LIPUTAN KHUSUS:

Investigasi Mayawana: Pemilik Maya, Kerusakan Nyata


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Dalam tiga tahun, dari 2021-2023, Bentang Alam Mendawak Kalimantan Timur kehilangan hutan alam seluas hampir separuh Singapura, untuk pembangunan kebun kayu PT Mayawana Persada. Raksasa kebun kayu Royal Golden Eagle milik Sukanto Tanoto menolak dikaitkan.

SOROT

Senin, 13 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Dari ketinggian, satu per satu pepohonan tampak tumbang oleh lengan ekskavator berkelir biru. Hamparan hutan di sekitarnya, yang didominasi vegetasi berwarna hijau, sebagiannya telah berubah coklat kehitaman, menandakan vegetasi yang hilang, tanah yang terbuka. Kala itu, 16 Maret 2024, ada setidaknya 8 ekskavator yang tengah giat bekerja di atas tanah basah itu.

Aksi tanpa ampun yang terpantau kamera pesawat tanpa awak (drone) tersebut berlangsung di salah satu sudut Bentang Alam Mendawak, di dalam konsesi di PT Mayawana Persada, di wilayah Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat (Kalbar). Betahita menerbangkan drone di wilayah ini untuk melihat kegiatan perusahaan kebun kayu tersebut.

Sebelumnya media, masyarakat sipil, dan masyarakat adat, melaporkan bahwa Mayawana diduga sedang menghancurkan Bentang Alam Mendawak. Dalam tiga tahun (2021-2023) bentang alam itu setidaknya telah kehilangan hutan alam seluas kurang lebih 33.070 hektare--ini hampir separuh luas Singapura--akibat pembangunan kebun kayu PT Mayawana Persada.

Pada 2023, menurut laporan mereka, pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) tanaman industri Nomor SK.723/Menhut-II/2010 seluas 136.710 hektare di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara itu mencatatkan angka luas deforestasi terbesar se-Indonesia, yakni 16.118 hektare. Angka ini naik 300 persen dibanding dua tahun sebelumnya, yang mencapai 5.147 hektare. Adapun pada 2022 luas deforestasi di wilayah itu sekitar 11.805 hektare.

PT Mayawana Persada diduga terus melakukan pembukaan lahan gambut serta hutan alam yang menjadi habitat orang utan di Kalimantan Barat. Dok Istimewa

Juru Kampanye Auriga Nusantara, Hilman Afif, mengatakan penghancuran hutan alam oleh PT Mayawana Persada itu sebagian besar terjadi di lahan bergambut, seluas sekitar 21.859 hektare. Karena itu, PT Mayawana Persada diperkirakan berkontribusi melepaskan emisi sekitar 12,2 juta metrik ton karbon dioksida (CO2) selama periode tiga tahun (2020–2022).

"Saat ini tersisa 55.625 hektare hutan alam di dalam konsesi Mayawana. Sekitar 37.489 hektare di antaranya berada di lahan bergambut. Itu menjadikannya sebagai batu uji kritis terhadap upaya pengendalian deforestasi di Indonesia,” kata Hilman, dalam rilis laporan berjudul Pembalak Anonim, 18 Maret 2024. Laporan ini dibuat oleh Yayasan Auriga Nusantara, Environmental Paper Network, Greenpeace, Woods & Wayside International, dan Rainforest Action Network.

Sebenarnya penghancuran hutan alam di konsesi PT Mayawana Persada tidak terjadi baru-baru ini saja. Menurut Aidenvironment, hutan alam seluas 4.899 hektare di konsesi PT Mayawana Persada hilang dalam rentang 2016 hingga 2020.

Koalisi Masyarakat Sipil--di dalamnya ada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Link-AR Borneo, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, dan Satya Bumi--menyebut pembalakan oleh PT Mayawana Persada itu berlangsung brutal. Menurut Koalisi, lahan berhutan yang digunduli PT Mayawana Persada memiliki nilai konservasi tinggi (NKT) atau high conservation value (HCV). "Sekitar 89.410 hektare dari total 136.710 hektare luas izin PT Mayawana Persada merupakan habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), dan 83.060 hektare merupakan ekosistem gambut kaya karbon," ungkap Koalisi.

"Dari citra satelit terpantau PT Mayawana Persada kini mulai membabat hutan yang terindikasi area gambut lindung di barat daya. Apabila ini terus berlanjut, maka potensi pembukaan hutan akan terus meningkat hingga mencapai 6.268 hektare," kata Koalisi lagi, dalam sebuah rilis pada 16 Maret 2024.

