LIPUTAN KHUSUS:

Perubahan Iklim Sebabkan Panas Ekstrem 26 Hari dalam Setahun


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia meningkatkan suhu panas ekstrem yang berbahaya bagi miliaran orang, dan membuat kejadian panas menjadi lebih lama dan lebih sering terjadi.

Iklim

Sabtu, 01 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Dunia mengalami rata-rata 26 hari lebih panas yang ekstrem selama 12 bulan terakhir yang mungkin tidak akan terjadi tanpa adanya perubahan iklim. Demikian menurut sebuah laporan yang diterbitkan pada 28 Mei 2024, oleh para ilmuwan dari World Weather Attribution initiative, Red Cross Red Crescent Climate Centre, dan Climate Central.

Laporan yang diterbitkan menjelang Hari Aksi Panas (Heat Action Day), yang jatuh pada 2 Juni 2024, itu merupakan penilaian pengaruh perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia terhadap gelombang panas yang berbahaya selama 12 bulan terakhir (15 Mei 2023 hingga 15 Mei 2024). Periode analisis mencakup tahun terpanas yang pernah tercatat di Bumi (2023) dan 11 bulan berturut-turut dengan suhu global yang memecahkan rekor (Juni 2023-April 2024).

Laporan tersebut menunjukkan, perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia meningkatkan suhu panas ekstrem yang berbahaya bagi miliaran orang, dan membuat kejadian panas menjadi lebih lama dan lebih sering terjadi.

Selama periode 12 bulan, 6,3 miliar orang--sekitar 78% dari populasi global--mengalami setidaknya 31 hari panas ekstrem--lebih panas dari 90% suhu yang diamati di daerah mereka selama periode 1991-2020--yang setidaknya dua kali lebih mungkin terjadi karena perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

Ilustrasi suhu panas. Foto: Shutterstock

Selama 12 bulan terakhir, perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia telah menambah rata-rata 26 hari panas ekstrem (rata-rata, di semua tempat di dunia) dibandingkan dengan yang akan terjadi tanpa adanya planet yang menghangat. Laporan ini juga menunjukkan peran penting pelacakan dan pelaporan dampak dalam penilaian panas ekstrem, dan menawarkan solusi yang dapat ditindaklanjuti untuk risiko panas.

Dengan menggunakan kriteria Atribusi Cuaca Dunia, penelitian ini mengidentifikasi 76 gelombang panas ekstrem yang menjangkau 90 negara yang berbeda. Kejadian-kejadian ini menempatkan miliaran orang dalam risiko, termasuk di wilayah padat penduduk di Asia Selatan dan Timur, Sahel, dan Amerika Selatan.

Para peneliti secara khusus memperkirakan pengaruh perubahan iklim terhadap masing-masing dari 76 kejadian panas ekstrem yang dipicu oleh kriteria World Weather Attribution (WWA). Untuk melakukannya, para peneliti menghitung probability ratio (PR) dari tiap kejadian dengan menggunakan sistem Indeks Pergeseran Iklim. PR tersebut menunjukkan peningkatan kemungkinan terjadinya suatu kejadian akibat dari perubahan iklim.

"Kejadian dengan PR tertinggi terjadi di Oseania: Kepulauan Marshall dan Mikronesia mengalami kejadian pada 7-12 Maret 2024 dengan PR 35. Dua gelombang panas yang melanda Indonesia dan Filipina memiliki PR tertinggi kedua dan ketiga. Kejadian pertama (26-31 Oktober 2023) memiliki PR 25 dan kejadian yang kedua (2-17 April 2024) memiliki PR 29.

Laporan ini menyimpulkan, mengurangi polusi yang memerangkap panas dengan cepat merupakan tindakan yang paling berdampak dan tahan lama untuk memperlambat laju pemanasan dan mulai mengurangi panas yang berisiko. Dalam jangka pendek, inisiatif seperti Heat Action Day dapat membantu meningkatkan kesadaran dan menjaga orang-orang tetap aman selama peristiwa panas yang lebih panas, lebih lama, dan lebih mungkin terjadi.

Awal Mei 2024 lalu, dalam sebuah rilis, Deputi Bidang Meteorologi, Guswanto mengatakan, fenomena gelombang panas yang terjadi di sebagian wilayah Asia tidak terkait dengan kondisi suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia. Karena fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia belakangan merupakan fenomena yang bersiklus terjadi setiap tahun sebagai akibat dari adanya gerak semu matahari dan kondisi cuaca cerah pada siang hari.

Lebih lanjut, Guswanto menjelaskan, istilah gelombang panas menurut World Meteorological Organization (WMO) merupakan fenomena kondisi udara panas yang berkepanjangan selama 5 hari atau lebih secara berturut-turut, dengan suhu maksimum harian lebih tinggi dari suhu maksimum rata-rata hingga 5°C atau lebih. Fenomena gelombang panas ini umumnya terjadi di wilayah lintang menengah-tinggi seperti wilayah Eropa, Amerika, dan sebagian wilayah Asia.

Secara meteorologis, hal tersebut dapat terjadi karena adanya udara panas yang terperangkap di suatu wilayah dekat permukaan akibat anomali dinamika atmosfer, sehingga aliran udara tidak bergerak dalam skala yang luas, misalnya pada sistem tekanan tinggi skala luas dalam periode cukup lama. Kondisi atmosfer tersebut sulit terjadi di wilayah Indonesia yang berada di wilayah ekuator.

Berdasarkan data BMKG, kondisi suhu panas di wilayah Indonesia dengan nilai di atas 36°C tercatat pada beberapa wilayah, seperti di Deli Serdang (Sumatera Utara) 37,1 °C, Medan (Sumatera Utara) 36,6 °C, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) 36,6 °C, Sidoarjo (Jawa Timur) 36,6 °C dan Bengkulu sebesar 36,6 °C.