LIPUTAN KHUSUS:

Bank Besar di Indonesia Danai Industri Kotor


Penulis : Aryo Bhawono

Banking on Biodiversity Chaos melaporkan sekitar US$ 30,5 miliar mengalir untuk mendanai komoditas berisiko terhadap hutan dan mendorong deforestasi besar-besaran.

Lingkungan

Jumat, 29 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pasca Perjanjian Paris, bank-bank di Indonesia seperti Bank Mandiri, BRI, BCA dan BNI menjadi bank terbesar di Asia Tenggara yang merisikokan hutan di Indonesia. Berdasarkan kapitalisasi pasar per Juni 2023, bank-bank ini menyediakan pembiayaan sekitar 30,5 miliar dolar AS (40 persen) dari total kredit bagi perusahaan kelapa sawit, pulp dan kertas, karet, serta kayu yang beroperasi di Indonesia. 

Data ini termuat dalam laporan Banking on Biodiversity Collapse (BOBC) yang disusun oleh Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia bersama Koalisi Forests & Finance. Mereka mengungkapkan data komprehensif mengenai peran pendanaan besar dalam mendorong deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan pelanggaran hak asasi manusia di kawasan hutan tropis. 

Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Linda Rosalina, mengungkapkan laporan ini menjadi bukti kebijakan terkait lingkungan, sosial dan tata kelola (LST atau “ESG”) bank-bank besar di Indonesia masih tertinggal hingga gagal mencegah hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati. Seharusnya bank-bank ini menjalankan komitmen Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut, dan Nol Eksploitasi (NDPE) pada tingkat grup perusahaan yang berisiko buruk untuk hutan, dan meminta perusahaan mematuhi komitmen tersebut sebagai syarat pembiayaan.

“Namun, implementasi komitmen ini sering kali tidak jelas. Belum ada satupun dari lima bank terbesar di Indonesia itu yang mengadopsinya, padahal bank-bank yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Jepang baru-baru ini mulai mengadopsi kebijakan yang sejalan dengan NDPE,” kata Linda.

Pembukaan hutan alam skala besar di RAPP Sungai Kampar, 30 Mei 2012./Foto: Dokumentasi Eyes on The Forests

Sektor keuangan Indonesia belum membahas risiko terkait perusahaan bayangan yang berada di bawah kendali yang sama dengan grup-grup perusahaan produsen terbesar di Indonesia. 

Selain itu melemahnya Taksonomi Hijau OJK sebagai regulator yang berubah menjadi Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) pada awal tahun 2024 ini melemahkan pedoman lingkungan hidup di beberapa sektor termasuk energi dan pertambangan. Perubahan ini memberikan sinyal yang membingungkan bagi pelaku pasar keuangan mengenai di mana mereka harus mengalokasikan modalnya. 

TKBI telah menghapuskan kategori ‘merah’ untuk sejumlah kegiatan berdampak tinggi seperti pertambangan nikel tanpa ada batas waktu yang jelas mengenai berapa lama kategori transisi ini akan berakhir.

Perusahaan-perusahaan penerima pembiayaan itu di antaranya Sinar Mas Group (SMG) selaku pengendali Asia Pulp & Paper dan Golden Agri Resources, yang teridentifikasi menerima 38 persen dari kredit yang dikucurkan untuk sektor ini. Sedangkan Royal Golden Eagle (RGE) Group menerima 5,8 miliar dolar AS. 

Serupa dengan SMG, pembiayaan kepada RGE sebagian besar ditujukan pada pulp & paper, dan sebagian kecil ditujukan pada minyak sawit. Padahal perusahaan ini memiliki rekam jejak pelanggaran HAM yang berkepanjangan dalam operasional sawitnya.

Direktur Walhi Kalteng, Bayu Herinata mengungkapkan sekitar 5.000-an orang dari Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan hingga saat ini masih menuntut plasma di perkebunan sawit PT. Tapian Nadenggan, anak usaha Sinar Mas Group. 

“Perusahaan sudah beroperasi sejak dua dekade lalu tapi sampai hari ini belum merealisasikan salah satu kewajiban yaitu membangun kebun untuk masyarakat sekitar atau plasma. Tuntutan masyarakat dengan melakukan aksi-aksi demonstrasi di lapangan sejak tahun 2022 sampai hari ini belum mendapatkan kepastian terkait tuntutan yang disampaikan kepada perusahaan,” ucap Bayu.

Lebih lanjut, Sinar Mas Grup dan Best Agro International Grup di Kalimantan Tengah telah melakukan aktivitas perusakan lingkungan seperti deforestasi hutan, beraktivitas pada ekosistem gambut, melakukan pencemaran sungai dan danau, serta pelanggaran HAM termasuk perampasan wilayah, sengketa lahan, intimidasi, kekerasan sampai menyebabkan korban kriminalisasi dan meninggal dunia.

Bayu mendesak agar bank-bank yang memberikan pendanaan dan perusahaan pembeli harus menuntut dan memastikan perusahaan menaati dan menjalankan komitmen yang telah dibuat dalam kebijakan dan aturan yang berlaku.

Sementara itu, berdasarkan pendokumentasian Pusaka Bentala terdapat 20 grup perusahaan kelapa sawit yang menguasai lahan perkebunan skala luas di Papua. Salah satunya adalah Korindo Group atau Tunas Sawa Erma Group (berubah nama sejak 2021) yang menguasai lahan 148.652 ha melalui tujuh perusahaan. 

Direktur Pusaka, Franky Samperante, menilai investasi yang masuk di Papua telah menyebabkan meluasnya alih fungsi kawasan hutan adat menjadi areal usaha komoditi komersial dan beralihnya kontrol penguasaan dan pemilikan tanah dan hutan kepada segelintir pemodal, yang menyingkirkan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.

“Brutalnya akumulasi kapital dalam sektor perkebunan kelapa sawit telah berkontribusi dalam peningkatan laju deforestasi dan bencana ekologi, cuaca ekstrem, kekeringan dan kebakaran lahan, gizi buruk dan kelaparan, serta kekerasan fisik dan mental," ujarnya.

Lembaga-lembaga ini pun menuntut lembaga keuangan seperti perbankan dan regulator keuangan seperti OJK untuk segera mengambil langkah-langkah dalam menyelaraskan aliran keuangan mereka agar sejalan dengan tujuan kebijakan publik internasional. Sektor keuangan harus mengadopsi setidaknya 5 prinsip dasar, yang mencakup menghentikan dan memulihkan hilangnya keanekaragaman hayati, menghormati dan memprioritaskan hak-hak Masyarakat Adat dan lokal, mendorong transisi energi yang berkeadilan, memastikan integritas ekosistem LST, dan menyelaraskan tujuan kelembagaan lintas sektor, isu, dan instrumen.