Tampak dari ketinggian kondisi areal konsesi PT Mayawana Persada. Sumber: Auriga Nusantara

Dampak dari kerusakan lahan gambut memang tak main-main. Dalam sebuah laporan Koalisi berjudul Kerusakan ekologis-pelanggaran HAM PT Mayawana Persada: Ugal-ugalan Ekspansi HTI di Kalimantan Barat, disebutkan bahwa gambut di Indonesia menyimpan 46 Gt (catatan: 1 Gt = 109 ton) atau 8-14 persen total karbon pada lahan gambut di dunia. Adapun gambut dunia mengandung 329-525 Gt karbon atau 35 persen total karbon dunia (Matbi dan Immirizi, 1993, dalam Murdiyarso dan Suryadiputra, 2004). Sehingga, gambut Indonesia berperan sangat penting sebagai pengaman perubahan iklim global. Apabila lahan gambut terbakar atau terdegradasi, berbagai jenis gas rumah kaca (terutama CO2, N2O, dan CH4) akan teremisi di atmosfer, sehingga memperburuk perubahan iklim global.

Citra satelit Koalisi menguatkan kekhawatiran akan keberlangsungan gambut di Mayawana. Citra itu memperlihatkan kanal-kanal nan panjang yang dibuat di bagian barat daya konsesi PT Mayawana Persada. Kemudian, investigasi Betahita ke lokasi pada 16 Maret 2023 mengkonfirmasi keberadaan kanal-kanal tersebut.

Tampak dari ketinggian beberapa alat berat beroperasi di konsesi PT Mayawana Persada, 16 Maret 2024. Sumber: Auriga Nusantara.

Kanal-kanal itu memiliki lebar sekitar 6 meter, sangat panjang, dan membelah rimbun hutan alam. Kayu-kayu, akar, dan tanah galian kanal tampak ditumpuk di sebelah kanan dan kiri kanal-kanal, menyerupai tanggul, selebar masing-masing sekitar 6 meter.

Kanal-kanal tersebut penuh dengan air berwarna merah kehitaman yang mengalir dari utara ke selatan. Salah satu kanal itu tampak berundak atau bertingkat-tingkat, seolah dibuat untuk mencegah air dari anak sungai alami mengalir ke dalam kanal. Soalnya kanal itu memenggal alur anak sungai di sana.

"Kalau menurut pihak kontraktor PT Mayawana Persada yang bikin kanal ini, jarak antar-kanal sekitar 800 meter. Mereka (kontraktor) ditarget 2 minggu harus selesai bikin kanal dan stacking-nya. Tiap kanal beda kontraktor," kata warga setempat berinisial S, yang mengaku sempat bertemu dan berbincang dengan beberapa pengawas lapangan dari pihak kontraktor, saat kanal-kanal itu dibuat awal Maret lalu.

Peta lahan bergambut di dalam konsesi PT Mayawana Persada. Sumber: Auriga Nusantara

Menurut Koalisi, melalui kanalisasi yang dilakukan oleh Mayawana, pengeringan lahan menyebabkan gambut rusak tersubsistensi hingga rentan mengalami kebakaran dan berbagai risiko lainnya. Konversi lahan gambut menjadi perkebunan komoditas vegetasi monokultur, seperti akasia dan eukaliptus, mengakibatkan terlepasnya emisi karbon di dalam gambut serta berkurangnya biomassa di atas gambut.

Salah satu kanal yang dibuat di konsesi PT Mayawana Persada. Sumber: Betahita.id.

Cadangan karbon dalam tanah gambut adalah 10 kali lipat dibanding dalam tanah mineral biasa. Oleh karena itu, setiap kerusakan yang terjadi di lahan gambut mengakibatkan pelepasan emisi yang jauh lebih besar sehingga berimbas pada meningkatnya krisis iklim.

Tak sesuai PP Perlindungan Pengelolaan Ekosistem Gambut

Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat perusakan lahan gambut di konsesi PT Mayawana Persada melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No.71 tahun 2014 tentang Perlindungan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pasal 26 PP itu menyebutkan, setiap orang dilarang membuka lahan di ekosistem gambut dengan fungsi lindung; membuka drainase yang mengakibatkan ekosistem gambut menjadi kering; membakar lahan gambut; atau melakukan kegiatan lain yang mengakibatkan terlampauinya kriteria baku kerusakan ekosistem gambut, sebagaimana dimaksud pada pasal 23 ayat (2) dan ayat (3).

