LIPUTAN KHUSUS:

Kampung yang Gigih Menolak Tambang


Penulis : Ady Anugrah Pratama

"Kalau kamu singgung soal tambang, biar air putih tidak akan dikasi,” ungkap Tasma, warga Babana, Pinrang, menceritakan antipati desanya terhadap tambang pasir. Bukan tanpa sebab kuat.

OPINI

Sabtu, 06 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BAGI orang Babana, menolak tambang pasir merupakan cara ampuh agar kampung mereka terhindar dari banjir. Hampir semua warga menolak tambang pasir, kesepakatannya terpancang kuat, tak boleh ada tambang pasir di Babana. Menyinggung tambang pasir sama saja menyulap keramahan menjadi amarah.

“Bila ingin lihat orang Babana tersenyum jangan singgung soal tambang pasir. Kalau kamu singgung soal tambang, biar air putih tidak akan dikasi,” ungkap Tasma warga Babana.

Pengalaman banjir yang sering melanda kampung menjadi alasan mereka melarang aktivitas tambang pasir. Apabila pasir Sungai Sa’dan dikeruk atau dihisap dengan kapal, sungai semakin melebar, tanggul roboh dan air akan masuk ke perkampungan. Membuat rumah terendam dan melumpuhkan aktivitas warga berhari-hari sampai berminggu-minggu.  

Di Babana, kebun dan tambak berbagi tempat di sisi kanan dan kiri sungai. Jika terjadi banjir, tambak yang menjadi sumber penghasilan warga akan mengalami gagal panen. Di kampung ini, warga mengelola tambak udang dan bandeng sebagai sumber penghasilan utama. Kebun jagung punya nasib yang sama, luapan air sungai akan merendam kebun hingga gagal panen.

Suasana di Sungai Sadan, Babana, Pinrang. Warga Babana gigih menolak kehadiran tambang karena akan menghancurkan ruang hidup mereka.

Di Babana, kebun dan tambak berbagi tempat di sisi kanan dan kiri sungai. Jika terjadi banjir, tambak yang menjadi sumber penghasilan warga akan mengalami gagal panen.

Satu kampung telah dipindahkan. Puluhan rumah pernah hanyut ketika air datang menyapunya. Masih terdapat bekas rumah yang berdiri diselimuti tanaman liar merambat dan kepungan ilalang setinggi dada. Ancaman banjir tak pernah reda. Proses alam tak bisa diprediksi, ditambah Perusahaan tambang yang selalu berusaha masuk dan beroperasi di kampung ini.

SUNGAI SA’DAN DAN PASIR

Sungai Sa’dan yang berhulu dari Toraja Utara mengular melewati Kabupaten Tana Toraja, Enrekang dan bermuara di Kabupaten Pinrang. Debitnya semakin membesar setelah bertemu dengan pasokan air dari Kabupaten Mamasa dan Sungai Mata Allo Enrekang.  Air Sungai Sa’dan menjadi anugrah bagi warga yang bermukim di sepanjang aliran Sungai, menjadi sumber air untuk kebutuhan pertanian.

Di Kabupaten Pinrang, areal persawahan mengandalkan pasokan air dari Sungai Sa’dan.  Dengan pasokan yang melimpah, sawah bisa ditanami tiga kali dalam setahun.  Air Sungai Sa’dan juga menjadi sumber listrik yang dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang mengalirkan listrik ke banyak kabupaten di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

Sungai Sa’dan juga menghasilkan pasir dengan kualiatas terbaik. Kamasyuran pasir Sa’dan tersebar ke berbagai kabupaten dan provinsi. Pasir Sa’dan dikirim ke berbagai kabupaten di Sulawesi Selatan hingga ke pulau lain seperti Kalimantan. Di Makassar, baik pasir Sungai Sa’dan digunakan untuk plester rumah dan lantai karena kualitasnya yang teruji.

Kemasyuran pasir sungai Sa’dan membuatnya diperebutkan para pengusaha tambang pasir. Mereka  berlomba-lomba mendapatkan izin untuk mengeruknya.

