LIPUTAN KHUSUS:

MK Tolak Uji Materi UU Pulau Kecil: Sah, Tambang Haram Beroperasi


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Dengan putusan tersebut aktivitas tambang di pulau-pulau kecil harus dihentikan.

Tambang

Jumat, 22 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Permohonan uji materi atau judicial review (JR) Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) yang diajukan perusahaan tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana (GKP) ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dalam sidang yang digelar Kamis (21/3/2024).

Dalam putusannya, MK menyebutkan dalil Pemohon (PT GKP) tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Alasannya karena tidak ada relevansi dengan ketentuan Pasal 23 Ayat 2 dan Pasal 35 huruf K UU PWP3K.

Dalam penyataan resminya, Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-Pulau Kecil (TAPaK) menilai putusan MK ini harus dijadikan dasar oleh Pemerintah Indonesia untuk menghentikan pertambangan di seluruh pulau-pulau kecil di Indonesia.

Saat ini tercatat ada 218 izin usaha pertambangan dengan luas konsesi yang mencapai lebih dari 274.00 hektare di 34 pulau-pulau kecil di Indonesia. Salah satu pulau kecil yang diancam oleh aktivitas pertambangan ialah Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara yang menjadi tempat perusahaan tambang nikel PT GKP beroperasi.

Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-Pulau Kecil (TAPaK) berfoto di depan Gedung MK, Kamis (21/3/2024). MK menolak permohonan uji materiil UU PWP3K yang diajukan PT GKP. Foto: TAPaK.

Kuasa hukum TAPaK, Fikerman Saragih, mengatakan putusan MK menunjukkan semangat perjuangan lingkungan, khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, agar kelestarian ekologisnya tetap terjaga. Putusan ini juga sejalan dengan semangat MK yang tercatat dalam Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010 yang memberikan 4 hak konstitusional kepada masyarakat pesisir dan pulau kecil.

"Beberapa di antaranya ialah hak mendapatkan perairan bersih dan sehat, hak untuk mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan hak untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan tersebut. Kita harus tetap mengawal implementasi dari keputusan MK hari ini, sehingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bisa bebas dari tambang mineral yang ada di Indonesia," kata Fikerman, Kamis (21/3/2024).

Muhammad Jamil, advokat dari TAPaK menambahkan, putusan Majelis Hakim MK dalam perkara Uji Materiil Nomor 35/PUU-XXI/2023 ini mendasarkan pada nilai-nilai dan semangat perlindungan dan penyelamatan seluruh kehidupan di wilayah pesisir dan pulau kecil. Hal ini menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil bukan untuk tambang.

"Sehingga putusan MK sebagai kemenangan rakyat secara umum, khususnya rakyat pesisir dan pulau kecil ini, mesti menjadi momentum untuk mengevaluasi seluruh tambang di pulau kecil,” katanya.

PT GKP mengajukan gugatan uji materiil dan meminta frasa “apabila” dalam pasal 23 dan 35 UU PWP3K agar ditafsirkan tidak bertentangan dengan pertambangan di pulau kecil. Namun, undang-undang No. 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diganti menjadi UU No 1 Tahun 2014, telah menegaskan larangan aktivitas pertambangan di pulau yang dikategorikan sebagai pulau kecil, yaitu pulau yang memiliki luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2.

Kuasa hukum TAPaK lainnya, Arko Tarigan, menyebut permohonan gugatan yang dilakukan oleh PT GKP atas UU PWP3K dengan menggunakan Pasal 28D dan 28I UUD 1945 sebagai batu uji ini pada dasarnya justru tidak memiliki relevansi serta tidak berlandaskan hukum. Alih-alih menunjukkan PT GKP sebagai pihak yang merasa hak asasinya diambil, hal ini justru menunjukkan mereka sebagai pihak yang melakukan diskriminasi terhadap warga Pulau Wawonii dengan merenggut hak atas air dan hak atas hidupnya.

TAPaK menganggap, jika gugatan PT GKP ini dikabulkan oleh MK, maka bencana ekologis maupun konflik sosial akan semakin masif dan mengancam seluruh ekosistem wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil di Indonesia. Dengan kata lain, akan terjadi ledakan kebangkrutan sosial-ekologis di Indonesia.

