LIPUTAN KHUSUS:
Jurnalisme Lingkungan: Liputan Berdampak
Penulis : Harry Surjadi, Jurnalis
Jurnalis lingkungan harus membangun cara berpikir berbeda dengan jurnalis biasanya.
OPINI
Senin, 29 April 2024
Editor : Yosep Suprayogi
PERTENGAHAN Juli 1998, saya dapat kopian dokumen pengajuan izin mengimpor marine clay (lumpur laut), peaty clay (lumpur rawa), dan sandy clay (lumpur berpasir) dari Singapura untuk bahan rehabilitasi mangrove di Teluk Pelambung dan reklamasi Pulau Nipah, Kepulauan Riau (waktu itu Kepulauan Riau masih menjadi bagian dari Provinsi Riau).
PT Madya Kertaraharja (PT MK) dan PT Dwikaryanda Pratama (PT DP), dua perusahaan di bawah Dewan Kelautan Nasional, yang mengajukan perizinan dari Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan), bagian dari Kementerian Lingkungan Hidup. PT MK akan merehabilitasi mangrove di Teluk Pelambung dan PT DP akan mereklamasi Pulau Nipah, pulau terluar di perbatasan dengan Singapura.
Rencana itu agak tidak masuk di akal. Mengapa? Singapura sedang giat-giatnya mereklamasi pulaunya dengan pasir yang diimpor dari Kepulauan Riau dan Pulau Nipah. Singapura juga pernah terkena sanksi karena membuang limbah bahan beracun berbahaya (B3) di perairan Kepulauan Riau.
Tanggal 3 Juli 1998, Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal, Panangian Siregar, mengeluarkan surat rekomendasi untuk mengimpor bahan galian dari Singapura untuk merehabilitasi mangrove di Teluk Pelambung, Tanjung Balai Karimun, Riau.
"Bapedal telah menetapkan impor marine clay, peaty clay, dan sandy clay dari Singapura menjadi prioritas karena penggunaan media kultur rehabilitasi mangrove di Teluk Pelambung, Tanjungbalai Karimun sangat penting," demikian sebagian isi surat rekomendasi yang ditandantangani Panangian Siregar, 3 Juli 1998.
Bagaimana jurnalis lingkungan meliput persoalan lingkungan? Apa definisi jurnalisme lingkungan? Apakah liputan isu lingkungan sama dengan liputan isu lainnya, seperti isu kesehatan, isu sosial, dan kriminal?
Secara sederhana para jurnalis melihat liputan persoalan lingkungan hanya berbeda bahasan saja. Umumnya jurnalis melihat liputan lingkungan adalah liputan sains, pencemaran, dan persoalan banjir atau bencana lainnya. Akibatnya, liputan lingkungan lebih didorong kalau ada peristiwa. Kalau ada banjir, kasus pencemaran pabrik, penebangan hutan, baru ada liputan lingkungan.
Kecelakaan lingkungan - misalnya longsor dan banjir - tidak bisa dilihat sebagai satu peristiwa saja. Ada kondisi lingkungan yang dibiarkan atau diabaikan sehingga terjadi longsor dan banjir.
Bagaimana idealnya meliput rencana impor bahan-bahan rehabilitasi mangrove dari Singapura yang tidak terkait dengan peristiwa?
Jurnalis lingkungan harus membangun cara berpikir berbeda dengan jurnalis biasanya.
Proposal impor bahan rehabilitasi mangrove menunjukkan kegiatan yang bagus: perusahaan pengimpor tidak harus membayar (termasuk membayar biaya transportasi), kalau sudah mangrove direhabilitasi dan lubang-lubang bekas tambang timah Pulau Nipah sudah direklamasi lahannya akan dijadikan resor wisata. Jurnalis yang tidak biasa meliput lingkungan melaporkan kegiatan rehabilitasi mangrove dan reklamasi pulau adalah kegiatan bisnis yang menguntungkan.