Kerusakan ekosistem gambut yang dimaksud oleh PP itu dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 23 ayat (2). Ekosistem gambut dengan fungsi lindung dinyatakan rusak apabila melampaui kriteria baku kerusakan sebagai berikut: terdapat drainase buatan di ekosistem gambut dengan fungsi lindung yang telah ditetapkan; tereksposnya sedimen berpirit atau kuarsa di bawah lapisan gambut; atau terjadi pengurangan luas/volume tutupan lahan di ekosistem gambut dengan fungsi lindung yang telah ditetapkan.

Merujuk kajian World Resources Institute, setiap hektare gambut tropis yang dikeringkan untuk pengembangan perkebunan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton CO2 setiap tahun atau kurang lebih setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin.

Menurut Direktur Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, sepanjang 2022 hingga Oktober 2023, PT Mayawana Persada telah membuka dan mengeringkan lahan gambut seluas 14.505 hektare. Aktivitas tersebut menyebabkan emisi 797.775 metrik ton CO2 atau setara dengan 8.703.0000 galon bensin yang terbakar. 

"Sebuah angka yang fantastis menambah laju akumulasi emisi di tengah keinginan pemerintah untuk menekan laju krisis iklim," ujar Adam, dalam sebuah rilis Koalisi Masyarakat Sipil.

Dalam rilis yang sama, Ketua Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) Borneo, Ahmad Syukri, berpendapat, aktivitas PT Mayawana Persada ini merupakan bentuk perusakan ekosistem gambut, yang karakter dan fungsinya spesial bagi alam, yang mengakibatkan keseimbangan ekologis terganggu. Ia tidak merasa heran bila di kemudian hari ancaman bencana alam banjir akan menghantui wilayah di dalam dan sekitar konsesi PT Mayawana Persada. 

"Karena hutan alam dan ekosistem gambutnya yang rusak mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah menyerap dan menampung air," kata Syukri.

Peta yang memperlihatkan sebaran lahan gambut, dan deforestasi yang terjadi di konsesi PT Mayawana Persada dalam rentang Januari-Maret 2024. Sumber: Auriga Nusantara 2024.

Berdasarkan analisis Auriga Nusantara, deforestasi di konsesi PT Mayawana Persada masih terus terjadi. Dalam rentang waktu Januari hingga Maret 2024, luas deforestasi di areal PT Mayawana Persada sebesar sekitar 438,75 hektare. Dengan rincian, 90,83 hektare di lahan gambut lindung, 84,6 hektare di lahan gambut budidaya, dan sisanya 263,32 hektare di lahan mineral.

Hingga artikel ini selesai ditulis, upaya konfirmasi dan beberapa pertanyaan yang disampaikan Betahita kepada pihak PT Mayawana Persada, belum mendapatkan respons apapun. Namun, PT Mayawana Persada diketahui telah memberikan tanggapan, dalam sebuah surat, kepada Environmental Paper Network (EPN), pada hari yang sama saat laporan Pembalak Anonim dirilis. 

Dalam suratnya itu, PT Mayawana Persada menyatakan pihaknya secara ketat mematuhi dan beroperasi sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia, termasuk yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

"Oleh karena itu, seluruh kegiatan operasional kami sejalan dengan Rencana Kerja Umum (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang telah disetujui oleh KLHK," kata PT Mayawana Persada dalam surat yang ditandatangani Direktur PT Mayawana Persada, Fathrah Dikusumah, 18 Maret 2024.

Selain itu, kata PT Mayawana, pihaknya telah menerapkan praktik-praktik pengelolaan hutan lestari seperti yang direkomendasikan oleh konsultan independen terkemuka terkait aspek lingkungan, kawasan konservasi flora dan fauna, dan studi sosial.

Konsultan-konsultan itu antara lain, Studi HCV oleh Hatfield Indonesia pada 2014, Rencana Pengelolaan dan Pemantauan NKT (RPP) oleh IDEAS Consultancy, dan Survei Populasi Orangutan dan Implementasi Rencana Aksi Konservasi Orangutan (Pongo pygmaeus) oleh Pusat Ekologi dan Konservasi untuk Studi Tropis (Ecositrop), 2022-sekarang.