"Sudah seharusnya MK menolak permohonan judicial review (JR) PT GKP, karena UU Pesisir serta UU terkait lainnya secara filosofis tegas melarang kegiatan pertambangan di wilayah pulau-pulau kecil. Pasalnya, semua kegiatan pertambangan terbukti merusak lingkungan, sosial, dan budaya setempat. Putusan MK dalam perkara a quo adalah kemenangan bagi nelayan dan masyarakat secara umum," ujar Eddy Kurniawan, Kuasa Hukum TAPaK lainnya.

PT GKP tidak punya legitimasi lakukan aktivitas pertambangan

TAPaK menguraikan, saat ini warga Pulau Wawonii juga berjuang melawan gugatan PT GKP yang ingin melegalkan pertambangan di pulau-pulau kecil. Pulau Wawonii sendiri hanya memiliki luas sebesar 715 km persegi, artinya pulau tersebut tergolong sebagai pulau kecil menurut UU PWP3K.

Dengan demikian, PT GKP tidak memiliki legitimasi melakukan pertambangan nikel di pulau tersebut. Permohonan uji materiil yang diajukan PT GKP dapat dinilai sebagai upaya perusahaan untuk melegalkan aktivitas tambang di Pulau Wawonii, walaupun secara hukum pertambangan dilarang atau ilegal di pulau-pulau kecil.

Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta membatalkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) milik PT GKP, September 2023. Putusan ini menyetop kegiatan pertambangan PT GKP di Pulau Wawonii. Akan tetapi, anak perusahaan Harita Group itu kembali melakukan aktivitas pertambangan setelah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta memenangkan banding PT GKP atas keputusan sidang PTUN terkait IPPKH, Januari 2024.

Aktivitas pertambangan tersebut kembali mencemari sumber air yang digunakan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sumber air yang perlahan-lahan mulai jernih setelah PT GKP berhenti beroperasi, kini kembali berwarna coklat bercampur dengan lumpur akibat limbah pertambangan nikel.

Tercemarnya sumber air itu kembali menciptakan krisis air bersih bagi warga di Pulau Wawonii. Dalam skala yang lebih masif, kehadiran PT GKP mampu menambah konflik sosial dan kasus penyerobotan lahan pertanian milik warga secara lebih besar. Selain itu, PT GKP akan terus mengancam kekayaan ekosistem flora maupun fauna yang ada di pulau kecil itu.

Warga Pulau Wawonii, Mando Maskurin, mengungkapkan, sejak PT GKP memenangkan banding IPPKH, perusahaan ini mulai beroperasi lagi. Sungai dan air yang dikonsumsi dan digunakan sehari-hari oleh warga sudah keruh lagi. Air sudah tercemar, padahal sumber air warga dulu sangat jernih.

"Sekarang sudah mulai susah untuk mencari air bersih. Selain itu timbul ancaman, seperti kapal tongkang yang mulai berdatangan dan mengganggu aktivitas nelayan bahkan mengancam ekosistem laut di Pulau Wawonii," katanya.

Warga Pulau Wawonii lainnya, Wilman, menganggap putusan MK ini adalah kemenangan bagi rakyat. Selain itu, kerja sama dari TAPaK juga memberikan semangat bagi masyarakat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tapi, pengawalan secara kolektif harus tetap dipantau terkait IPPKH.

"Harapannya PT GKP bisa meninggalkan Pulau Wawonii sesegera mungkin. Selain itu, kami mendesak kembali MK untuk mengabulkan kasasi terkait IPPKH agar PT GKP berhenti beroperasi," ujarnya

Anggota TAPaK, Parid Ridwanuddin, menuturkan Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Berkaitan dengan itu dan putusan hari ini, TAPaK mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan menghentikan seluruh pertambangan di pulau-pulau kecil yang tersebar di Nusantara, dari Sabang sampai Merauke.

"Jika tidak bisa melakukan hal tersebut, seluruh masyarakat di pesisir dan pulau kecil harus bersatu untuk menghentikan dan mengeluarkan tambang dari ruang hidup mereka," ucap Ridwan.