LIPUTAN KHUSUS:

Masyarakat Dairi Desak Cina Batalkan Pendanaan Timbel dan Seng


Penulis : Kennial Laia

Masyarakat Dairi, Sumatra Utara, terus memberikan perlawanan terhadap rencana penambangan PT DPM di wilayah mereka.

Tambang

Rabu, 12 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Masyarakat yang terancam oleh rencana tambang PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Sumatra Utara berdemonstrasi di depan Kedutaan Cina dan Mahkamah Agung di Jakarta, Selasa, 11 Juni 2024. Masyarakat mengekspresikan kemarahan rencana proyek pertambangan perusahaan tetap berlanjut, meskipun banyak bukti menunjukkan hal tersebut berisiko berat dan mematikan bagi desa-desa di sekelilingnya. 

Demonstrasi tersebut merupakan respons setelah China Nonferrous Metal Industry's Foreign Engineering and Construction Co., Ltd. (NFC), perusahaan induk Dairi Prima Mineral, mengungkapkan bahwa Carren Holdings Corporation Limited akan meminjamkan US$ 245 juta kepada perusahaan tersebut untuk pembangunan proyek seng dan timbel di dekat Parongil, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara, pada April 2024 lalu. 

Carren Holdings Corporation Limited terdaftar di Hong Kong dan sepenuhnya dimiliki oleh CNIC Corporation Limited, juga terdaftar di Hong Kong. CNIC Corporation dikuasai utamanya oleh China's State Administration of Foreign Exchange (SAFE).

Pinjaman tersebut muncul setelah pakar keselamatan tambang internasional mengonfirmasi bahwa proyek DPM menimbulkan risiko berat bagi masyarakat dan lingkungan, termasuk tingginya risiko keruntuhan bendungan tailing. Jika ini terjadi, banjir akan membawa jutaan ton limbah tambang yang beracun dan mengancam keselamatan penduduk desa yang tinggal di hilir. 

Massa aksi menunjukkan poster berisi desakan agar investor dari Tiongkok membatalkan dukungan pendanaan terhadap proyek penambangan seng dan timbal milik PT Dairi Prima Mineral di Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Proyek tersebut dinilai rawan bencana dan mengancam keselamatan warga sekitar dan lingkungan. Dok Betahita/Istimewa

“Seluruh permukaan tanah di area itu tidak stabil. Mengapa lembaga negara Tiongkok mendanai sesuatu yang akan membunuh kita? Yang bahkan tak akan diizinkan di Tiongkok sendiri!” kata Mangatur Lumbantoruan, warga masyarakat yang tinggal di Desa Sumbari, Silima Pungga Pungga, Dairi. 

Proses hukum masih berjalan

Masyarakat Dairi telah lama memprotes izin PT DPM yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Agustus 2022. Mereka mengajukan gugatan di PTUN Jakarta pada Februari 2023. Pengadilan mengabulkan gugatan warga pada Agustus 2023, di mana pengadilan mengakui area tambang DPM rawan bencana sehingga tidak cocok untuk tambang. 

Namun, DPM dan Kementerian mengajukan dan memenangkan banding ke PT TUN pada November 2023. Masyarakat Dairi tidak menyerah, dan telah meminta peninjauan oleh Mahkamah Agung, yang saat ini tengah berjalan.

“Kami heran bahwa sebuah perusahaan yang dikendalikan oleh pemerintah Tiongkok akan setuju mendanai proyek yang membawa bencana, sementara kasus hukumnya masih berjalan. Mungkin selama ini mereka tidak pernah diberi tahu mengenai risiko-risikonya,” kata Rainim Purba, salah satu warga penggugat dari Desa Pandiangan. 

“Saya mengutuk pendanaan tambang DPM. Saya mengutuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena memberikan persetujuan lingkungan DPM. Seolah kedua pemerintah, Indonesia dan Tiongkok, tidak peduli dengan rakyat ataupun lingkungan.”

Perempuan dari Dairi, Sumatra Utara, beraksi di depan Kedutaan Besar Tiongkok, Jakarta, Selasa, 11 Juni 2024. Dok. Istimewa

Kekhawatiran masyarakat Dairi bukan tanpa alasan. Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatra Utara (BAKUMSU) Tongam Panggabean mengatakan, pada 2015 terjadi kebocoran bendungan tailing di area penambangan terbesar di dunia milik BHP di Brasil. 

