LIPUTAN KHUSUS:

Buruh Energi Fosil Indonesia Butuh Rp38,4 T untuk Transisi Energi


Penulis : Kennial Laia

Indonesia telah menandatangani Deklarasi Silesia 2018 sehingga terikat untuk menyiapkan proses transisi energi yang efektif dan inklusif bagi pekerja energi fosil.

Energi

Rabu, 08 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Transisi energi di Indonesia harus memastikan kesejahteraan buruh di sektor energi fosil. Menurut kajian terbaru dari dua lembaga think tank terkemuka, dibutuhkan Rp38,4 triliun untuk mendanai pekerja terdampak di sektor batu bara. Dana tersebut untuk mempersiapkan mereka berdaptasi dengan era energi terbarukan. 

Menurut kajian dari Institute for Essential Services Reform (IESR) dan New Climate Institute, pendanaan transisi energi seperti Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) harus mempertimbangkan aspek keadilan, termasuk bagi para pekerja. 

Manajer Program Ekonomi Hijau IESR Wira A. Swadana mengatakan,  pemerintah harus menerapkan aspek keadilan tersebut dalam membangun resiliensi sosial dan ekonomi masyarakat selama transisi energi. “Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam transisi energi adalah bagaimana membangun resiliensi masyarakat di tingkat lokal,” kata Wira, Selasa, 7 Mei 2024. 

“Contohnya, di sektor tambang batubara, transformasi ekonomi yang lebih inklusif diperlukan untuk mengatasi ketimpangan dan meningkatkan kualitas kesehatan, pembangunan infrastruktur serta sumber daya manusia di komunitas sekitarnya,” ujarnya. 

Seorang buruh berjalan melewati kawasan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), Halmahera Tengah, Maluku Utara, Agustus 2023. Dok. Kennial Laia/Betahita

Analisis IESR dan New Climate Institute terhadap pembiayaan JETP Indonesia menunjukkan, jenis pembiayaan yang bersifat hibah dan pinjaman lunak diperlukan untuk agenda transisi energi. Hibah dapat menjadi insentif dalam aktivitas pengakhiran operasional PLTU batu bara, kompensasi, dan pelatihan bagi pekerja yang terdampak di sektor batubara. 

Namun porsinya dalam JETP kecil.  Dari total pembiayaan sebesar USD 21,6 miliar, hanya 1,4 persen atau USD 295,4 juta dialokasikan untuk hibah. 

Sementara itu pembiayaan lunak sebesar USD 6,9 miliar dalam JETP dapat digunakan untuk kompensasi potensi kerugian yang timbul dari pengakhiran operasional PLTU batubara dan pembangunan infrastruktur energi terbarukan. Alokasi dana ini juga dapat menjadi insentif bagi pengembang energi terbarukan untuk mendukung transisi pekerja sektor batubara ke energi terbarukan. 

Wira mengatakan bahwa Indonesia telah menandatangani Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia pada 2018, sehingga terikat untuk menyiapkan dan memastikan proses transisi energi yang efektif dan inklusif bagi pekerja.

Di sisi lain, perencanaan awal dan mobilisasi kapasitas pendanaan dan institusi juga diperlukan untuk mempersiapkan pekerjaan baru dan memberdayakan para pekerja terdampak di sektor batu bara. 

Menurut Koordinator Pembiayaan Berkelanjutan IESR, Farah Vianda, paket dukungan kepada pekerja terdampak, yang mencapai USD 2,4 miliar atau sekitar Rp38,4 triliun tersebut merupakan bentuk kompensasi dan pelatihan bagi mereka.  

“Pemerintah perlu membentuk tim khusus untuk membuat isu transisi berkeadilan ini menjadi prioritas,” kata Farah. 

“Selain itu diperlukan peningkatan kapasitas pemerintahan dalam perencanaan, pembuatan kebijakan serta sistem tata kelola dan perlindungan lingkungan.” 

Manfaat kesehatan dari JETP 

Manfaat dari pengakhiran operasional PLTU batu bara adalah menghindari biaya kesehatan. Berdasarkan skenario yang sejalan dengan target JETP, pengakhiran operasional PLTU batubara akan mampu mengamankan USD 150 miliar atau sekitar Rp2.400 triliun pada 2050. 

Sementara itu, dengan skenario yang sejalan dengan Persetujuan Paris atau pembatasan suhu bumi 1,5 derajat Celcius, biaya kesehatan yang dapat dihindari dari pengakhiran operasional PLTU sekitar USD 230 miliar atau sekitar Rp3.680 triliun pada pertengahan abad ini.

Menurut Analis Kebijakan Iklim New Climate Institute, Reena Skribbe, keberhasilan transisi energi di Indonesia bergantung pada integrasi politik dan kelembagaan ke dalam proses perencanaan menyeluruh. Skribbe mengatakan, aspek paling penting adalah pengarusutamaan keadilan di semua level pemerintahan.

Tidak hanya itu, pengakhiran operasional PLTU akan mengurangi tingkat polusi hingga 12% berdasarkan skenario sesuai target JETP, dan 18% berdasarkan skenario Perjanjian Paris, dari PDB tahunan Indonesia saat ini. Bahkan saat ini, masih terdapat 48 GW PLTU yang masih beroperasi dan 20 GW lainnya yang masih dalam rencana.

“Berdasarkan data tersebut, maka dengan pengurangan pembakaran batu bara setiap megawatt hour (MWh) akan memberikan manfaat ekonomi sekitar USD 30 atau sekitar Rp488 ribu,” kata Skribbe. 

“Jika dibandingkan dengan pendanaan JETP sebesar USD 22 miliar, maka biaya yang dapat dihindari dari pengurangan polusi udara besarnya berkali lipat,”  ujar Skribbe.