LIPUTAN KHUSUS:

184 Desa di Provinsi Bengkulu Terancam Tenggelam pada 2050


Penulis : Aryo Bhawono

Seluruh desa itu terdampak abrasi, intrusi air laut, dan hilangnya daratan.

Iklim

Jumat, 07 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Krisis iklim membawa ancaman tenggelamnya 184 desa di pesisir Bengkulu pada 2050.  Seluruh desa itu terdampak abrasi, intrusi air laut, dan hilangnya daratan.

Manager Sekolah Energi Bersih Kanopi Hijau Indonesia, Hosani menyatakan 184 desa dan kelurahan yang akan tenggelam tersebut tersebar di sepanjang 525 kilometer garis pantai di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma, Bengkulu Selatan, dan Kaur.

“Bencana pada tahun 2050 tersebut akan menjadi kenyataan, karena diperkirakan suhu rata-rata bumi akan mencapai 2 derajat celcius. Kutub akan mencair sehingga sekitar 70 persen daerah pesisir pantai di seluruh dunia akan mengalami kenaikan permukaan air  lebih dari 20 cm.” ungkap Manager Hosani pada aksi Hari Lingkungan Hidup 2024, di Simpang Lima Ratu Samban Kota Bengkulu, Rabu (5/62024).

Objek wisata andalan Kota Bengkulu yakni Pantai Panjang, Benteng Marlborough, dan kawasan perbelanjaan di pesisir pantai pun diperkiraan juga akan tenggelam.

Aksi Hari Lingkungan Hidup 2024, di Simpang Lima Ratu Samban Kota Bengkulu, Rabu (5/62024). Foto: Walhi Bengkulu

Menurutnya ancaman abrasi, intrusi air laut dan kehilangan daratan adalah hal yang perlu diantisipasi. Transisi energi yang sekarang sedang dilaksanakan oleh negara justru mengarah kepada kerusakan wilayah baru dan penuh dengan solusi palsu.

Pada aksi ‘Aksi Lingkungan Hidup Sedunia - Bengkulu 2050. Jangan Diam!’ menyampaikan sikap kritis dalam bentuk teatrikal, orasi dan pembacaan puisi. Mereka didominasi oleh pelajar Bengkulu yang tergabung dalam Sekolah Energi Bersih. Para pelajar diajak dalam aksi agar mereka menyadari bahwa planet bumi adalah rumah satu-satunya yang harus dipertahankan dan diperjuangkan untuk keberlangsungan hidup generasi di masa depan.  

Pelajar SMAN 1 Kota Bengkulu, Michelia Bano Safitri mengatakan kondisi saat ini seharusnya membuat semua pihak sadar dan bergerak cepat melawan krisis iklim penyebab abrasi. Terutama mengurangi penggunaan energi kotor batubara sebagai biang krisis iklim.

“Kita harus peduli, jika tidak maka 10 - 15 tahun ke depan daratan, sekolah, bahkan rumah kita hilang ditelan air laut. Dimasa itu juga kita pelajar sedang produktif sementara bumi kita rusak, maka dapat dipastikan kita akan semakin lebih sengsara dari hari ini,” ucap Michelia.

Pada aksi ini, mereka menuntut Presiden Joko Widodo tidak bermain-main dengan program transisi energi yang sekarang sedang berjalan dengan menutup 171 PLTU batubara di Indonesia, termasuk  33 unit PLTU batubara di Pulau Sumatera berkapasitas 3.566 Megawatt (MW).

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga harus menghentikan eksploitasi Pesisir Pantai Bengkulu untuk kepentingan investasi semata.

Sedangkan, Gubernur Bengkulu harus bekerja memastikan desa - desa di kawasan pesisir di provinsi Bengkulu selamat dari ancaman.

Saat ini pembakaran batubara di PLTU merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca yang menyebabkan krisis iklim. Endcoal.Org mencatat sejak 2006 – 2020 setidaknya ada 171 PLTU batubara yang beroperasi di Indonesia dengan total kapasitas 32.373 megawat. Pembangkit ini ikut menyumbang CO2 yang dihasilkan oleh seluruh PLTU di dunia mencapai 258.394 juta ton untuk rata-rata emisi tahunan sekitar 6.463 juta ton.

Perjanjian Paris pada tahun 2015 bahwa pemerintahan dunia berkomitmen menjaga suhu bumi dibawah 1,5 derajat celcius pada tahun 2030, maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan memangkas emisi global sebesar 70 persen dari emisi saat ini, termasuk dari sektor energi, salah satunya penggunaan energi fosil batubara.