Jurnalis lingkungan tidak mengikuti frame yang diberikan oleh perusahaan importir: kegiatan bisnis yang menguntungkan dan baik untuk lingkungan. Merehabilitasi mangrove dan mereklamasi danau-danau bekas tambang timah adalah kegiatan yang baik untuk lingkungan.
Jurnalis yang ingin meliput isu lingkungan harus berpikir lebih kritis. Pikirkan: mengapa Singapura yang sedang mereklamasi pantai memperluas pulaunya malah menggratiskan bahan-bahan untuk rehabilitas mangrove dan reklamasi pulau. Jangan-jangan ada tujuan tidak baik.
Saya mengikuti definisi jurnalisme lingkungan menurut Michael Frome, penulis buku "Green Ink. " Frome menulis, "I define environmental journalism as writing with purpose..." (Saya mendefinisikan jurnalisme lingkungan sebagai tulisan dengan tujuan...). Jurnalis peliput lingkungan harus mempunyai purpose atau tujuan. Proyek impor bahan rehabilitasi mangrove dan reklamasi pulau harus batal.
Purpose itu akan memandu informasi apa yang dibutuhkan dan dipublikasikan sehingga audiens - termasuk pembaca yang punya kepentingan - paham dan mendorong rencana itu batal.
Berangkat dari keanehan - bahan untuk rehabilitasi mangrove dan reklamasi gratis dan Singapura sedang mereklamasi pulaunya - dan kemungkinan ada tujuan negatif lainnya, saya punya daftar informasi atau fakta yang perlu diketahui audiens. Pertanyaan audiens paling utama: mengapa tiga jenis bahan rehabilitasi itu gratis? Jangan-jangan...
Apakah bahan-bahan yang akan diimpor itu termasuk B3? Apakah perusahaan eksportir di Singapura sudah mendapatkan izin dari pemerintahnya? Apakah merehabilitasi mangrove harus mengimpor material lumpurnya dari Singapura? Apa risikonya jika kegiatan itu tetap berlangsung?
Saya mewawancara First Secretary di Kedubes Singapura di Jakarta. Pemerintah Singapura tidak memberi izin mengekspor bahan-bahan itu. Termasuk bahan-bahan tanah galian untuk rehabilitasi Pulau Nipah karena bahan-bahan itu akan digunakan untuk reklamasi Pulau Singapura.
Saya wawancara ahli mangrove yang menyatakan kalau untuk rehabilitasi mangrove tidak perlu mengimpor bahan-bahan. Di Indonesia banyak material untuk rehabilitasi mangrove.
Sementara itu, Gubernur Riau sudah sempat diundang ke Singapura untuk melihat material yang akan diekspor ke Indonesia. Sayangnya masukan ke Gubernur semua baik-baik.
Satu informasi yang belum didapat yaitu apakah betul bahan-bahan yang akan diimpor itu tidak mengandung B3. Akhirnya tim ahli dari Bapedal pergi ke Singapura menginspeksi bahan-bahan yang akan diimpor. Hasilnya? Bahan-bahan mengandung B3.
Beberapa berita di Kompas memberikan informasi kalau aktivitas rehabilitasi mangrove dan reklamasi Pulau Nipah belum ada studi Amdalnya.
Informasi-informasi itu mendorong publik memprotes dan meminta Gubernur Riau menolak impor bahan-bahan untuk rehabilitasi mangrove di Teluk Pelambung dan reklamasi Pulau Nipah.
Masyarakat adat Melayu di Pekanbaru mendemo Kantor Gubernur Riau dan menuntut Gubernur menolak impor bahan buangan itu. Gubernur menyetujui dan menolak rencana impor berbagai bahan-bahan. Sampai hari ini rencana impor marine clay (lumpur laut), peaty clay (lumpur rawa), dan sandy clay (lumpur berpasir) dari Singapura tidak pernah terjadi.
Jurnalisme lingkungan adalah jurnalisme dengan tujuan menghasilkan dampak positif pada lingkungan.