“Untuk penilaian kepatuhan, PT Mayawana Persada secara teratur mendapatkan hasil penilaian kepatuhan yang baik untuk penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) yang dilakukan oleh Lembaga Penilai Independen (LPI),” kata PT Mayawana Persada.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari minta aktivitas Mayawana dihentikan

Penebangan hutan alam di konsesi PT Mayawana Persada ini, termasuk yang dilakukan di lahan bergambut dan di habitat orangutan, sepertinya juga  dianggap bermasalah oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pasalnya, pada 28 Maret 2024, Plt. Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), Agus Justianto mengeluarkan surat No. S.360/PHL/PUPH/HPK.1.0/B/3/2024 perihal Penghentian Aktivitas Penebangan Logged Over Area (LOA) pada Areal Kerja PBPH-HT PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat. 

Dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Utama PBPH-HT PT Mayawana Persada itu disebutkan, surat ini sebagai tindak lanjut Surat Plt. Direktur Jenderal PHL Nomor S.345/PHL/PUPH/HPL.1.0/B/3/2024 tanggal 18 Maret 2024 hal Laporan Pembukaan Lahan Gambut di Areal Kerja PBPH-HT PT Mayawana Persada di Provinsi Kalimantan Barat, dan dalam rangka implementasi target Rencana Kerja Sub Nasional Indonesia's FOLU Net Sink 2030 di Provinsi Kalimantan Barat.

Tertulis, berdasarkan laporan PT Mayawana Persada, Februari 2024, pada SIPASHUT, perkembangan kegiatan di lapangan antara lain luas realisasi pembukaan lahan baru 14.033 hektare dengan realisasi penanaman 94,55% dan luas pembukaan lahan carry over 6.107 hektare dengan realisasi penanaman 100%.

Surat itu juga mengungkapkan, PT Mayawana Persada memiliki target Rencana Operasional (RO) Indonesia's Folu Net Sink 2030, yaitu seluas ± 137.331 hektare, dengan rincian, yaitu:

  1. Target RO-1 (Pencegahan Deforestasi Mineral) seluas ± 22 hektare;
  2. Target RO-2 (Pencegahan Deforestasi Gambut) seluas ± 480 hektare;
  3. Target RO-3 (Pencegahan Deforestasi Konsesi) seluas ± 22 hektare;
  4. Target RO-4 (Pembangunan Hutan Tanaman) seluas ± 18 hektare;
  5. Target RO-5 (Penerapan Pengayaan Hutan Alam) seluas ± 18 hektare;
  6. Target RO-6 (Penerapan RIL-C) seluas ± 1.719 hektare;
  7. Target RO-7 (Peningkatan Cadangan Karbon dengan Rotasi) seluas ± 35.946 hektare;
  8. Target RO-8 (Peningkatan Cadangan Karbon tanpa Rotasi) seluas ± 9.556 hektare;
  9. Target RO-9 (Pengelolaan Tata Air Gambut) seluas ± 94 hektare;
  10. Target RO-10 (Pelaksanaan Restorasi Gambut) seluas ± 7.899 hektare;
  11. Target RO-11 (Perlindungan Areal Konservasi Tinggi) seluas ± 79.773 hektare.

Pada poin 3 surat itu disebutkan, dengan pertimbangan antara lain dalam rangka pencapaian target Indonesia's Folu Net Sink 2030, di mana di areal kerja PT Mayawana Persada antara lain memiliki Target RO-11 (Perlindungan Areal Konservasi Tinggi) yang sangat luas, maka PT Mayawana Persada diminta untuk menghentikan semua aktivitas kegiatan penebangan pada areal bekas tebangan atau logged over area (LOA).

Mayawana diminta "Memfokuskan kegiatan pada penanaman antara lain pada lahan kosong semak belukar, tanah terbuka dan kegiatan pemulihan lingkungan," kata Agus Justianto, dalam surat tersebut.

Pemilik yang anonim

Organisasi masyarakat sipil menyatakan sampai sekarang masih bertanya-tanya siapa pemilik sebenarnya PT Mayawana Persada ini, "karena tersembunyi dari publik" sejak 2023. Pemiliknya seolah-olah maya. Itulah mengapa, laporan yang dirilis oleh Auriga Nusantara, Greenpeace, dan beberapa organisasi lainnya pada 18 Maret 2024 lalu, diberi judul Pembalak Anonim.

Dalam laporannya, mereka (Auriga Cs) menjelaskan, secara historis, PT Mayawana Persada dimiliki oleh Alas Kusuma Group, yang mengendalikan sejumlah perusahaan kehutanan dan sawit di Indonesia. Grup Alas Kusuma secara resmi memiliki PT Mayawana Persada sepenuhnya hingga akhir Desember 2022.

