betahita

Para Pemanfaat di Balik Hutan yang Dibabat

Siapa saja yang mengambil untung paling banyak dalam rantai pasok kotor sawit? Konsumen dan alam adalah korban utamanya.

Perkebunan sawit di beberapa wilayah konsesi di Indonesia ditanam di dalam area hutan dan banyak memangkas tegakannya. (Auriga Nusantara/Yudi Nofiandi)

Kebun sawit di dalam kawasan hutan Indonesia mencapai jutaan hektare. Estimasinya seluas 3,35 juta hektare, menerabas hingga area lindung dan konservasi di hampir seluruh wilayah.

Dalam laporan sebelumnya, tim kolaborasi Betahita, Tempo, Mongabay Indonesia , peneliti independen, dan Yayasan Auriga Nusantara, memaparkan temuan tentang bagaimana perusahaan perkebunan kelapa sawit beroperasi secara ilegal di area hutan di Riau dan Kalimantan Barat.  

Aktivitas haram itu termasuk membangun kebun di dalam kawasan hutan, serta mengangkut, mengolah, membeli, memasarkan, dan menjual hasil kebun sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan.

Hasil kebun sawit ini kemudian mengalir ke eksportir besar, yang memasok ke pembeli akhir yakni perusahaan global yang memproduksi makanan dan produk harian seperti Unilever, Nestle, dan Hershey.

Salah satu perusahaan yang terungkap dalam penelusuran kami adalah PT Ciliandra Perkasa, yang memiliki konsesi perkebunan sawit di Desa Siabu, Kabupaten Kampar, Riau, yang dikenal dengan unit Sei Batang Ulak. Perusahaan ini memiliki IUP yang sebagian telah dilengkapi dengan HGU.

Hasil interpretasi citra satelit terhadap penampakan tutupan sawit di sekitar “kebun resmi” perusahaan mengindikasikan bahwa Ciliandra telah membangun perkebunan di luar HGU. Kebun-kebun ini meluber ke IUP mereka yang masih berada di dalam kawasan hutan seluas 2.209,08 hektare. 

Tim kolaborasi juga mendatangi kebun milik PT Ciliandra Perkasa Agustus lalu. Di salah satu titik, tim menemukan komplek yang terdiri dari rumah-rumah kayu. Warga sekitar menyebutnya dengan mess Vietnam. Di depan komplek rumah ini terpancang papan plang putih setinggi dua meter bertuliskan “PT Ciliandra Perkasa Kantor Afdeling IV Kebun Sei Batang Ulak.”  

Surya (bukan nama sebenarnya) mengaku sebagai buruh harian lepas kebun Ciliandra yang tinggal di mess Vietnam. “Blok I-9 sampai I-12 sedang panen. Biasanya hasil di sini baru diangkut sore hari,” kata Surya.

Tim kolaborasi mengikuti satu truk pengangkut tandan buah segar (TBS) yang turut mengangkut di kawasan afdeling IV. Truk terlihat berulang kali memasuki kawasan pabrik milik PT Ciliandra. Hasil pengolahan TBS yakni CPO kemudian dibawa ke refinery milik PT Adhitya Serayakorita yang terletak di Bangsal Aceh, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota Dumai, pada 22 Agustus lalu.

Hasil penelusuran dokumen mengungkap PT Ciliandra Perkasa dan refinery PT Adhitya Serayakorita sebagai anak perusahaan First Resources Limited, grup sawit yang bermarkas di Singapura. Lewat refinery PT Adhitya Serayakorita, CPO lantas disebar ke berbagai pembeli, hingga ke luar negeri.

Di lapangan, tim kolaborasi menemukan tanda-tanda keterkaitan antara PT Ciliandra Perkasa dan First Resources. Sekita 4 kilometer dari mess afdeling IV, kantong-kantong pupuk yang telah kosong berserakan di pinggir jalan tanah yang becek diguyur hujan. Logo dan nama First Resources, induk Ciliandra di Singapura, tercetak di kantong-kantor berkelir putih tersebut.  

Sesuai dengan laporan tahunan First Resources Pte. Ltd. tahun 2020, PT Ciliandra Perkasa dimiliki oleh First Resources Pte. Ltd., sebuah perusahaan yang bermarkas di Singapura dengan persentase kepemilikan sebesar 95,51%.

Pada halaman 69 laporan tersebut, PT Adhitya Serayakorita, trades/refinery yang memasok dari PT Ciliandra Perkasa dengan kepemilikan oleh First Resources Pte. Ltd. sebesar 95,08%.

Laporan tersebut juga memuat informasi mengenai pemegang saham dari First Resources Pte. Ltd., per tanggal 12 Maret 2021, Eight Capital Inc. memegang kendali perusahaan dengan persentase kepemilikan saham sebesar 66,02%.

Eight Capital merupakan perusahaan keluarga Fangiono, yang menurut laporan tersebut, penerima manfaatnya adalah Wirastuty Fangiono, Wirasneny Fangiono, Wirashery Fangiono, Ciliandra Fangiono, Fang Zhixiang, Ciliandrew Fangiono, dan anak-anak mereka.

