LIPUTAN KHUSUS:

Transisi Energi dengan Geothermal Diminta Dikaji Ulang


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Pengembangan geothermal sebagai sumber listrik baru dibayar dengan harga mahal dengan menurunnya penurunan ekonomi warga sekitar, dan korban jiwa karena kasus kebocoran gas.

Energi

Selasa, 12 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Rencana transisi energi dianggap perlu dikaji ulang, terutama penggunaan energi panas bumi atau geothermal. Dalam sebuah studi yang dilakukan Center of Economic and Law Studies (Celios) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyoroti dampak negatif tamang energi panas bumi terhadap ekonomi dan lingkungan.

Dalam sebuah rilis, Celios menyebut, dalam rencana investasi JETP (Comprehensives Investment and Policy Plan-CIPP) Indonesia, geothermal menduduki posisi nomor satu teknologi pembangkit yang diproyeksikan akan menjadi jawaban dari transisi energi di negara ini. Tidak kurang dari US$22,5 miliar dialokasikan demi pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia. Bahkan sejak 2017, Pulau Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi.

Namun di balik itu, pengembangan panas bumi sebagai sumber listrik baru dibayar dengan harga mahal. Proses transisi energi yang seharusnya bersamaan dengan aspek keadilan dan keberlanjutan, pada kenyataannya harus dibayar dengan harga tinggi, yakni kesejahteraan dan keselamatan warga di sekitar proyek.

Pada Februari 2024 lalu, tidak kurang dari 101 warga Mandailing Natal dilaporkan keracunan gas yang berasal dari PLTP Sorik Marapi. Tiga tahun sebelumnya, di lokasi dan PLTP yang sama lima orang bahkan menjadi korban jiwa. Sementara itu, dari segi lingkungan, ratusan petani di Dieng terganggu mata pencahariannya dikarenakan uap panas dan mata air mereka yang tercemar karena aktivitas PLTP.

Kebocoran gas beracun di PLTP Dieng milik PT Geo Dipa Energi Pada Sabtu 12 Maret 2022. Dok JATAM

Hasil modelling ekonomi yang dilakukan Celios dengan metode IRIO (Inter Regional Input-Output) memproyeksikan keberadaan PLTP di tiga lokasi di Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni Wae Sano, Sakoria, dan Ulumbu berisiko menurunkan pendapatan petani sebesar Rp470 miliar pada tahap pembangunan.

Sementara kerugian terhadap output ekonomi mencapai Rp1,09 triliun pada tahun kedua proses ekstraksi geothermal. Sementara itu, jumlah tenaga kerja diperkirakan menurun 20.671 orang di tahun pertama dan 60.700 orang di tahun kedua.

"Kecenderungan proyek geothermal yang padat modal tidak terlalu membawa dampak berganda terhadap ekonomi lokal. Sebaliknya, bagi ekonomi lokal kehadiran geothermal sering dipandang sebagai penghambat produktivitas di sektor pertanian dan perikanan,” kata Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, dalam sebuah keterangan, 5 Maret 2024.

Hasil studi menunjukkan kehadiran PLTP di tahun pertama akan menurunkan produktivitas pertanian, perikanan, dan perkebunan, yang selama ini menjadi denyut nadi bagi perekonomian masyarakat khususnya di NTT. Sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya, semakin banyak sektor ekonomi yang akan terus menurun sebagai dampak dari proyek PLTP.

“Sebaiknya kerjasama pendanaan internasional seperti JETP tidak memasukkan PLTP sebagai bagian dari rencana utama mencapai transisi energi. Secara ekonomi biaya investasi PLTP juga tergolong mahal dan berisiko membebani negara dari sisi subsidi listrik,” kata Bhima.

Dalam sebuah diskusi terkait studi ini, Direktur Advokasi Pertambangan Celios, Wishnu Try Utomo, mengatakan, publik luput menyadari, bahwa perjalanan mengubah geothermal menjadi listrik didapat dari proses ekstraktif yang memerlukan sumber daya yang cukup besar. Restorasi ekologi harus dipandang sebagai bagian integral dari pengembangan sistem energi bersih dan terbarukan, mengingat kehancuran dan kerugian yang ditimbulkan oleh eksploitasi energi fosil selama ini.

"Oleh karena itu, pengadaan energi tidak boleh dijajah oleh kepentingan korporasi dan harus menempatkan masyarakat sebagai pengelola sekaligus penerima manfaat sumber dayanya,” ujar Wishnu, 5 Maret 2024..

Direktur Panas Bumi, Ditjen EBTKE (Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi), Harris Yahya, yang hadir dalam diskusi tersebut, mengatakan dalam konteks kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar tapak, penting untuk adanya pengkajian yang lebih lanjut terkait pengelolaan hasil pendapatan dari PLTP bagi masyarakat lokal. Mengenai merebaknya kasus keracunan gas di sekitar area PLTP, Harris mengatakan pentingnya penyelidikan lebih lanjut.

“Kami sudah melakukan penyelidikan di area WKP (wilayah kerja panas bumi), namun kami memang belum melakukan penyelidikan di area-area di mana keluhan keracunan itu terjadi,” kata Harris.

Agung Raihan, salah seorang warga terdampak Proyek Geothermal Dieng, yang hadir dalam diskusi itu menilai, sebaiknya proyek ekstraksi energi, berbasis ekosentris bukan hanya melihat sesuatu yg berharga di bawah tanah, melainkan sesuatu yang hidup di atasnya juga menjadi bagian penting untuk dipertimbangkan.

Sementara, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional, Fanny Tri Jambore Christanto, menuturkan, mengganti sumber energi kotor yang dikendalikan oleh pemodal dengan sumber energi ‘berkelanjutan’ yang melayani kepentingan pencarian keuntungan yang sama juga bukanlah hal yang ingin kita tuju. Dari yang terlihat pada operasi-operasi geothermal yang ada, tidak menunjukkan perbedaan fundamental dalam tata kelola energi untuk bisa kita sebut ini sebagai bagian dari transisi energi berkeadilan.

"Karena selain masih bercorak eksploitatif, sistem energi geothermal juga berpotensi memperluas konflik agraria, dan meningkatkan ancaman kriminalisasi terhadap rakyat, selain ancaman-ancaman kebencanaan seperti resiko seismik, penurunan muka tanah dan perubahan bentang alam, kerusakan dan pencemaran sistem-sistem ekologi, serta masih timbulnya emisi gas rumah kaca,” ujarnya.