LIPUTAN KHUSUS:
Koalisi Masyarakat Sipil Soroti 3 Poin Draft RUU Konservasi
Penulis : Gilang Helindro
Tim Koalisi Masyarakat Sipil menggarisbawahi soal pembagian kewenangan, kategorisasi satwa, dan pengenaan sanksi.
Konservasi
Kamis, 16 Mei 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti sejumlah aspek dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Di antara yang disorot adalah soal Pembagian Kewenangan, Kategorisasi Satwa, dan Pengenaan Sanksi. Soalnya, implementasinya di lapangan dikhawatirkan masuk ke dalam policy trap.
Sebelumnya, Panitia Khusus Komisi IV DPR RI telah mengadakan serangkaian rapat bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk membahas substansi RUU Konservasi. Sejumlah poin penting kemudian disepakati dalam formulasi pengelolaan.
Dalam dokumen per 19 Maret 2024 yang diterima Tim Koalisi Masyarakat Sipil, beberapa poin menjadi sorotan seperti Pembagian Kewenangan, Kategorisasi Satwa, dan Pengenaan Sanksi.
Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) dalam keterangan resminya menyebut, RUU KSDAHE masih menyisakan beberapa celah. Di antaranya, DPR RI dan pemerintah belum menentukan aspek penting dalam areal preservasi, yakni mekanisme dan tata cara penerapannya. Padahal penetapan areal preservasi sarat kepentingan. “Sekitar 18,5 persen persen atau seluas 14,2 juta hektar ekosistem penting di luar kawasan konservasi termasuk gambut, mangrove, karst, areal bernilai konservasi tinggi, taman keanekaragaman hayati, dan koridor satwa yang berada di dalam konsesi perusahaan (PBPH-HA, PBPH-HT, Kebun dan Tambang),” kata Anggi dikutip Selasa, 14 Mei 2024.
Data FWI menyebut 90 persen kerusakan sumber daya alam berupa ekosistem hutan alam terjadi di luar kawasan konservasi, yakni kawasan hutan dengan fungsi produksi, lindung, dan pada APL. Areal preservasi harus dimaknai sebagai areal yang ditingkatkan status perlindungannya.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai regulasi untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam beserta ekosistemnya yang berada di luar kawasan konservasi tidak dimaknai sebagai pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab perlindungan sumber daya alam kepada Pemerintah Daerah semata.
Keterbatasan untuk mengatasi permasalahan terkait areal preservasi di Kawasan Hutan Produksi (HP), Hutan Lindung (HL), dan Areal Penggunaan Lain (APL) adalah kekuatan (power) dan kewenangan yang dimiliki Pemerintah Daerah. Di mana, pembagian kewenangannya saat ini mengikuti aturan pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Implementasinya saat ini tidak cukup memperkuat peran Pemda. Contohnya dalam pengaturan kepatuhan kinerja perusahaan kehutanan, tambang, dan perkebunan dalam pengelolaan sumber daya hutan di dalam konsesi,” ungkap Anggi.
Muhammad Satria Putra, perwakilan Garda Animalia menyoroti kemunduran dalam upaya penegakan hukum pada dokumen Kesepakatan Rumusan RUU KSDAHE per tanggal 19 Maret 2024.
Menurut Satria, pengawetan terhadap jenis tumbuhan dan satwa masih tetap menggunakan nomenklatur dilindungi dan tidak dilindungi. Padahal tidak semua tumbuhan dan satwa memiliki valuasi yang serupa serta memiliki tingkat ancaman kepunahan yang berbeda-beda.
Pasalnya dalam draf RUU inisiatif DPR RI per 7 Juli 2022, kata Satria, usulan mengenai ketentuan pengawetan jenis tumbuhan dan satwa menggunakan pengkategorian berdasarkan tingkatan status perlindungan atau seperti halnya keberlakuan di perjanjian internasional.
“Dengan menggunakan pengkategorian berdasarkan tingkatan status perlindungan justru memudahkan aparat penegak hukum untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berkeadilan,” kata Satria.
Selanjutnya pada bagian pengenaan sanksi dalam bab ketentuan pidana, ancaman pidana bagi orang perseorangan DPR RI harus tetap berpegang teguh pada sanksi kumulatif dengan pengaturan pidana minimal. Tindak pidana di bidang konservasi merupakan kejahatan serius (serious crime) sehingga keberadaannya tak hanya untuk mencapai tujuan pemidanaan, tetapi juga dapat memberikan efek jera bagi para pelaku.