Nama Fangiono dan First Resources Pte. Ltd. juga tercatat sebagai pemilik saham PT Ciliandra Perkasa. Dalam AHU PT Ciliandra Perkasa yang diterbitkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, per 14 November 2016, PT Fangionoperkasa Sejati memiliki 4% kepemilikan dari PT Ciliandra Perkasa, dengan jumlah lembar saham sebanyak 20.200.000.

Sementara itu First Resources Pte. Ltd., yang juga dikendalikan oleh keluarga Fangiono, memegang saham terbesar yakni 95% atau 429.800.000 lembar saham.

betahita

Menelusuri Sawit Kotor di Daftar Belanja Kita. BETAHITA/Robby

Sekitar 250 kilometer dari Kampar adalah Kabupaten Indragiri Hulu. Laiknya daerah lain di Riau, kabupaten ini juga merupakan daerah penghasil kelapa sawit. Salah satu perusahaan yang diidentifikasi tim kolaborasi adalah PT Tasma Puja.

PT Tasma Puja membangun komplek sawit berbekal izin usaha perkebunan (IUP) seluas 9.980 hektare di Kecamatan Batang Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, tertanggal 24 Februari 2007. Belakangan, pada 5 September 2013, Bupati Indragiri Hulu saat itu Yopi Irianto merevisi IUP PT Tasma Puja dengan mengurangi luas areal perusahaan menjadi 2.670 hektare, terdiri dari inti dan plasma. Keputusan Bupati Nomor 376 Tahun 2013 itu juga memberikan izin kepada perseroan untuk membangun pabrik pengolahan sawit berkapasitas 30 ton tandan buah segar (TBS) per jam.

Analisis citra satelit mengindikasikan bahwa PT Tasma Puja (Batang Cenaku) mengembangkan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan yakni kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan hutan produksi terbatas (HPT).

Hasil analisis tutupan di areal izin tersebut menunjukkan mayoritas tanaman sawit berada di areal HPK, melintang di dua desa yang berjajar di sisi selatan Indragiri Hulu, yakni Desa Anak Talang dan Desa Kepayang Sari. Perusahaan membangun pabrik minyak sawit, juga di dalam kawasan HPK, Desa Kepayang Sari.

Sejumlah warga Desa Anak Talang dan Desa Kepayang Sari yang ditemui tim kolaborasi mengungkapkan, PT Tasma Puja sudah masuk sekitar 2005. Merujuk rekam jejak perizinan perusahaan, PT Tasma Puja mengantongi izin lokasi dari Keputusan Bupati Indragiri Hulu Nomor 351 Tahun 2006 tertanggal 29 Desember 2006 yang diteken bupati saat itu, Thamsir Rachman. Luas lokasinya mencapai 12.120 hektare, meliputi Desa Anak Talang, Desa Kepayang Sari, dan Desa Cenaku Kecil.

Menurut keterangan warga setempat, PT Tasma Puja sempat menjalin kemitraan dengan petani yang tergabung dalam Koperasi Motah Makmur Jaya. Namun, konflik terjadi lantaran kebun yang semula bakal jadi kebun plasma beralih menjadi kebun inti.

Pengamatan tim mendapati konflik lahan masih terjadi. Sebagian warga menyatakan menolak melanjutkan kerjasama kemitraan. Sebagian lainnya menyatakan telah menerima tawaran perusahaan untuk melanjutkan kemitraan satu atap. Dalam skema ini pengelolaan kebun dilakukan sepenuhnya oleh PT Tasma Puja yang kemudian menerapkan pola kompensasi berupa bagi hasil.

Penelusuran tim juga menemukan PT Tasma Puja menerima hasil panen dari kebun sawit milik perorangan yang menutup hampir seluruh kawasan hutan lindung di sisi Indragiri Hulu.

Tim kolaborasi juga mengikuti salah satu truk tangki pengangkut minyak sawit dari pabrik PT Tasma Puja Batang Cenaku pada 30 Agustus 2021. Pada 31 Agustus 2021, truk dengan nomor polisi BK 8240 EI itu masuk ke Kawasan Industri Dumai yang dikelola Wilmar Group di Pelintung, Riau.

Laporan rantai pasok yang dirilis Wilmar Group menunjukkan pabrik PT Wilmar Nabati Indonesia di Pelintung menerima pasokan dari PT Tasma Puja pada 2020. Namun laporan berisi daftar pabrik pemasok itu mencatat pasokan dari PT Tasma Puja berasal dari perkebunan dan pabrik di Kampar, Riau, bukan Batang Cenaku, Indragiri Hulu. Selain mengantongi izin di Indragiri Hulu, PT Tasma Puja juga memiliki kebun dan pabrik minyak sawit di Desa Bina Baru, Kecamatan Kampar Kiri Tengah, Kabupaten Kampar.

