LIPUTAN KHUSUS:

Tahun 2023 Biaya Iklim Naik, Tekanan bagi Pemerintah dan Bisnis


Penulis : Tim Betahita

Perusahaan dan investor akan menghadapi tekanan untuk memastikan rantai pasokan dan operasi yang tahan iklim.

Perubahan Iklim

Kamis, 15 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Tahun 2022 ditandai dengan meningkatnya bencana yang didorong oleh krisis iklim. Banjir, angin topan, dan kekeringan semakin sering terjadi dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Karena itu pemerintah dan perusahaan sudah harus melihat keterpaparan dan risiko keuangan. 

Hal ini tampak dari KTT iklim PBB (COP27) di Mesir November lalu. Negara-negara mencapai kesepakatan penting untuk menyiapkan dana untuk membantu negara miskin mengatasi biaya bencana yang dipicu oleh iklim. 

Namun, pembicaraan COP27 Mesir tidak banyak membantu mengatasi penyebab bencana tersebut, yakni tingkat gas rumah kaca yang terus meningkat di atmosfer.

Pemerintah di seluruh dunia sangat lambat mengatasi perubahan iklim. Di COP27, negara-negara miskin pun gigih mendorong mekanisme dana untuk kerugian dan kerusakan (loss and damage), yang kemudian disetujui. Ini akhirnya tercapai setelah satu tahun terakhir kembali dilanda bencana. Termasuk rekor gelombang panas dari Amerika Serikat hingga China, gletser runtuh di India dan Eropa, dan kekeringan tanpa henti yang mendorong jutaan orang menuju kelaparan di Afrika Timur. 

Desa yang terendam di Matiari, provinsi Sindh, setelah banjir besar menghantam Pakistan Juni 2022. Dok UNICEF/Asad Zaidi A

Sektor keuangan pun ikut merasakan dampak sakitnya bencana. Tahun ini mencatat tiga bencana paling mahal dalam dekade ini.

Pertama, banjir besar yang merusak Pakistan hingga $40 miliar. Kedua, serangkaian gelombang panas selama musim panas yang mematikan secara kolektif dan menyebabkan kerugian lebih dari $10 miliar bagi Eropa. Ketiga, Badai Ian yang mengobrak-abrik Florida dan Carolina Selatan dengan biaya $100 miliar. Data ini menurut perusahaan pemodelan risiko RMS.

Dana Kerugian dan Kerusakan juga menandai kudeta diplomatik oleh negara-negara miskin, setelah beberapa dekade perlawanan AS dan Eropa atas kekhawatiran hal itu dapat membuka tanggung jawab hukum atas emisi historis mereka. Tetapi negara-negara sepakat bahwa dana tersebut akan ditarik dari lembaga keuangan yang ada, meredakan kekhawatiran kewajiban tersebut - untuk saat ini.

Bagaimana dengan tahun 2023?

Tahun 2023 diperkirakan akan melihat lebih banyak kecemasan publik karena perubahan iklim terus meningkat. Selain itu lebih banyak pula kekhawatiran di antara perusahaan dan pemerintah atas tanggung dan risiko terkait hal ini. 

Menurut para ilmuwan, perusahaan dan investor akan menghadapi tekanan untuk memastikan rantai pasokan dan operasi yang tahan iklim. 

Selain itu, akan lebih banyak gugatan hukum terkait iklim. Hingga hari ini, terdapat 2.176 tuntutan hukum terkait iklim yang berlangsung di seluruh dunia, termasuk 654 yang diajukan di ruang sidang AS, menurut Pusat Hukum Perubahan Iklim Sabin di Universitas Columbia.

Direktur Eksekutif Sabin Center, Michael Burger, mengatakan akan ada lebih banyak gugatan hukum terkait iklim. Kasus akan berfokus pada pemerintah nasional untuk meningkatkan ambisi kebijakan iklim dan meminta pertanggungjawaban perusahaan atas emisi atau praktik curang mereka. 

Di akhir tahun 2023, negara-negara akan bertemu lagi di KTT iklim PBB berikutnya, COP28, di Dubai. Dan mereka akan berada di bawah tekanan ekstra untuk melihat bahwa emisi harus dikurangi setengahnya pada tahun 2030 dan menjadi nol bersih pada tahun 2050. Cara ini diyakini satu-satunya jalan untuk menahan pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius.

"Saat ini semakin banyak aktor berpengaruh yang menyadari fakta bahwa kita tidak bisa terus-terusan membenamkan diri (dalam krisis iklim," pungkas Burger.


Reuters