mobilisasi alat berat yang ditolak keras oleh warga yang mempertahankan ruang hidupnya.

Alih-alih menertibkan aktivitas mobilisasi alat berat, polisi Sangihe justru mengawal aktivitas mobilisasi alat berat yang ilegal ini dan menangkapi warga yang memprotes aktivitas ilegal di Tanah Merah, Kampung Bowone, Tabukan Selatan Tengah ini. Sebanyak 15 warga penolak tambang PT TMS dikriminalisasi dan satu di antaranya, Robison Saul, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Kepulauan Sangihe.

"Tindakan ilegal pengawalan mobilisasi alat berat ini telah dilaporkan ke Propam Polri pada 12 Juli 2022 lalu, namun hingga kini laporan Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe itu belum diproses," kata Ki Bagus Hadi Kusuma, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dalam pernyataan tertulisnya.

Hal serupa juga terjadi di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Aktivitas PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP/Harita Group) yang telah enam kali menerobos lahan milik warga di Desa Sukarela Jaya dibiarkan tanpa penegakan hukum.

Lahan-lahan yang diterobos itu tidak pernah diserahkan warga kepada PT GKP, juga tidak menjadi bagian dari konsesi tambang perusahaan. Parahnya, warga penolak tambang yang mempertahankan tanahnya justru diintimidasi, 30 orang dikriminalisasi.

Demikian pula di Desa Pasar Seluma, Bengkulu. Keberadaan PT Faminglevto Bakti Abadi yang ilegal, akibat secara administratif belum terpenuhi, juga tak pernah diproses hukum. Sebaliknya, warga yang menentang operasi perusahaan itu justru diintimidasi, delapan orang warga yang melakukan aksi bahkan sempat ditangkap oleh polisi.

Sementara di Buli dan Maba, Halmahera Timur, operasi PT Antam yang menyebabkan pencemaran kawasan pesisir dan laut dan berdampak pada hilangnya wilayah tangkap nelayan tak pernah diproses hukum.

Hal yang sama juga di Desa Sagea dan Kiya, Halmahera Tengah, operasi PT First Pacific Mining dan PT Zhong Hai Rare Metals Mining mencemari Talaga Sagea atau Danau Legaelol.

"Kini, pemerintah justru memberikan karpet merah bagi perusahaan ini untuk membangun smelter nikel dan menambang di kawasan karst dan hutan Sagea yang kaya akan sumber mata air dan keanekaragaman hayati serta satwa endemik," lanjut Bagus.

Menurut Bagus, ada kesan yang kuat bahwa pemerintah dan polisi cepat memproses tuntutan dari perusahaan besar yang aktivitasnya merusak ruang hidup warga, sementara lambat memproses tuntutan warga yang mempertahankan ruang hidup mereka.

Bersihkan Institusi Penegak Hukum

Selain terjadi bias kepentingan dalam penegakan hukum terhadap penambang ilegal dan korporasi, lanjut Bagus, pemerintah dan institusi Polri juga harus membersihkan institusinya sendiri dari praktik mafia pertambangan.

Masyarakat dari berbagai elemen menolak kehadiran perusahaan tambang emas asal Kanada PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS). Gerakan itu dideklarasikan dengan nama Save Sangihe Island. Foto: Istimewa

Di tubuh Polri sendiri, selain cenderung berpihak kepada korporasi dalam menekan resistensi warga, dugaan aparat kepolisian bermain di balik maraknya tambang ilegal juga santer terdengar.

Sebagian contoh ihwal keterlibatan aparat kepolisian dalam sektor pertambangan itu, bisa terlihat dari kasus yang menjerat Briptu Hasbudi di Sekatak Buji, Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara), atau anggota polisi yang diduga berada di balik penambangan pasir timah di Perairan Teluk Kelabat, Belinyu, Bangka, serta kasus anggota polisi yang diduga bermain tambang ilegal di Sungai Walanae, Kebo, Lilirilau, Soppeng, Sulsel.

"Sudah menjadi rahasia umum, aparat keamanan juga banyak terlibat di tambang batu bara ilegal di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan," kata Bagus.

Bagus bilang, penegakan hukum yang dilakukan pemerintah dan institusi Polri itu sudah seharusnya menyasar akar persoalan, yakni kejahatan korporasi tambang legal dan ilegal, berikut sanksi yang diberikan tidak sebatas pada aspek administratif, tetapi pidana kejahatan lingkungan.