Runtuhnya bendungan tersebut mengakibatkan hilangnya 272 jiwa, hancurnya desa-desa, dan teracuninya sistem sungai. Perusahaan tersebut harus membayar kompensasi sebesar US$ 25,7 miliar. 

“Para pakar sudah mengatakan kepada kami bahwa bendungan yang diusulkan DPM dapat mengakibatkan kerusakan yang sama. Jujur, saya terkejut lembaga pemerintah Tiongkok bisa ada di balik proyek DPM, terlebih dengan risiko-risiko ini,” kata Tongam. 

Muhammad Jamil dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan pembiayaan dan persetujuan yang diberikan kepada tambang yang terkait dengan bencana terjadi di seluruh Indonesia. 

“Ada ribuan orang di Dairi dan Aceh yang dapat terkena dampak negatif dari tambang DPM ini. Masyarakat tidak seharusnya menjadi korban dari keputusan finansialyang dilakukan secara gegabah," kata Jamil. 

Aksi massa memprotes rencana berlanjutnya penambangan PT DPM di depan Kedutaan Besar Tiongkok, Selasa, 11 Juni 2024. Dok. Istimewa 

Mangatur Lumbantoruan, warga desa lainnya, mendesak agar investor dari Tiongkok menarik dukungannya dari proyek DPM di Dairi.

“Hidup kami, mata pencaharian kami, dan budaya adat kami terancam bahaya. Kami ingin para pemodal berhenti mendanai tambang yang berbahaya ini,” kata Rainim. 

Mahkamah Agung harus berpihak kepada rakyat

Pada hari yang sama, masyarakat Dairi juga melakukan aksi di depan Mahkamah Agung di Jakarta Pusat, untuk mendesak percepatan proses kasasi menentang penerbitan persetujuan lingkungan oleh pemerintah Indonesia untuk DPM. “Kami butuh Mahkamah Agung untuk mengakhiri ini, dan melakukannya segera,” kata Rainim. 

Steve Emerman, konsultan lingkungan untuk tambang dengan pengalaman 40 tahun, yang telah meninjau rencana DPM mengatakan: “Sebelumnya telah saya sampaikan, tambang DPM yang diusulkan adalah kasus paling parah yang pernah saya temui. Gamblangnya ketidakpedulian mereka akan nyawa manusia dan lingkungan sangat mengejutkan,” kata Emerman. 

“Jika persetujuan lingkungan DPM tidak ditarik, maka akan menunjukkan di mata dunia bahwa Indonesia tidak memiliki mekanisme yang dibutuhkan untuk memastikan adanya perlindungan lingkungan dan HAM terkait penambangan.”

Para aktivis mengenakan topeng menyerupai penguasa di Indonesia dan Tiongkok di depan Kedutaan Besar Tiongkok, Selasa, 11 Juni 2024. Dok. Istimewa

Menurut Emerman, kasus PT Dairi Prima Mineral harus dilihat seperti pepatah ‘kenari di tambang batu bara’, yang artinya prediksi terjadinya malapetaka. 

“Di seluruh dunia kita melihat bencana tambang terjadi, khususnya ketika berhadapan dengan tata kelola yang buruk. Dalam hal ini, penting agar pengadilan berperan memastikan pemerintah melindungi rakyat dan lingkungan,” kata Emerman.

Tongam mengatakan, kasus DPM menjadi penguji terkait komitmen transisi energi pemerintah Indonesia. “Jika sebuah tambang jelas akan mengakibatkan bencana jika diizinkan untuk dilanjutkan, maka tidak ada gunanya klaim bahwa Indonesia dapat membantu dunia dalam transisi energi bersih,” katanya. 

“Kita perlu MA mendukung PTUN Jakarta yang menemukan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan gagal menjalankan tanggung jawab mereka menerapkan tata kelola yang baik,” kata Tongam.  

Aksi gabungan masyarakat Dairi, Sumatra Utara, dan aktivis di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Selasa, 11 Juni 2024. Dok. Istimewa