LIPUTAN KHUSUS:
Punan Batu, Suku Pemburu-Peramu yang Tersisa di Dunia
Penulis : Kennial Laia
Suku Punan Batu adalah keturunan langsung leluhur tua di Kalimantan. Kini sedang terancam aktivitas penebangan hutan dan perkebunan kelapa sawit.
Masyarakat Adat
Sabtu, 16 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Perkenalkan: Suku Punan Batu. Hidup di pedalaman hutan di Gunung Batu Benau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, dan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, inilah salah satu kelompok pemburu-pengumpul nomaden aktif yang masih tersisa di dunia. Mereka hidup berpindah dari satu ceruk gua ke ceruk lainnya. Suku ini bertahan hidup dengan mengandalkan sumber daya alam. Mereka berburu dan mengumpulkan ubi hutan dan buah-buahan, serta meramu tanaman obat dan memanen madu liar.
Orang-orang Punan Batu diperkirakan setidaknya telah ada sejak 7.500 tahun yang lalu, dan disebut sebagai saksi hidup sejarah dan budaya Kalimantan kuno. Mereka juga suku pemburu-peramu terakhir di Kalimantan. Penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal Cell Reports mengungkap sejumlah keunikan sejarah dan gaya hidup orang-orang Punan Batu.
Warisan Genetik
Berbeda dari kelompok lain di Kalimantan, suku Punan Batu memiliki warisan genetik yang merupakan keturunan langsung dari leluhur tua di pulau tersebut.
Dalam studi berjudul “Deep ancestry of bornean hunter-gatherers supports long-term local ancestry dynamics” oleh Pradiptajati Kusuma et al., suku ini memiliki kekerabatan lebih dekat dengan sub-kelompok Punan yang lain seperti Punan Tubu dan Punan Aput, dibandingkan dengan kelompok agrikulturalis asli yang bermata pencaharian petani seperti Lundayeh.
Menurut Kusuma et al., genetika orang-orang Punan Batu tidak mengalami percampuran dengan nenek moyang Austronesia. Mereka adalah kelompok migran dari Taiwan yang diyakini membawa budaya agrikultur ke Indonesia, hingga populasi Pasifik dan Madagaskar, periode 4.000-5.000 tahun lalu.
Berbagai studi menyebut Austronesia secara signifikan menyumbang keragaman identitas genetik populasi Indonesia secara umum. Namun leluhur Punan Batu diperkirakan lebih tua dari itu, yakni sekitar 7.500 tahun yang lalu. Ini menunjukkan kelompok tersebut mempertahankan genetiknya dalam jangka waktu yang lama.
Bahasa dan lagu
Berdasarkan publikasi di jurnal Evolutionary Human Sciences pada 2022, suku Punan Batu menggunakan bahasa lagu atau Latala. Bahasa ini merupakan bagian dari identitas budaya Punan Batu dan diturunkan dari generasi ke generasi.
Bahasa ini tidak memiliki hubungan secara linguistik dengan bahasa lain di Kalimantan. Beberapa ciri khasnya termasuk pengulangan kata atau frasa, metafora, serta nada yang bervariasi (dengan menira atau bernyanyi).
Latala juga mencerminkan pengetahuan dan kearifan lokal Punan Batu, yang hidup bersama alam. Termasuk di dalamnya adalah hutan, tanaman, obat-obatan, dan binatang.
Namun sedih, bahasa ini terancam punah. Saat ini penurut Latala adalah orang-orang tua dalam komunitas Punan Batu, sedangkan anak mudanya cenderung mempelajari dan bicara dalam bahasa Indonesia.
Komunikasi lewat pesan ranting
Salah satu budaya suku Punan Batu adalah pesan ranting, yang digunakan untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan berbagi sumber daya. Bentuk pesan ranting ini informasi tentang jarak, waktu, arah, atau keadaan darurat.
Pesan-pesan ini membantu orang-orang suku Punan melakukan kolaborasi, koordinasi, dan solidaritas dalam kegiatan sosial, seperti mencari makan, berburu, dan menghindari bahaya serta penyakit.
Pesan ranting pernah tersebar luas di kalangan suku Punan yang nomaden di Kalimantan. Namun kini telah hilang seiring dengan budaya menetap yang juga melanda desa-desa orang Punan.
Di bawah ancaman sawit dan deforestasi
Saat ini suku Punan Batu tinggal di kawasan Gunung Batu Benau, yang merupakan gugusan karst, yang memanjang sekitar 15 kilometer dengan lebar rata-rata 4 kilometer. Sebagian besar kawasan karts Gunung Batu Benau berada di wilayah administratif Kabupaten Bulungan. Sisanya masuk dalam Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Formasi batu karst di Gunung Batu Benau unik, karena membentuk gua yang menjadi tempat bernaung orang-orang Punan Batu. Kawasan ini juga memiliki keanakeragaman hayati, yang menjadi sumber makanan dan obat-obatan bagi suku Punan Batu.
Di lain sisi, kehidupan suku Punan Batu mengalami ancaman. Mulai dari hutan yang menyusut, akibat ekspansi perusahaan penebangan kayu dan perkebunan kelapa sawit. Ini bisa berdampak signifikan pada kehidupan mereka yang bergantung pada berburu dan meramu, serta warisan budayanya yang unik.
Pada Juni 2023, status suku Punan Batu dan hutan area jelajahnya (Gunung Batu Benau dan sungai Sajau) diakui sebagai masyarakat hukum adat oleh Pemerintah Kabupaten Bulungan.
Pemerintah daerah itu juga mengusulkan agar kawasan Gunung Batu Benau menjadi geopark atau taman bumi, karena memiliki nilai geologi, biologi, dan budaya yang tinggi. Ini juga dinilai dapat menjadi alternatif solusi perlindungan bagi suku Punan Batu.
Kawasan ini memerlukan perlindungan lebih kuat dari pemerintah, seperti memberikan status hutan adat. Untuk mencegah kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan ancaman bagi keberlangsungan hidup suku Punan Batu di masa depan.