LIPUTAN KHUSUS:

Food Estate Perparah Krisis Iklim


Penulis : Aryo Bhawono

Program yang diklaim sebagai solusi krisis pangan ini justru berpotensi menghilangkan 3 juta hektar hutan.

Perubahan Iklim

Jumat, 11 November 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Food Estate dinilai memperparah krisis iklim. Program yang diklaim sebagai solusi krisis pangan ini justru berpotensi menghilangkan 3 juta hektar hutan.

Puluhan aktivis lingkungan membentangkan spanduk raksasa bertuliskan ‘Food Estate Feeding Climate Crisis’ di area proyek food estate garapan Kementerian Pertahanan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Pesan itu dibentang bertepatan dengan pertemuan COP 27 di Sharm el-Sheikh, Mesir. 

Para aktivis itu berasal dari Greenpeace, LBH Palangkaraya, Save Our Borneo, dan WALHI Kalimantan Tengah.

Mereka beranggapan program yang digadang sebagai solusi krisis pangan itu justru memperburuk krisis iklim. Laporan terbaru Greenpeace berjudul “Food Estate: Menanam Kehancuran Menuai Krisis Iklim” menyoroti bagaimana salah satu Proyek Strategis Nasional pemerintah ini telah mengeksploitasi hutan dan lahan gambut sehingga mengancam wilayah adat dan keanekaragaman hayati penting di Indonesia. Diperkirakan sekitar 3 juta ha hutan berpotensi hilang jika proyek ini dilanjutkan. 

Aktivis membentangkan spanduk Food Estate Feeding Climate Crisis di area Food Estate, Gunung Mas, Kalteng. Kredit Foto: Greenpeace Indonesia

Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra, mengungkapkan perkebunan singkong di Gunung Mas hanya salah satu dari sejumlah wilayah yang dikonversi menjadi program food estate. Sistem monokultur ini tak hanya gagal menghasilkan singkong yang dijanjikan, tetapi juga meminggirkan kearifan dan pengetahuan masyarakat lokal. 

“Ada cara yang lebih baik dengan pertanian ekologis dan agroforestri tradisional, sehingga kita mempunyai solusi untuk krisis pangan sekaligus krisis iklim,” ucapnya. 

Laporan Greenpeace itu menyebutkan proyek ini sarat kepentingan bagi pebisnis sekaligus melegitimasi kepentingan elite mempertahankan kontrol negara secara tidak resmi. Greenpeace sendiri juga mengulas sejumlah alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga Indonesia tanpa merusak hutan dan merusak iklim. 

Direktur Save Our Borneo, Muhamad Habibi,  menyebutkan masyarakat Dayak di Gunung Mas telah menggunakan lanskap ini selama ribuan tahun untuk memproduksi dan mengumpulkan makanan secara berkelanjutan. Hutan, bagi mereka, merupakan penyimpan keanekaragaman hayati yang tak tergantikan, termasuk habitat orangutan Kalimantan. 

“Sekarang Kementerian Pertahanan telah menerobos masuk dengan tentara, dan membuka hutan untuk program Food Estate monokultur yang membawa bencana.”

Direktur LBH Palangkaraya, Aryo Nugroho, menekankan proyek food estate mengabaikan hak atas lingkungan hidup yang baik, serta tidak sejalan dengan upaya pemenuhan hak atas pangan. Lembaganya mencatat terjadi perluasan wilayah banjir di Kalimantan Tengah dalam beberapa tahun terakhir. 

Pembukaan hutan untuk proyek food estate berpotensi memperluas risiko tersebut. Pemerintah harus menghentikan proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah, dan memulihkan kerusakan lingkungan akibat pembukaan hutan untuk garapan tersebut. 

Proyek food estate seharusnya dihentikan, terlebih proyek serupa yang gagal, misalnya proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektare di era Orde Baru. Pemerintah harus berhenti menyuguhi janji kosong pemenuhan pangan lewat food estate. 

Direktur WALHI Kalimantan Tengah, Bayu Herinata, mengatakan pemerintah seharusnya memberikan hak atas tanah dan mengembalikan urusan pangan kepada petani.

“Hampir semua proyek food estate di Indonesia yang bertumpu pada pembangunan skala luas dan modal besar terus mengalami kegagalan. Kerusakan hutan dan lahan gambut akan memicu kerugian sosial ekonomi yang bukan cuma memiskinkan rakyat, tapi juga menguras keuangan negara,” kata dia. 

Isu pertanian dan pangan pertama kalinya menjadi perhatian utama dalam pertemuan COP 27 melalui forum Paviliun Sistem Pangan. Jutaan petani di berbagai negara mengalami gagal panen karena banjir, badai, dan kekeringan sebagai dampak krisis iklim telah membuat. 

Menurut mereka transformasi sistem pertanian dan pangan dunia perlu diubah menuju agroekologi menggunakan energi terbarukan, menghilangkan ketergantungan pada bahan kimia beracun, dan pada akhirnya menjamin produksi makanan sehat. Agroekologi juga dapat meningkatkan martabat petani, menghormati pengetahuan tradisional masyarakat adat dan memulihkan kesehatan dan integritas tanah secara alami.