LIPUTAN KHUSUS:

Polisi Penembak Mati Gijik Divonis 10 Bulan; Adilkah Menurutmu?


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Pelaku penembakan Gijik dan Taufik, hanya divonis 10 bulan penjara. Vonis ini dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan terhadap dua warga Bangkal yang jadi korban tragedi PT HMBP 1.

Hukum

Rabu, 12 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kekecewaan meremas benak massa aksi Koalisi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal ketika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palangka Raya menjatuhkan vonis kepada Anang Tri Wahyu Widodo, dalam persidangan yang digelar Senin kemarin. Sebab, anggota kepolisian pelaku penembakan yang menewaskan Gijik dan membuat Taufik terancam cacat seumur hidup tersebut hanya divonis 10 bulan kurungan penjara saja.

Gijik dan Taufik adalah dua warga Desa Bangkal yang menjadi korban terjangan timah panas yang ditembakkan Anang, saat keduanya ikut dalam aksi warga Bangkal menuntut realisasi kebun plasma sawit di PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP), di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), 7 Oktober 2023. Dalam peristiwa itu, Gijik tewas di lokasi, sedangkan Taufik berhasil terselamatkan.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, yang memantau persidangan tersebut mengungkapkan, massa aksi dan pihak keluarga korban begitu kecewa dengan putusan tersebut. Vonis kurungan penjara 10 bulan itu dianggap tidaklah sebanding dengan hilangnya nyawa Gijik dan cacat seumur hidup yang dialami Taufik.

“Kakak korban tidak terima atas putusan 10 bulan yang disampaikan dan diputuskan oleh majelis hakim kepada terdakwa Anang Tri Wahyu Widodo ini. Tidak hanya itu, jaksa juga terkesan tidak memihak kepada korban dan keluarga korban. Bahkan ada banyak sekali kejanggalan dalam kasus ini,” kata Bayu Herinata, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, menyampaikan kekecewaan Rahmad, kakak Taufik, Selasa (11/6/2024).

Potret alm. Gijik, dipegang oleh keluarga, saat aksi damai yang dilakukan di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Kalteng, Kamis (14/3/2024). Foto: Walhi Kalteng.

Bayu menguraikan, kekecewaan keluarga korban tersebut bukan tanpa alasan. Ada berbagai kejanggalan yang terjadi ketika proses persidangan perkara kasus penembakan warga Desa Bangkal berlangsung. Kejanggalan dimulai ketika kesaksian yang disampaikan oleh saksi S dan MI dalam agenda persidangan pembuktian.

Dalam sidang itu diketahui bahwa Anang Tri Wahyu Widodo ini seharusnya berada pada barisan belakang, tetapi malah maju ke garda depan. Kemudian, jarak tembak antara terdakwa dan korban hanya 25-30 meter sehingga memungkinkan terdakwa untuk melakukan tembakan tepat sasaran di objek vital.

"Lalu, keterangan saksi S mengenai perintah 'awas tembak' tak sama dengan video amatir yang beredar, yang mana dalam video tersebut terdengar perintah 'bidik kepalanya'," kata Bayu.

Berdasarkan keterangan saksi, lanjut Bayu, seharusnya tidak hanya Anang Tri Wahyu yang menjadi terdakwa, tetapi saksi S juga harus bertanggung jawab atas kasus penembakan warga Bangkal tersebut. Bayu menyebut Polda Kalteng dinilai berlebihan dalam menurunkan pasukan untuk menghalau aksi massa dengan menurunkan, tidak hanya Brimob namun juga Gegana, yang notabennya bertugas khusus pada kejahatan tingkat tinggi sekelas terorisme.

Bayu bilang, vonis terhadap Anang ini tidak mencerminkan keadilan terhadap korban dan keluarganya. Putusan hakim yang lemah ini mencoreng citra penegak hukum di Indonesia, yang jauh dari sila kelima Pancasila, karena majelis hakim hanya memvonis terdakwa dengan Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP terkait kealpaan.

"Keluarga Gijik juga sangat keberatan terhadap vonis 10 bulan ini. Menurut keluarga, hakim dan juga jaksa cenderung memihak dan membela terdakwa Anang Tri Wahyu Widodo,” ujar Bayu.

Bayu mengatakan, Taufik yang hadir dalam sidang pembacaan putusan kasus ini juga sangat kecewa. Taufik, kata Bayu, merasa tidak puas atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan putusan majelis hakim, sebab vonis yang diputuskan tidak sesuai dengan apa yang warga kehendaki.

Dalam proses persidangan, Bayu melanjutkan, jaksa juga tampak tidak mengindahkan keadilan untuk korban dan keluarganya, sebab jaksa dan hakim tidak memedulikan permintaan keluarga korban dan Koalisi Solidaritas untuk Bangkal agar pihak Kejaksaan Tinggi Kalteng memasukkan Pasal 340 KUHPidana Jo 338 KUHPidana.

Selain itu, jaksa juga tidak mempertimbangkan dan membacakan pertimbangan yang telah dikirimkan LPSK dalam penilaiannya terkait restitusi, yang mana seharusnya terdakwa wajib membayarkan ganti rugi senilai Rp 2.273.043.500.

“Vonis ringan kepada pelaku penembakan warga Bangkal ini merupakan bukti nyata praktik buruk peradilan di negeri ini. Bukannya membuat konflik sosial semakin meredam, ini malah bisa menimbulkan konflik baru," kata Bayu.

Terlebih, imbuh Bayu, kerugian keluarga korban dan masyarakat Bangkal akan bertambah, lantaran tuntutan total kebun plasma sawit 20 persen dari PT HMBP 1 tidak terealisasi dengan baik.

"Konflik agraria berujung adanya pelanggaran HAM menambah citra buruk aparat penegak hukum. Citra penegak hukum semakin buruk dimata publik dengan cederanya rasa keadilan bagi warga Bangkal,” ucap Bayu.

Manajer Advokasi, Kajian dan Kampanye Walhi Kalteng, Janang Firman Palanungkai mengungkapkan, ketidakadilan terhadap korban sudah terlihat dari tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum, yang hanya 1 tahun penjara. Padahal harapannya, JPU bisa mewakili keluarga korban, namun yang terjadi malah sebaliknya.

"Semuanya seolah melindungi terdakwa. Dari sekian banyak kasus konflik di Kalteng, persidangan kasus ini yang paling mencederai penegakan hukum. Khususnya terdakwa merupakan penegak hukum yang seharusnya melindungi warga, namun menjadi pelaku penembakan warga,” tutur Janang.