LIPUTAN KHUSUS:

Adaptasi Manusia Alor Terhadap Iklim Sejak 43 Ribu Tahun Lalu


Penulis : Kennial Laia

Peneliti menemukan bahwa manusia pertama di pulau Alor, NTT, telah beradaptasi pada perubahan lingkungan pada ribuan tahun lalu.

Lingkungan

Minggu, 28 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Penelitian terbaru menemukan bahwa manusia pertama kali menginjakkan kaki di Alor, Nusa Tenggara Timur, sekitar 43 ribu tahun yang lalu. Para peneliti juga mengungkap bahwa manusia pertama ini telah beradaptasi dengan perubahan iklim di sekitar pulau tersebut, yang terlihat dari perubahan pola makanan mereka. 

Secara historis, manusia pertama kali mencapai garis pantai Asia Tenggara yang luas sekitar 65 ribu tahun yang lalu. Mereka menyeberangi laut untuk melanjutkan perjalanan ke timur menuju pulau-pulau di kepulauan Wallacea. Inilah yang disebut dengan migrasi Homo sapiens dari Afrika ke Australia. 

Di sisi lain, temuan itu juga memperbaharui penemuan sebelumnya, yang memperkirakan bahwa pulau tersebut baru dihuni 21 ribu tahun yang lalu. 

"Studi kami menunjukkan bukti baru bahwa manusia mencapai dan menetap di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, sekitar 43 ribu tahun yang lalu,” tulis para peneliti dalam makalahnya, yang juga dilaporkan di The Conversation Indonesia, awal April 2024. 

Lubang penggalian utama di situs arkeologi Gua Makpan di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Dok. Creative Commons

Jejak pemukiman pada masa itu menunjukkan bahwa begitu orang mulai pindah ke pulau-pulau tersebut, mereka melakukannya dengan sangat cepat, dan dengan cepat menyesuaikan diri dengan tempat tinggal baru mereka di pulau tersebut, terutama dalam hal memperoleh makanan.

Jejak kehidupan di Gua Makpan 

Riset tersebut, yang melibatkan arkeolog Indonesia dan Australia, melakukan penggalian di gua Makpan yang terletak di pantai barat daya Alor pada pertengahan 2016. 

Para peneliti kemudian mengidentifikasi keberadaan manusia yang menghuni gua Makpan dengan menemukan berbagai perkakas yang terbuat dari batu, cangkang, dan koral, serta sisa-sisa cangkang laut dan bulu babi, yang kemudian besar dipindahkan manusia dari laut ke gua. 

“Kami menggunakan penanggalan radiokarbon dari arang dan cangkang laut yang diawetkan untuk menentukan periode pendudukan manusia di Makpan. Kehadiran kedua bahan tersebut di dalam gua merupakan akibat langsung dari aktivitas manusia, sehingga penanggalannya dapat dikaitkan langsung dengan masa ketika masyarakat masih tinggal di Makpan," tulis para peneliti. 

“Temuan baru ini menunjukkan bahwa Alor diduduki pada waktu yang sama dengan Flores di barat, dan Timor di timur—yang menegaskan posisi Alor sebagai 'batu loncatan' antara dua pulau besar ini.”

Selama 43.000 tahun pendudukan manusia, Makpan menyaksikan serangkaian kenaikan dan penurunan permukaan laut yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh perubahan iklim ekstrem pada Zaman Es terakhir. Perubahan lingkungan tersebut menyebabkan penghuni Gua Makpan menjalani beberapa fase adaptasi terhadap perubahan lingkungan.

Fase hunian awal 

Selama periode 43.000 hingga 14.000 tahun yang lalu, ketika permukaan laut masih rendah, manusia penghuni di gua Makpan menggantungkan hidupnya pada sumber daya di pesisir dan daratan karena lebih mudah diakses. 

Pada masa Pleistosen Akhir (zaman es), rendahnya permukaan laut berarti Pulau Alor masih terhubung dengan Pulau Pantar di sebelah barat. Hal ini menciptakan sebuah pulau besar yang ukurannya hampir dua kali lipatnya.

