LIPUTAN KHUSUS:

Petani Jawa ini Menyesal Telah Menanam Sawit


Penulis : Gilang Helindro

Hasil dari sawit di Jawa berbeda dengan yang diangan-angankan.

Sawit

Senin, 27 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Sawit di Pulau Jawa bukan komoditas unggulan, namun komoditas ini memiliki daya tarik yang kuat bagi petani di wilayah ini. Penyebabnya adalah kisah pengembangan komoditas tersebut di Sumatra dan Kalimantan. Faktanya, sawit di Pulau Jawa memunculkan masalah seperti konflik lahan, kerusakan lingkungan, hingga adanya pembayaran yang tertunda berbulan-bulan.

Sunari Tomo, perwakilan kelompok tani di Desa Tumpakrejo, Kabupaten Malang dalam peluncuran buku Gula-gula Sawit di Pulau Jawa, mengaku pada 2015 tergiur oleh sawit karena hanya dengan sekali tanam, petani bisa menikmati panen dengan perawatan rutin. “Maksudnya ketika sudah menanam satu kali, tinggal panen. Berbeda dengan palawija yang panen sekali 6 bulan,” ungkap Tomo dikutip, Selasa, 21 Mei 2024.

Tapi, ujarnya, hasil dari sawit berbeda dengan yang diangan-angankan. Tomo bilang, bertanam sawit tidak dapat untung. Dulu ia hanya mendapat bantuan pupuk dan bibit sawit, lalu belakangan tidak dapat pupuk lagi. “Kami (petani Tumpakrejo) pun sepakat kembali ke palawija, karena pupuk untuk sawit sangat langka, hasil panen pun kadang pembayaran dirapel,” katanya. "Pada 2020 kami akhirnya tidak aktif lagi jadi petani sawit."

Kini, mayoritas petani di Desa Tumpakrejo menanam tebu. Penghasilannya lebih teratur dibandingkan sawit. Hasil panennya pun dibeli pabrik gula yang memang sudah sejak zaman Belanda ada di Kabupaten Malang. Tomo sendiri sekarang sudah kembali menjadi petani palawija, padi, kelapa hibrida, dan tebu. 

Ilustrasi seorang petani sawit memanggul tandan buah segar. Foto: WRI Indonesia.

Muhammad Nurwibowo, perwakilan petani dari Kabupaten Subang dalam acara yang sama, mengatakan sawit membuat petani Subang Selatan yang bertani di lahan eks-HGU PTPN VIII khawatir. Soalnya, di tempatnya ada perubahan dari perkebunan teh ke kebun sawit. padahal, Subang Selatan merupakan daerah resapan air dan sumber air di Jawa Barat. Masuknya sawit,  kata Bowo, dikhawatirkan mengancam cadangan air di Kabupaten Subang, Jawa Barat. “Masyarakat menakuti kekurangan dan ketersediaan air untuk kebutuhan sehari-hari,” ungkap Bowo.

Bowo mengaku tak tahu siapa yang memberi izin penanaman sawit di di eks-HGU PTPN VIII. “Padahal sebelumnya perkebunan teh,” kata Bowo.  "Memang tidak ada harapan sawit di Kabupaten Subang ini, malah kami khawatir kekurangan air," kata dia.

Mencermati masalah di lahan eks-HGU PTPN VIII ini, Sawit Watch merekomendasikan lahan tersebut untuk masuk dalam tanah objek reforma agraria (TORA) dan dimanfaatkan sebagai lahan penghasil pangan.

I Gusti Ketut Astawa, Deputi 1 Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan, Badan Pangan Nasional mengatakan, sawit bukan komoditas utama yang ingin didorong dikembangkan di Pulau Jawa, karena suplai sawit di Indonesia sudah mencukupi, bahkan dapat diekspor. Adapun Pulau Jawa merupakan, “Sentra pangan nasional," kata Astawa, dalam peluncuran buku tersebut.

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, maraknya konversi lahan menjadi lahan sawit di Pulau Jawa merupakan hal baru. “Sebaiknya di Jawa dikembangkan komoditas pangan dan kawasan hutan diberikan izin perhutanan sosial, serta memberlakukan agroforestry. Berlakukan TORA untuk eks HGU yang sudah tak terpakai," ujarnya.

Menurut kajian Sawit Watch, berdasarkan kerangka kebijakan Nasional, pengembangan Pulau Jawa berfokus pada tebu, kopi, kakao, dan kelapa. Adapun pengembangan sawit tidak direncanakan di Pulau Jawa.

Menurut data Sawit Watch, perkebunan sawit terluas di Pulau Jawa saat ini berada di Provinsi Banten, yaitu seluas 18.999 hektare, di Jawa Barat seluas 15.675 hektare, dan di Jawa Timur seluas 348,52 hektare. Jika di total, seluruhnya ada sekitar 35.022 hektare kebun sawit di pulau Jawa.

Sawit dianggap sebagai komoditas strategis nasional. Namun, peran sawit sebagai komoditas strategis daerah khususnya di Pulau Jawa perlu dikaji ulang secara mendalam. "Perlu pemisahan wilayah untuk pangan dan perkebunan untuk melindungi lahan pangan. Serta penting membuat kebijakan daerah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di level daerah untuk menjaga sumber pangan dari ancamanan alih fungsi," ujar Rambo.