LIPUTAN KHUSUS:
Pasal RKUHP Tumpul Tangani Korporasi Perusak Lingkungan
Penulis : Aryo Bhawono
RKUHP justru menjadi pelemahan penindakan hukum korporasi perusak lingkungan.
Hukum
Senin, 05 Desember 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pasal penanganan kejahatan lingkungan di RKUHP justru melemahkan penindakan hukum terhadap korporasi perusak dan pencemar lingkungan. Aktivis lingkungan beranggapan, pelemahan ini dilakukan secara sengaja.
DPR merencanakan pengesahan RKUHP pada Selasa (6/12/2022). Namun sejumlah catatan pelemahan penindakan hukum terhadap korporasi perusak dan pencemar lingkungan masih tertulis dalam versi draf RKUHP 9 November 2022. Analisis yang dilakukan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mencatat pelemahan terhadap penindakan pidana perusakan lingkungan terdapat pada dua pasal, yakni Pasal Pasal 344 dan 345 RKUHP.
“Pasal 342 dan Pasal 343, ketentuan tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP mengandung permasalahan dan pengaturannya mengalami kemunduran dari perbaikan yang dimuat dalam UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dan kembali pada pengaturan UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tulis ICEL melalui analisis mereka berjudul ‘Pengaturan Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Tindak Pidana Korporasi dalam RUU KUHP 2022’.
Tindak pidana lingkungan hidup juga diatur dalam Pasal 98 dan 99 UU PPLH. Namun jika kedua pasal disandingkan maka justru ketentuan tindak pidana lingkungan hidup di RKUHP melemahkan penindakan hukum.
Mereka mencatat terdapat 10 poin pelemahan, yakni:
- Harus ada unsur melawan hukum
- Hilangnya unsur kesengajaan
- Kualifikasi delik dan penjabaran unsur yang mempersulit penegak hukum melakukan penanganan,
- Penggunaan Unsur ‘dan’ antara Unsur Baku Mutu Lingkungan dan Kriteria Baku Kerusakan.
- Penggunaan Unsur Kriteria Baku Mutu Lingkungan
- Tidak Ada Pengaturan Sanksi Minimal Khusus
- Sanksi Pidana yang Lebih Rendah
- Perumusan Sanksi Pidana Secara Alternatif Menggunakan ‘atau’
Selain itu pertanggungjawaban korporasi juga dipersulit dalam RKUHP. ICEL mencatat Pasal 46 RKUHP berpotensi membatasi pertanggungjawaban pidana korporasi pada pejabat atau pengurusnya.
Pasal 48 RKUHP menyulitkan pembuktikan karena tidak hanya membatasi pertanggungjawaban korporasi sebatas pada tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup anggaran dasar tetapi juga mensyaratkan penerimaan tindak pidana sebagai kebijakan korporasi. Potensi kriminalisasi pun juga muncul karena adanya pertanggungjawaban pengganti individu.
Selain itu justru tak ada ketentuan khusus pertanggungjawaban pengurus korporasi.
Manager Kajian Hukum & Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Satrio Manggala, menyebutkan RKUHP ini justru mendegradasi UU PPLH. Ia justru curiga, RKUHP dikebut untuk meloloskan korporasi perusak lingkungan dari tanggung jawab hukum.
“Pelemahan dan degradasi ini terjadi di semua lini, mulai dari sanksi hingga kategori,” keluhnya.
Ia menyebutkan kejahatan lingkungan merupakan tindak pidana khusus yang seharusnya tidak diatur dalam RKUHP. Ia heran dengan pemerintah, khususnya Wakil Menteri Hukum dan HAM, yang memasukkan pasal perusakan lingkungan ini ke dalam RKUHP.
Kalaupun terlanjur diatur, keterbatasan karena degradasi ini, sudah memperlemah upaya penegakan hukum melalui turunan pasalnya.
“Artinya secara ilmu hukum ini pidana khusus, tapi dipaksakan untuk masuk jadi pidana umum. Ini bukan soal masukan dari siapa, tetapi secara keilmuan saja sudah salah kaprah . Tak ayal jika Walhi sudah punya moto untuk RKUHP ini, ‘Semua bisa kena pidana, kecuali korporasi perusak lingkungan’,” tegasnya.