Kondisi ini menghilangkan Selat Pantar antara Pantar dan Alor. Selat Pantar merupakan jalur arus laut kuat yang menghubungkan laut Flores dan Laut Sawu. Sebaliknya, selat itu digantikan oleh teluk besar yang terlindung.

Turunnya permukaan air laut seiring zaman es terakhir mencapai titik maksimumnya, juga menambah jarak dari lokasi Makpan ke pantai.

Meningkatnya jarak ini kemungkinan besar mendorong masyarakat untuk memperluas pola makan mereka dari fokus pada laut, dengan memasukkan berbagai buah-buahan dan sayur-sayuran di darat, dan mungkin lebih banyak memanfaatkan tikus raksasa, yang merupakan satu-satunya fauna darat dengan ukuran berapa pun yang tersedia di pulau pada waktu tersebut. Skenario ini didukung oleh analisis isotop gigi manusia dari Makpan. 

Fase transisi Pleistosen-awal Holosen 

Masa transisi dari Pleistosen ke awal Holosen ditandai dengan jumlah es yang berkurang sekitar 14.000 tahun yang lalu. Salah satu dampaknya adalah jarak antara Makpan dan garis pantai kembali dekat, yaitu kurang dari satu kilometer. 

“Kami melihat bukti peningkatan penggunaan sumber daya laut dan mencari makan di wilayah teluk yang terlindung, garis pantai berbatu, terumbu karang, dan perairan yang lebih dalam di lepas pantai selatan Alor,” tulis para peneliti. 

Peningkatan akses terhadap berbagai sumber protein laut ini ditunjukkan oleh banyaknya makanan laut yang membentuk timbunan sampah padat antara sekitar 12.000–11.000 tahun yang lalu.

Para peneliti juga menemukan bukti signifikan di sekitar situs gua Makpan, yang mengindikasikan bahwa manusia saat itu memancing ikan. Objek yang ditemukan tidak hanya tulang belulang berbagai jenis ikan dan spesies hiu, tetapi juga kail cangkang berbagai bentuk dan ukuran. 

Di dalamnya juga terdapat barang-barang lain yang diperlukan untuk memancing seperti pemberat, dan kikir karang yang digunakan untuk membuat kail. Kailnya terbuat dari spesies cangkang mutiara (mengkilat)—yang mungkin membantu menarik ikan.

“Meskipun kami tidak menemukan bahan organik yang mudah rusak, keragaman jenis kail yang ditemukan di Makpan menyiratkan penggunaan tali pancing dan jaring, serta kemampuan menangkap ikan di perairan dangkal dan dalam,” tulis para peneliti. 

Fase akhir 

Ketika permukaan air laut terus meningkat pada Holosen Awal-Tengah, Selat Pantar kembali terbuka. Hal ini terlihat dari hilangnya sumber daya teluk yang terlindung dari pola makan Makpan. Pada saat bersamaan ketergantungan pada pangan darat meningkat. 

Hal ini bertepatan dengan penurunan intensitas pendudukan, yang berpuncak pada ditinggalkannya Makpan sekitar 7.000 tahun yang lalu. Para peneliti mengaku tidak tahu alasan Makpan ditinggalkan saat itu. Mereka menduga bahwa kenaikan permukaan laut terakhir tersebut membuat daerah lain di sekitar Pulau Alor menjadi lebih menarik sebagai lokasi pemukiman, sehingga mendorong orang untuk pindah.

Gua Makpan kembali dihuni pada masa Neolitikum (sekitar 3.500 tahun yang lalu), setelah permukaan laut stabil. Pada masa ini terdapat perubahan signifikan dalam teknologi dan gaya hidup—dibuktikan dengan munculnya tembikar dan hewan peliharaan di dalam endapan tersebut. Catatan arkeologi Makpan juga menunjukkan betapa inventif dan adaptifnya manusia modern dalam merespons perubahan iklim global.