LIPUTAN KHUSUS:

Umat Vs Ormas Agama di IUP Tambang


Penulis : Aryo Bhawono

Banyak umat dan jemaat di lingkar tambang bertahun-tahun menolak tambang demi ruang hidup.

SOROT

Senin, 10 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Izin usaha pertambangan untuk ormas keagamaan meresahkan umat dan jemaat di lingkar tambang. Sebuah ironi jika ormas keagamaan tempat mereka bernaung menerima izin ini, sedangkan mereka bertahun-tahun menolak tambang demi ruang hidup.  

Sudah lebih dari 10 tahun, Rohmadi (bukan nama sebenarnya), warga Desa Sumber Sari, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, melawan tambang batu bara di kampungnya, tak hanya yang legal tapi juga yang ilegal. Kini ormas keagamaan tempat ia menjalani kehidupan beragama justru menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang. Ia merasai ironi.

Warga Nahdliyin ini datang ke desa itu sejak 1992 dan bercocok tanam. Namun pada 2011,  PT Borneo Mitra Sejati mengklaim memiliki konsesi di atas lahan warga. Mereka menolak meski perusahaan sudah datang bersama alat berat. 

Penolakan warga berhasil namun perjuangan untuk merebut tanah dari tambang bukan perkara sepele. 

Corat-coret di tembok soal izin tambang untuk ormas keagamaan. Sumber: X/ @BudhyNurgianto

“Perlawanan ini tidak mudah, karena tambang ini mempengaruhi sebagian penduduk sehingga menyebabkan perpecahan. Selain itu mereka juga mengerahkan preman untuk menakut-nakuti warga,” ucap dia melalui telepon pada Jumat (7/6/2024). 

Alhasil desa yang tadinya rukun pun terbelah antara yang pro dengan yang menolak tambang. Sampai-sampai jika ada salah satu pihak ada yang meninggal, pihak yang lain takkan pergi melayat.

“Saya juga pernah tetangga sendiri meninggal dan mau melayat tetapi karena ada masalah ini saya urung melayat,” katanya. 

Tak hanya hubungan sosial saja, lahan warga pun jadi korban, dulu ketika tambang legal tengah gencar-gencarnya mau aktivitas, mereka merusak kebun warga. Hingga warga pun menuntut ganti rugi. 

Menurut dia keberhasilan menolak operasi tambang pun tak serta merta membuat hidup jadi nyaman. Ancaman tambang terus berlanjut. Pada 2019 tambang ilegal marak, termasuk di dekat desanya yang tadinya berada di konsesi PT BMS. Penolakan dan perlawanan kembali dilakukan. 

Penambang ilegal tak hanya merusak tanaman untuk jalan hauling melainkan juga merusak sumber air. 

“Jadi ada tempat waduk. Itu airnya tercemar tambang, sampai ikan pada mati semua,” ucapnya. 

Bahkan ketika memberi informasi mengenai keberadaan tambang ilegal, aparat tak segera bertindak. Ia justru didatangi aparat berbaju coklat ataupun loreng, kadang berpakaian preman, dan diminta diam.  

Tapi Rohmadi tak takut. Ia terus lantang bersuara dan mendapat pendampingan dari beberapa LSM, termasuk Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Hingga keberadaan tambang ilegal menjadi pusat perhatian dan ditutup. 

Ketika mendengar kabar ormas keagamaan dapat mengelola tambang melalui badan usaha, ia mengaku tak habis pikir. Pengalamannya menunjukkan konflik, kesewenang-wenangan, dan derita mewarnai kawasan lingkar tambang. 

Ia khawatir konflik di area tambang yang dikelola ormas keagamaan melalui badan usahanya bakal makin meruncing. Apalagi jika sudah ada embel-embel ormas keagamaan. 

“Ditambah lagi nanti jika ormas yang lain juga diberi kesempatan, saya tidak bisa bayangkan kondisinya di tapak akan seperti apa,” ucap dia.    

Rohmadi hanya berpikir, tak seharusnya ormas keagamaan main-main tambang. Justru mereka seharusnya memperjuangkan hak masyarakat, apalagi yang menjadi warga atau jemaat ormas keagamaan itu.

Bukit di pinggir Teluk Binebas, sangihe, dikupas hingga menyisakan sedimentasi setinggi dua meter di

Lain cerita dengan Rohmadi, warga Pulau Sangihe di Sulawesi Utara, Jull Takaliuang, justru mendapat sokongan uuntuk menolak tambang dari ormas keagamaan tempatnya bernaung, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).

Jull merupakan jemaat Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST),  salah satu gereja beraliran Protestan di Indonesia yang bermula di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Gereja ini turut bernaung dalam PGI. 