Pada 23 Desember 2022, separuh saham PT Mayawana Persada dialihkan dari PT Suka Jaya Makmur, sebuah perusahaan Alas Kusuma, ke Green Ascend (M) Sdn Bhd, sebuah perusahaan yang berkedudukan di Malaysia dan didirikan pada 2017. Pemegang saham tunggal Green Ascend adalah sebuah perusahaan yang terdaftar di British Virgin Islands dengan nama Green Ascend Group Limited yang didirikan pada 2017. Sejak itulah mulai samar siapa pemilik Mayawana. Soalnya, identitas pemegang saham untuk perusahaan yang berkedudukan di British Virgin Islands tidak dapat diakses oleh publik.

Setahun kemudian, 50 persen sisa saham Alas Kusuma yang dimiliki oleh PT Harjohn Timber, juga dialihkan ke Beihai International Group Limited, sebuah perusahaan yang berkedudukan di Hong Kong. Beihai International Group Limited dimiliki oleh sebuah perusahaan yang berkedudukan di Samoa yang bernama Balaji Investment Group Holdings Limited. Samoa seperti British Virgin Islands, tidak mengungkapkan nama direktur atau pemegang saham perusahaan kepada publik. 

Karena ketiadaan akses publik terhadap informasi pemegang saham perusahaan dari British Virgin Islands maupun Samoa, kepemilikan PT Mayawana Persada dapat dikatakan anonim, dengan asumsi orang atau pihak yang pada akhirnya mendapatkan manfaat dari, dan memegang rentang kendali akhir operasional perusahaan tidak dapat diidentifikasi dengan melacak struktur kepemilikan formal entitas tersebut--terutama kalau hanya mengandalkan informasi yang tersedia di ranah publik.Oleh karena itu, siapa pun yang akan mendapatkan manfaat dari perilaku destruktif Mayawana dan memiliki kekuasaan untuk mengubahnya, secara efektif, anonim. “Struktur korporasi yang rumit ini, pada dasarnya, tidak hanya menyembunyikan pemilik manfaat utama perusahaan tetapi sekaligus melindungi mereka dari risiko hukum dan reputasi atas penghancuran hutan tropis yang begitu luas,” kata Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia.

Namun, dari penelusuran lebih lanjut ditemukan beberapa petunjuk. Beberapa nama perusahaan dan orang-orang yang terhubung dengan Mayawana diduga terhubung dengan Sukanto Tanoto, taipan yang disebut sebagai pemilik Grup Royal Golden Eagle (RGE).

Gambaran hubungan kepemilikan PT Mayawana Persada dan RGE. Sumber: Auriga Nusantara

Dalam kasus PT Mayawana ini, kesamaan pengurus perusahaan, relasi manajemen operasional, dan keterhubungan rantai pasok dengan perusahaan yang memiliki afiliasi dengan RGE menunjukkan bahwa grup RGE juga memiliki keterkaitan dengan Mayawana. Secara khusus, para pengurus perusahaan yang terlibat dalam pembentukan dan manajemen perusahaan di Malaysia dalam rantai kepemilikan PT Mayawana juga terlibat dalam pembentukan dan manajemen perusahaan sektor pulp yang dimiliki secara anonim yang menurut laporan masyarakat sipil dan media, juga memiliki keterkaitan dengan RGE--seperti PT Adindo Hutani Lestari dan PT Balikpapan Chip Lestari.

Menurut mereka, individu yang diidentifikasi sebagai manajer operasional PT Mayawana adalah pemegang saham dalam berbagai perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan individu dan alamat yang juga terhubung dengan RGE. Selain itu, seperti yang diuraikan dalam bagian ‘tautan rantai pasok’ di bawah, PT Mayawana juga mengirimkan sebagian besar kayu hutan alam dari kegiatan penyiapan lahan mereka ke sebuah pabrik kayu lapis di Sumatra yang berkaitan dengan RGE.

Dua hari setelah laporan Pembalak Anonim dirilis, atau tepatnya pada 20 Maret 2024, pihak Asia Pacific Resources International Limited (APRIL)--anak usaha Grup RGE--mengeluarkan pernyataan dalam situs resminya, yang sepertinya mewakili Grup RGE. Dalam pernyataannya, APRIL menganggap laporan Pembalak Anonim itu belum terverifikasi, dan mengulang klaim tentang hubungan antara RGE dan pemasok serat, PT Mayawana Persada serta entitas lainnya. 

"RGE dengan tegas membantah adanya kepemilikan atau bentuk kendali apapun antara RGE dan pemegang sahamnya dengan PT Mayawana Persada," kata APRIL.