Keberadaan tambang pasir menjadi pemandangan yang mencolok di sepanjang Sungai Sa’dan. Mesin-mesin penyedot pasir mengapung di atas permukaan Sungai. Pemandangan yang tampak jelas saat melintasi jembatan Lasape, di jalan Trans Sulawesi di Kabupaten Pinrang.

Truk-truk lalu Lalang mengangkut material pasir yang sudah terpisah dengan air. Aktivitas tambang ini membuat sungai semakin mendekati jalan dan perkampungan. Membuat kampung dan warga sering mendapatkan bencana banjir.

Kampung Babana yang berada di muara Sungai Sa’dan menjadi lokasi tambang yang strategis. Letaknya yang berada di muara memudahkan kapal penghisap pasir masuk ke sungai dan menghisap pasirnya. Letaknya yang strategis ini membuat para pengusaha tambang mengincar wilayah ini. Keinginan para pengusaha terganjal kebulatan warga di Babana yang menolak tambang pasir. Harga mati.

Kemasyuran pasir sungai Sa’dan membuatnya diperebutkan para pengusaha tambang pasir. Tapi keinginan para pengusaha terganjal kebulatan warga di Babana yang menolak tambang pasir. Harga mati.

Suatu waktu, perusahaan yang mengaku telah mengantongi izin masuk ke sungai dengan kapal penyedot pasir. Warga yang mengetahuinya segera bereaksi dengan mendatangi kapal penyedot pasir dan memintanya pergi.

Pada tahun 2019, Di Desa Salipolo, desa yang bertetangga dengan kampung Babana terpaksa harus berkonflik dengan preman bayaran perusahaan tambang yang datang mengawal ekskavator untuk mengeruk pasir di sungai. Mereka menghadang para penambang. Ratusan warga dari Desa Salipolo dan bantuan dari kampung Babana beramai-ramai mendatangi dengan bersenjata bambu runcing dan mengusir para penambang dan meminta para penambang tak kembali lagi. Sempat terjadi kontak fisik yang mengakibatkan korban luka diantara kedua belah pihak.

Warga juga sempat menggelar demonstrasi ke Pemerintah Daerah Kabupaten Pinrang hingga mendorong rapat dengar pendapat di Tingkat provinsi dan memaksa pemerintah provinsi mencabut izin perusahaan tambang. Setelah rapat dengar pendapat tersebut, perusahaan mengurungkan niatnya.

KEGIGIHAN MENOLAK TAMBANG PASIR

Awalnya muara Sungai Sa’dan berada di Desa Paria. Namun, muara ini berpindah ke Babana yang bertetangga dengan Desa Paria. Dulunya, sungai di Babana hanyalah sungai kecil. Lebarnya hanya sekitar sepuluh meter. Terdapat jembatan kayu untuk menyebranginya.

Ketika muara berpindah, bencana mulai mengikutinya. Tambak yang berada di tepi sungai menyatu menjadi sungai. Demikian halnya dengan kebun juga ikut menyatu membuat sungai semakin lebar.

Kampung-kampung yang dihuni ratusan rumah juga sirna. Masyarakat terpaksa pindah dan membangun perkampungan baru. Mereka pernah ditawari relokasi oleh pemerintah daerah Kabupaten Pinrang. Namun tawaran tersebut ditolak. Kemungkinan  bencana banjir yang mengincar mereka tak membuat mereka rela meninggalkan kampung. Warga masih memegang kuat pesan orang tua mereka agar tak meninggalkan kampung.  Apapun yang terjadi, kampung tak boleh ditinggalkan. Warga percaya, di Babana segalanya tersedia; sungai, kebun, tambak dan laut, kesemuanya jika dikelola dengan baik menjadi sumber kesejahteraan warga.

Warga percaya, di Babana segalanya tersedia; sungai, kebun, tambak dan laut, kesemuanya jika dikelola dengan baik menjadi sumber kesejahteraan warga.

Saya bertemu dengan Cappie, salah seorang penolak tambang garis keras. Di Kampung Babana, warga menggelarinya penjaga sungai. Cappie punya badan yang tinggi dan berisi. Kumis hitam menutup bibir. Ia pribadi sangar dan jail.

