LIPUTAN KHUSUS:

Hilangkan Solusi Palsu dari RUU EBET


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

RUU ini seharusnya dibuat untuk memastikan percepatan transisi energi berkeadilan demi mendorong pengurangan emisi karbon dan kenaikan suhu global

Energi

Selasa, 07 Februari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Masyarakat sipil menganggap pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI semestinya berhenti menawarkan solusi palsu transisi energi lewat pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).

RUU ini seharusnya dibuat untuk memastikan percepatan transisi energi berkeadilan demi mendorong pengurangan emisi karbon dan kenaikan suhu global, melalui berbagai insentif yang konkret untuk energi bersih dan terbarukan.

Upaya menekan emisi gas rumah kaca sudah menjadi komitmen global yang disepakati dalam Perjanjian Paris pada 2015. Indonesia berjanji mengurangi emisi karbon hingga 31.9% dengan kemampuan sendiri sampai 2030, seperti tertuang dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC).

Transisi ke energi bersih dan terbarukan pun mendesak dilakukan untuk mengatasi krisis iklim yang mengancam kita semua. Dampak dari krisis iklim di antaranya terlihat dari peningkatan intensitas bencana hidrometeorologi, kenaikan permukaan air laut, dan cuaca ekstrem.

Kampanye Greenpeace memproyeksikan pesan untuk transisi ke energi bersih di Pantai Melasti, Bali, 14 November 2022. Aksi tersebut bersamaan dengan digelarnya KTT G20 di bawah presidensi Indonesia. Dok Greenpeace

“Transisi energi yang berkeadilan juga akan memperkuat ketahanan energi dan menciptakan akses energi yang inklusif. Sayangnya, pemerintah dan DPR malah terus memberikan solusi palsu lewat RUU EBET,” kata Hadi Priyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dalam pernyataan resmi, Senin (6/2/2023).

Dalam RUU EBET, produk-produk turunan batu bara--seperti gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal)--dibungkus sebagai ‘energi baru’. Ini jelas menghambat penurunan emisi gas rumah kaca dan merupakan kemunduran untuk proses transisi energi.

Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian mengatakan, jenis ‘energi baru’ bukanlah sumber energi yang patut didorong untuk transisi energi berkelanjutan. Sumber energi baru seperti batu bara bukan hanya berisiko tinggi terhadap lingkungan, tetapi juga membebani keuangan negara.

Gasifikasi batu bara, misalnya, diperkirakan akan merugikan negara sebesar USD377 juta per tahun. Selain itu, pilihan energi terbarukan seharusnya mendorong transisi energi berkeadilan dan tidak memicu pemanfaatan sumber daya alam yang berpotensi merusak lingkungan. Biomassa pelet kayu memiliki potensi besar deforestasi ketika digunakan untuk memenuhi co-firing PLTU, sehingga seharusnya tidak
direkomendasikan sebagai energi terbarukan.

Karbon dioksida (CO2) dari deforestasi yang lepas ke atmosfer tidak serta-merta bisa diserap pohon. Sebaliknya, pembakaran biomassa hutan menciptakan “utang karbon” atau kelebihan karbon di atmosfer.

“Pembahasan tentang energi baru dan beberapa jenis energi terbarukan menjadi tidak relevan dalam RUU EBET ini. Pemerintah dan DPR seharusnya fokus pada substansi energi terbarukan yang mendukung penurunan emisi karbon, bukan sebaliknya,” kata Beyrra.

Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo mengatakan, masuknya energi baru justru akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil.

Menurut Deon, teknologi yang disebut “energi baru” saat ini bukanlah barang baru, karena sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu. Contohnya teknologi gasifikasi dan likuifaksi batu bara yang sudah dipakai Jerman sejak perang dunia kedua, carbon capture and storage sudah diuji coba di PLTU di Kanada dan Amerika tapi gagal.

"Dukungan terhadap energi baru ini memberikan sinyal untuk mempertahankan energi fosil seperti batu bara lebih lama di sistem energi dan menggantungkan dekarbonisasi pada opsi yang belum proven, padahal ada energi terbarukan yang sudah siap dan lebih murah untuk dimanfaatkan,” ujarnya.

Padahal, pengembangan pembangkit listrik dari gasifikasi batu bara akan menghasilkan emisi CO2 dua kali lipat dibanding pembangkit listrik dari gas alam. Selain pencemaran udara, pengembangan energi baru berdampak kepada kualitas air.

“Kita memerlukan aturan tentang energi terbarukan yang detail dan bisa memberi kepastian hukum untuk mengisi kekosongan yang belum diatur di UU yang sudah ada. Namun sayangnya substansi RUU EBET belum menjawab persoalan urgensi transisi energi,” kata Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL.

Dalam RUU EBET, selain batu bara, ada nuklir yang akan dikembangkan sebagai energi baru Indonesia. Padahal jika dibandingkan dengan sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari, pembangunan dan penggunaan nuklir memerlukan biaya tiga hingga lima kali lebih mahal--merujuk World Nuclear Industry Status Report (WNISR) 2019.

Adapun WNISR 2022 mencatat, biaya pembangunan pembangkit energi matahari turun hingga 90 persen dan angin turun 72 persen, sedangkan nuklir justru naik 36 persen. Tak hanya itu, RUU EBET juga mengatur hidrogen sebagai bagian dari energi baru. Namun sayangnya, RUU ini tidak menjelaskan secara detail sumber-sumber hidrogen yang akan menjadi fokus pengembangan.

Pada dasarnya, hidrogen dapat berasal dari sumber energi fosil (grey hydrogen) maupun sumber energi terbarukan (green hydrogen). Riset yang ada saat ini menunjukkan, baru satu persen green hydrogen yang dikembangkan di seluruh dunia--selebihnya masih dari energi fosil.

“Kita perlu pengaturan yang jelas dalam RUU ini jenis hidrogen seperti apa yang akan kita kembangkan agar tidak salah arah. Sayangnya, RUU EBET gagal untuk membahas hal ini,” tutur Grita.

Pemerintah dan DPR mesti menunda pengesahan RUU EBET dan memperbaiki RUU tersebut. Substansi draf rancangan undang-undang tersebut perlu dikembalikan pada tujuan transisi energi yang serius dan ambisius, bukannya malah berisi solusi palsu yang akan memperparah krisis iklim. Pemerintah dan DPR juga harus memberikan ruang partisipasi yang bermakna bagi publik, karena transisi energi tak akan berkeadilan jika prosesnya tidak demokratis.