Sangihe, tempat tinggal Jull merupakan pulau kecil dengan luas 737 kilometer persegi. Seharusnya pulau itu tak boleh ditambang karena ukurannya. Namun PT Tambang Mas Sangihe (TMS) datang hendak mengeruk emas. 

Penolakan dan perlawanan pun mereka lakukan. Salah satunya adalah upaya hukum menggugat kontrak karya PT TMS ke PTUN Jakarta karena bertentangan dengan  pasal 169 UU No. 4 tahun 2009 Jo. UU No. 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Alhasil Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan SK No 13.K/MB.04/DJB.M/2023 tentang Pencabutan Keputusan Menteri ESDM No 163.K /MB.04/DJB/2021, tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Operasi Produksi Kontrak Karya PT. TMS, pada Jumat, 8 September 2023.

Jull mengaku, penolakan ini turut dibantu oleh ormas keagamaan. Ormas keagamaan memahami, tambang merusak dan hanya menguntungkan segelintir orang. Sedangkan penduduk sekitar, seperti Jull, justru terancam ruang hidupnya. 

Seperti Rohmadi, Jull berpendapat bahwa ormas keagamaan seharusnya menaungi warga. Jika mereka ikut main tambang maka rentan benturan di masyarakat. 

“Kebijakan pemerintah untuk memberi ormas keagamaan izin tambang membenturkan dengan masyarakat korban tambang, ormas justru akan melakukan penindasan dan menjadi pelaku perusakan lingkungan,” kata dia. 

Sebelumnya pemerintah mengeluarkan dua peraturan untuk memberi kesempatan ormas keagamaan untuk bermain tambang batu bara. Dua peraturan tersebut adalah Perpres No 70 Tahun 2023 Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi dan PP No 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan. 

Yang Menerima, yang Menolak

Ormas keagamaan punya tanggapan berbeda atas kesempatan ini. NU dikabarkan menerima peluang bermain tambang ini, Muhammadiyah mengaku berhati-hati jika tawaran itu sampai ke mereka, PGI dan KWI menolak tawaran ini.

Di antara yang menolak itu adalah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), seperti disampaikan dalam rilis yang diterima Redaksi kemarin. HKBP menyebutkan mereka punya tanggung jawab lingkungan lebih besar daripada ikut ikutan menambang. 

Keputusan HKBP untuk menolak tawaran pemerintah bagi ormas keagamaan untuk mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dilakukan berdasarkan Konfesi HKBP tahun 1996. Pada konfesi itu HKBP ikut bertanggung jawab menjaga lingkungan hidup yang telah dieksploitasi umat manusia untuk atas nama pembangunan.

Eksploitasi ini telah terbukti menjadi salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan hingga pemanasan bumi yang tak lagi terbendung. Hal ini harus diatasi dengan beralih secepat mungkin kepada pendekatan penggunaan teknologi ramah lingkungan, green energi seperti solar energi, energi bayu. 

“Bersama ini kami dengan segala kerendahan hati menyatakan bahwa HKBP tidak akan melibatkan dirinya sebagai Gereja untuk bertambang. Kami sekaligus menyerukan agar di negeri kita pemerintah bertindak tegas terhadap para penambang yang dalam pelaksanaan tugasnya tidak tunduk pada undang-undang yang telah mengaturkan pertambangan yang ramah lingkungan,” tulis rilis pers yang ditandatangani oleh Ephorus HKBP, Pendeta Robinson Butarbutar.  

Mereka menyebutkan selama ini HKBP menentang setiap kegiatan yang merusak lingkungan, seperti membakar dan menebang pohon di hutan atau hutan belantara. Mereka juga menentang setiap usaha yang mencemari air dan udara, juga air limbah yang mengandung racun dari pabrik-pabrik, karena tidak mempedulikan saluran air limbah dan pencemaran udara, hingga merusak air minum dan pernafasan manusia. 

Sebelumnya, pemerintah menyerahkan WIUPK kepada Ormas Keagamaan. Kebijakan ini dilakukan melalui Perpres No 70 Tahun 2023 Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi dan PP No 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan. 

Enam WIUPK yang disiapkan pemerintah merupakan lokasi tambang yang pernah berproduksi bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) generasi pertama. Keenam WIUPK tersebut yakni lahan eks PKP2B PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MAU), dan PT Kideco Jaya Agung.

Sebelumnya beberapa ormas keagamaan punya tanggapan berbeda, NU menerima peluang bermain tambang ini, Muhammadiyah mengaku berhati-hati jika tawaran itu sampai ke mereka, PGI dan KWI menolak tawaran ini.