Ia berumah di tepi Sungai, rumah beton yang kokoh yang di lantai paling atasnya dibuat sarang. Di rumahnya, mesin air sengaja dipasang di atas jendela. Jika air datang, mesin tak akan terendam air.

Pohon gersen yang berbaris rapi di sela sela batu gajah menjadi pembatas rumah Cappie dengan Sungai. Bale bambu yang berada di bagian depan rumah menjadi tempat duduk favoritnya saat siang hingga sore menjelang.

Bila tambang beroperasi, rumahnya yang menerima dampak terlebih dahulu. Ketika air sungai meluap, rumahnya bisa terendam sampai dada orang dewasa. Sama dengan warga lain, banjir menjadi alasan utama dirinya menolak kehadiran tambang pasir. Berulang kali ia ikut protes, namun ada saja orang yang ingin datang dan menambang di Babana.

Suatu waktu, dua orang baru dari luar kampung bertanya padanya tentang rencana mereka menambang di Babana. Sekelabat Cappie masuk ke dalam rumah dan mengambil samurai lalu dengan sekuat tenaga membatingnya. Sontak dua orang tersebut meloncat dan segera berlari menembus semak tebal.

Seorang anak muda juga pernah bernasib sial. Ia bermaksud mengunjungi kampung halaman orang tuanya di Babana, namun seorang warga menyambutnya dengan tombak karena menganggap ia mau menambang di Babana. Anak muda itu lari dan tak pernah muncul kembali ke kampung.

Warga kampung selalu awas, memperhatikan setiap orang yang masuk ke kampung. Jika ada orang baru, mereka saling memberi kabar dan mengawasi gerak-geriknya. Bila ada yang mencurigakan, mereka akan segera bertindak.

Terpancang kuat kesepakatan warga, tak boleh ada tambang masuk dan beroperasi. Apabila ada warga yang memberi jalan, ia lebih baik angkat kaki dari kampung. Warga yang ketahuan membantu pengurusan izin pertambangan di Babana, akan didatangi beramai-ramai dan meminta berhenti membantu pengurusan tambang jika tak ingin diusir dari kampung.

Di Babana, warga memilih membangun rumah panggung. Alasannya sederhana, bila air datang mereka masih bisa tetap berlindung dari air. Di kampung ini, hanya masjid yang duduk rapat dengan tanah. Gedung sekolah pun dibuat tinggi dengan tiang yang berdiri kokoh di atas tanah. Bangunan seperti rumah dan fasilitas umum seperti sekolah menyesuaikan diri dengan kenyataan geografis daerah ini yang rawan banjir.

Pemerintah setempat yang mendukung tambang pasir tak akan punya kekuasaan yang panjang. Kepala desa yang ketahuan membekingi tambang tak terpilih kembali. Warga bulat tak memberi suara mereka kepada pemimpin yang mendukung tambang pasir.

Pemerintah setempat yang mendukung tambang pasir tak akan punya kekuasaan yang panjang.

Kepala desa baru terpilih setelah berkomitmen menolak tambang. Komitmen tersebut dibuat tertulis yang menjadi dasar warga menagih komitmen.

Jabatan  Badan Perwakilan Desa (BPD) diisi oleh orang yang bisa dipercaya dan mau bersuara menolak tambang. Jika mereka membelot, warga akan segera melucuti jabatannya. Segala cara akan dilakukan warga mempertahankan kampung dari tambang pasir. Mereka bahkan berani bertaruh nyawa.

Sudah berulang kali mereka pernah berhadap-hadapan dengan preman bayaran yang disewa pengusaha tambang. Dengan persatuan yang solid dan kekuatan warga, mereka berhasil memukul mundur preman bayaran.

Ironisnya, penolakan warga atas rencana investasi masuk tak mengurungkan niat pemerintah memberi izin tambang. Bila pemerintah berada di sisi warga maka tak akan ada izin yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Alasan yang jamak digunakan, investasi akan memberikan dampak positif terhadap warga dan kampung. Kemandekan Pembangunan terjadi karena tak ada investasi yang masuk di kampung. Pemerintah mempromosikan jalan terbaik agar kampung bergerak maju dengan menerima investasi tambang yang antri ingin mengeruk pasir sungai.