PT Tasma Puja juga memasok minyak sawit mentah (CPO) kepada PT Intibenua Perkasatama. Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan anggota grup Musim Mas yang aktivitas utamanya adalah mengolah minyak sawit mentah. Lokasi fasilitas PT Intibenua Perkasatama berada di Dumai, Provinsi Riau.

Perusahaan menerima pasokan dari dari PKS PT Tasma Puja yang berada di Batang Cenaku yang menerima buah dari kawasan hutan. Sesuai dengan akta terakhir PT Intibenua Perkasatama yang dibeli pada 8 Desember 2020 dari Ditjen AHU, pengurus dan pemegang saham PT Intibenua Perkasatama adalah sebagai berikut PT William Resources memiliki kepemilikan saham terbanyak sebesar 99,99% atau 745.900 lembar. Sementara itu PT Mitra Sistra turut memiliki 0,01% atau 100 lembar saham di PT Intibenua Perkasatama.

Pemilik Musim Mas adalah Bachtiar Karim dan keluarga menurut Forbes “2020 Indonesia’s 50 Richest Net Worth”.

Direktur Sustainable Supply Chain Musim Mas Olivier Tichit mengonfirmasi PT Tasma Puja sebagai salah satu pabrik pemasok bagi anak perusahaan Musim Mas, yakni PT Inti Benua Perkasa.

“PT Tasma  Puja adalah salah satu pemasok kami, sebagaimana disebutkan dalam informasi ketertelusuran PT Inti Benua Perkasatama,” kata Tichit melalui keterangan tertulis kepada tim kolaborasi, 15 Oktober lalu.

Menurut Tichit, pemasok langsung dan tidak langsung menghadapi berbagai tantangan seperti PT Tasma Puja karena ukuran dan akses pada informasi dan pengetahuan. Pihaknya akan mengevaluasi dugaan pelanggaran terhadap komitmen NDPE oleh PT Inti Benua Perkasa maupun PT Tasma Puja.

“Kami tidak akan ragu untuk mengecualikan pemasok yang ditemukan melanggar kebijakan keberlanjutan kami dan yang tidak mau atau tidak mampu memperbaiki ketidakpatuhannya.” kata Tichit.

Sementara itu  Tim kolaborasi juga menemukan pelanggaran serupa oleh PT Rezeki Kencana. Perusahaan ini di beroperasi di Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. PT Rezeki Kencana memiliki iziin konsesi seluas 7.656,31 hektare. Dari area ini, terdapat 441 hektare area hutan lindung.

Namun, berdasarkan analisis tutupan kawasan hutan dan peta izin milik PT Rezeki Kencana, terdapat dugaan bahwa perusahaan mengembangkan kebun seluas 1.672,89 hektare di dalam hutan lindung. Area ini berada di luar HGU, namun masih merupakan kelanjutan dari kebun milik PT Rezeki Kencana.

PT Rezeki Kencana juga menerima pasokan dan mengolah kebun sawit dari dalam kawasan hutan.

Pada 2013, PT Rezeki Kencana menjadi salah satu dari 21 perjanjian kerja sama antara pemerintah daerah di Indonesia dan Tiongkok. Dalam skema bernilai US$200 juta tersebut, PT Rezeki Kencana diakuisi oleh Tianjing Julong Jiahua Investment Group Ltd dan PT Grand Mandiri Utama untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.

Berdasarkan AHU per 8 Desember 2020, kepemilikan terbesar PT Rezeki Kencana dipegang oleh HK Juhui International Investment Limited dengan 526.110 lembar saham (95%). Perusahaan ini merupakan sebuah perusahaan privat yang bermarkas di Hongkong.

Sementara itu PT Palmina Dinamika Mandiri memiliki 3% (16.614 lembar) dan Tan Rudy Hartono sebanyak 11.076 lembar atau 2%.

Penelusuran dokumen mengungkap bahwa Wilmar Group mencatat PT Rezeki Kencana (Januari-Desember 2020) PT Ciliandra Perkasa (Januari-Desember 2020), dan PT Tasma Puja (Agustus 2021) sebagai pabrik pemasok. 

Senior Manager Sustainability Communications Ravin Trapshah mengakui PT Rezeki Kencana sebagai pemasok tidak langsung yang masuk ke dalam rantai pasoknya pada Januari 2020. 

Ravin menyanggah temuan kolaborasi dan mengatakan pemasok langsung yang terdaftar dalam laporan ini tidak terlibat dalam pembukaan kawasan hutan. "Namun, kami terus berkomunikasi dengan pemasok kami. Setiap pelanggaran yang terverifikasi terhadap kebijakan NDPE, akan menerima tindakan sesuai prosedur pengaduan kami."

Tim kolaborasi telah menghubungi manajemen PT Sumbar Rezeki Kencana, PT Tasma Puja, dan PT Rezeki Kencana namun tidak mendapatkan tanggapan hingga artikel ini naik. 

©2020 BETAHITA. HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG. KEBIJAKAN PRIVASI | DISCLAIMER