LIPUTAN KHUSUS:
Walhi Sumut Pertanyakan Penanganan Pencemaran Aspal Nias
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Menurut Walhi Sumut, hingga saat ini laut Nias Utara masih tercemar. Sebab upaya pembersihan pencemaran aspal cair belum selesai dilakukan. Bahkan bangkai kapal masih belum terangkat.
Polusi
Selasa, 11 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Lebih dari setahun sudah Kapal Tanker MT AASHI kandas dan menumpahkan muatan aspal cair ke lautan sekitar Pulau Nias, Sumatera Utara (Sumut), namun penanganan cemaran aspal di perairan laut itu masih belum tuntas. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut menganggap pemerintah cenderung abai terhadap persoalan tersebut.
Direktur Walhi Sumut, Rianda Purba, mengatakan hingga saat ini laut Nias Utara masih tercemar. Sebab upaya pembersihan tumpahan aspal cair tersebut belum selesai dilakukan. Bahkan bangkai kapal masih belum terangkat, dan dampak tumpahan aspal tersebut masih dirasakan oleh para nelayan.
"Belum diketahui proses clean up yang dilakukan oleh KKP berhenti kapan, namun yang pasti, upaya yang mereka lakukan cenderung niat tak niat. Hanya ada 20 orang per hari dengan 4-7 perahu nelayan yang membersihkan cemaran laut dengan luasan sebaran yang teramat luas. Mustahil," kata Rian, Minggu (9/6/2024).
Memasuki pertengahan 2024, kata Rian, belum ada informasi lebih lanjut terkait penanganan kasus ini. Ganti rugi nilai ekosistem laut Nias Utara, dan ganti rugi nilai sosial-ekonomi bagi masyarakat terdampak juga belum diberikan.
"Lantas, apa fungsi KKP melakukan perhitungan nilai kerugian? Biar kelihatan kerja saja. Juga, apa fungsi Kemenko Marves melakukan koordinasi lintas lembaga, serta mempublikasikan kegiatan mereka? Untuk menarik eksistensi saja?" ujar Rian.
"Pemerintah padahal sudah berkoordinasi dengan pemilik kapal. Memang tidak niat saja menindaklanjuti permasalahan ini. Tepatnya tidak berempati terhadap masyarakat terdampak," imbuhnya.
Rian mengatakan, sejak kandas, kapal MT ASSHI yang bermuatan aspal cair sekitar 3.600 metrik ton itu terus mengeluarkan aspal yang selanjutnya mencemari perairan Nias dan merusak terumbu karang, hutan mangrove, dan pesisir pantai. Dampak pencemaran aspal itu tampak pada area ekosistem mangrove, yang mana tanaman mangrove yang terkena aspal mengalami stres dan gosong daun.
Tak hanya ekosistem mangrove, Rian melanjutkan, para nelayan juga mengalami kerugian sosial dan ekonomi yang signifikan. Hasil tangkapan ikan menurun drastis, nelayan harus melaut lebih jauh, dan biaya bahan bakar lebih tinggi.
"Nelayan dan kelompok konservasi laut menyatakan bahwa kasus ini memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, terutama pemerintah pusat, untuk menangani dampak yang semakin meluas. Perlu adanya fokus untuk segera mengevakuasi kapal dari laut," ucap Rian.
Walhi Sumut, imbuh Rian, menuntut perusahaan dan pemerintah segera evakuasi kapal, melakukan clean up terintegrasi, melakukan pemulihan ekosistem laut dan membayar ganti rugi ekonomi terhadap nelayan terdampak. Pemerintah dan perusahaan harus segera merealisasikan pembayaran ganti rugi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup maupun kerugian masyarakat.
"Berkaca pada penanganan kasus MT AASHI, seluruh pemerintah daerah di Indonesia, harus membentuk dan memastikan kesiapsiagaan tim daerah penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak," tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada 11 Februari 2023, kapal tanker MT AASHI, berbendera Gabon, yang membawa 3.600 metrik ton aspal cair kandas di laut Nias Utara, tepatnya di kawasan perairan Desa Humene Siheneasi, Kecamatan Tulaga Oyo, Nias Utara, Sumatra Utara. Lambung kapal yang pecah memuntahkan aspal cair yang kemudian mencemari perairan sekitar. Tumpahan aspal menyebar hingga radius 50 km dari titik kebocoran, hingga Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Nias Utara.
Kapal Tangker MT AASHI mengangkut bahan mentah aspal (bitumen) yang diangkut dari pelabuhan Khor Fakkan, Uni Emirat Arab, berangkat pada 19 Januari 2023. Bitumen tersebut rencananya akan dikirim ke wilayah Padang dan Sibolga, sebelum akhirnya kapal kandas diduga akibat cuaca buruk.
Pada Maret 2023, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun turun tangan untuk menghitung kerugian atas kasus ini. Dalam konferensi persnya disebutkan terdapat kerugian berupa ekologi karang, ekonomi pesisir dan pantai, serta sumber daya ikan yang berimbas langsung terhadap nelayan.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Laksamada Muda TNI Adin Nurawaluddin, mengatakan dari penanganan clean up yang difokuskan di 3 kecamatan, yakni Kecamatan Afulu, Kecamatan Tugalo Oyo, dan Kecamatan Lahewa, sebanyak 7,95 ton per hari berhasil dibersihkan.