Suatu waktu, sekretaris kecamatan menyampaikan sambutan di masjid saat perayaan maulid Nabi Muhammad SAW di Babana. Dalam sambutannya yang cukup panjang, ia menyesalkan sikap warga yang tak memberikan izin kepada pengusaha untuk menambang di Babana. Dengan keras ia melabeli orang orang yang tak memberi ruang tambang masuk adalah orang orang yang tak ingin kampung mereka maju.

Sontak, sambutan itu membuat kegaduhan karena menilai pemerintah kecamatan terkesan akan memberi ruang ke pengusaha yang ingin menambang. Banyak warga kecewa dan jengkel mendengar sambutan itu. Bahkan ada warga yang keluar dari masjid ketika mendengar sambutan itu.

“Pemerintah kan sudah tahu kalau orang Babana tak mau ada tambang masuk di kampung mereka, kenapa tiba-tiba Sekcam seperti mendukung ada tambang masuk di kampung,” cerita Tasma.

Setelah mereka berhasil menghentikan tambang di tahun 2019 silam, mereka menganggap sudah tak ada lagi pengusaha tambang yang ingin masuk karena warga tak menginginkan itu. Namun kenyataan berkata lain.

Puncak kekecewaan warga adalah ketika kepala desa yang mereka pilih dengan kesepakatan akan bersama menolak tambang pasir dianggap mulai main mata dengan pengusaha. Warga mengancam, akan menjatuhkan kekuasaan sang kepala desa jika memberi ruang tambang masuk.

Warga sangat berhati-hati ketika dikumpulkan oleh pemerintah lewat rapat, acara hiburan maupun untuk sekedar makan bersama. Suatu waktu, warga pernah dikumpulkan dalam acara bakar ikan. Setelah acara makan bersama, warga diminta mengisi absen. Belakangan diketahui, tanda tangan itu digunakan oleh pemerintah untuk mengatakan bahwa warga sepakat bila ada tambang pasir yang masuk ke kampung.

Warga sangat berhati-hati ketika dikumpulkan oleh pemerintah lewat rapat, acara hiburan maupun untuk sekedar makan bersama.

Pengalaman itu yang membuat warga tak mau dikumpulkan lagi oleh pemerintah. Mereka tak akan mau memberikan tanda tangan di kegiatan mana pun. Warga selalu awas, jika tanda tangan mereka disalahgunakan untuk kepentingan tambang pasir. Pengalaman telah mendidik warga untuk tidak tertipu lagi. Warga sudah mulai mengerti bahwa pemerintah sering menipu mereka. Itu yang membuat mereka awas bahkan skeptis terhadap pemerintah.

Ketika ada informasi tentang Perusahaan tambang ingin masuk kampung, warga akan berkumpul di tepi sungai dan bermusyawarah. Di dekat tempat penyeberangan, warga sering berkumpul dan bermusyawarah. Tempat ini seperti kantor tak resmi warga.

Tahun lalu beredar informasi, jika seseorang dari Kota Pinrang sedang mengurus perizinan pertambangan di Bababinanga. Warga kepanasan dan segera berkumpul di depan rumah di tepi sungai itu. Surat undangan sosialisasi rencana pertambangan di sungai Bababinanga membuat warga terkaget. Tambang akan masuk ke kampung ini.

Salah seorang warga yang mengetahui rencana itu langsung menyebarluaskan informasi. Masyarakat berinisiatif mengumpulkan tanda tangan penolakan. Tanda tangan yang terkumpul mereka kirim ke banyak instansi, pemerintah kabupaten dan provinsi dengan maksud izin tak dikeluarkan.

“Seandainya ayamku bisa tanda tangan, saya kasi tanda tangan juga,” ungkap salah seorang warga.

“Seandainya ayamku bisa tanda tangan (menolak tambang), saya kasi tanda tangan juga.”

Bababinanga dan desa desa sepanjang aliran sungai Sa’dan yang berada di dekat muara harusnya mendapatkan perlindungan. Alokasi ruang tambang harus ditutup rapat mempertimbangkan kenyataan daerah ini rawan bencana. Pemerintah harusnya tak memberi ruang izin terbit, alasannya sangat sederhana warga menolak tambang pasir.