LIPUTAN KHUSUS:

Tim Advokasi Temukan Fakta Ganjil Peradilan Polisi Pembunuh Gijik


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal menemukan sejumlah keganjilan dalam proses persidangan polisi penembak Gijik.

Hukum

Jumat, 14 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal mengendus skenario busuk peradilan Iptu Anang Tri Widodo (ATW), pelaku penembakan yang menewaskan Gijik dalam aksi massa warga Bangkal saat menagih realisasi kebun plasma sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) 1 di Seruyan, 7 Oktober tahun lalu. Tim Advokasi menilai, proses peradilan anggota Yon A Pelopor Brimob Polda Kalteng itu sejak awal dirancang untuk gagal (intended to fail).

Penilaian Tim Advokasi tersebut bukan sembarangan. Sejak awal mereka ikut memantau langsung tiap persidangan yang berlangsung. "Dalam pemantauan tersebut, kami menemukan sejumlah fakta dan keganjilan atas proses hukum terhadap terdakwa," kata Aryo Nugroho, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Rabu (12/6/2024).

Keganjilan yang dimaksud Aryo, yang pertama, pasal dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menihilkan pasal pembunuhan berencana. Tim JPU mendakwa Iptu ATW dengan dakwaan menggunakan Pasal 351 (3), 351 (2), dan 360 KUHP. Tim Advokasi meyakini, penggunaan pasal-pasal tersebut dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk menuntut ringan terdakwa.

Aryo menjelaskan, sebelumnya penerapan pasal-pasal janggal ini telah keluarga dan Tim Advokasi prediksi, sebelum berkasnya dilimpahkan ke PN Palangka Raya. Pada 1 Desember 2023, keluarga korban dan Tim Advokasi mengirimkan surat ke Kejati Palangka Raya agar JPU memasukkan Pasal 340 jo 338 KUHP, dan disertai dengan bukti video yang merekam adanya perintah dari arah aparat keamanan berupa "bidik kepalanya, bidik kepalanya".

Pelaku penembakan Gijik, Iptu ATW saat menjalani sidang di PN Palangka Raya, dengan agenda pemeriksaan saksi, 2 Mei 2024. Foto: Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal.

Kemudian pada 14 Maret 2024, surat dengan substansi serupa juga dikirimkan kembali ke Kejati Palangka Raya. "Tapi hingga agenda pembacaan surat dakwaan yang dilakukan pada 26 Maret 2024, pasal pembunuhan berencana urung dimasukkan ke dalam dakwaan JPU," ujar Aryo

Keganjilan yang kedua, imbuh Aryo, adanya konflik kepentingan kuasa hukum terdakwa. Kuasa hukum ATW adalah anggota Polri aktif berasal dari Bidkum Polda Kalteng. "Kejanggalan lain yang kami temui selanjutnya adalah keterlibatan Bidang Hukum Polda Kalteng sebagai Tim Penasihat Hukum terdakwa Iptu Anang Tri Widodo," katanya.

Menurut Aryo, terlibatnya anggota Polri aktif sebagai kuasa hukum jelas telah menimbulkan konflik kepentingan dalam membongkar fakta peristiwa yang terjadi secara tuntas. "Terlebih, proses hukum di tingkat penyidikan seperti penetapan status tersangka, pemeriksaan dan penahanan dilakukan oleh institusi kepolisian Polda Kalteng," ucapnya.

Pelibatan anggota Polri dalam tim kuasa hukum ini aneh. Karena, kata Aryo, perbuatan Iptu ATW tak hanya mencoreng institusi Polri, tapi juga melanggar Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Yang ketiga, perbuatan penembakan yang dilakukan oleh Iptu ATW telah direncanakan dan bersesuaian dengan alat bukti serta keterangan ahli di pengadilan. Fakta persidangan telah terungkap bahwa peluru tajam yang digunakan oleh Iptu ATW telah dipersiapkan sebelum tiba di lokasi penembakan.

Terdapat tiga jenis magazin bertanda khusus yang dibawa Iptu ATW, yakni magazin dengan tanda merah berisi 20 peluru hampa, magasin hijau berisi 17 peluru karet dan 3 peluru hampa, dan magasin kuning berisi 16 peluru tajam. "Iptu Anang Tri Widodo yang dibekali senapan serbu jenis AK-101 bernomor seri 161216553 kemudian menembak menggunakan magazin kuning dengan jarak tembak 96,8 meter ke arah alm. Gijik dan Taufik," tutur Aryo.

Lebih lanjut Aryo menjelaskan, keterangan ahli balistik Sopan Utomo yang dihadirkan dalam persidangan, menyatakan bahwa jarak tembak efektif senjata AK-101 ini berjarak 500 meter. Sehingga, bila kemudian jarak tembaknya hanya 96,8 meter maka dapat dipastikan akan menembus objek sasaran dan laju proyektilnya baru berhenti jika menabrak benda keras.

"Jika dikaitkan dengan fakta temuan investigasi, terdapat keterangan saksi bahwa ketika terdengar letusan senjata api terlihat alm. Gijik dan Taufik jatuh tersungkur secara bersamaan," terang Aryo, yang mengindikasikan bahwa peluru tajam yang menembus dada Gijik, juga mengenai Taufik.

Keganjilan yang keempat, Aryo melanjutkan, tim penyidik Polda Kalteng telah gegabah dan tidak profesional dalam menyimpan alat bukti. Fakta ketidakprofesionalan penyidik polisi itu terungkap dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan ahli Deoxyribonucleic Acid (DNA) Setia Betaria Aritonang.

Ahli menyatakan terdapat sampel darah yang terdapat dalam sebuah batu. "Namun, ketika hendak diperiksa sampel darah tersebut mengalami kerusakan/pembusukan akibat tim penyidik menyimpannya tidak sesuai standar operasi prosedur," kata Aryo.

Menurut Tim Advokasi, lanjutnya, hal ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana melanggar Pasal 233 KUHP tentang perusakan barang bukti. Tak hanya itu, kata Aryo, ketidakprofesionalan penyidik tersebut telah melanggar aturan internal kepolisian seperti Perkap 8/2014 tentang Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Polri dan Perkap 6/2019 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Yang kelima, instruksi "tembak dan bidik kepala" terbukti berasal dari anggota kepolisian. Pada 28 Mei 2024, sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi, yakni Ampi Mesias Von Bulow, yang merupakan mantan Kapolres Seruyan.

Dalam keterangannya, Ampi membenarkan bahwa terdapat instruksi “bidik kepalanya” yang keluar dari barisan aparat kepolisian. Instruksi inilah, kata Aryo, yang kemudian diduga memicu tindakan penembakan yang dilakukan oleh Iptu ATW.

"Oleh karena fakta tersebut, hemat kami unsur dengan rencana dalam ketentuan Pasal 340 KUHP semestinya terpenuhi," kata Aryo. "Terlebih jika ditautkan dengan hasil investigasi terdapat perintah persiapan yang juga terdengar dari mobil komando aparat kepolisian," imbuhnya.

Keganjilan selanjutnya, terdapat pengerahan kekuatan secara berlebihan dengan menerjunkan pasukan Gegana dalam menghadapi demonstrasi warga Bangkal saat menuntut realisasi kebun plasma sawit PT HMBP 1 pada 7 Oktober 2023. Hal tersebut terungkap di persidangan.

Aryo menuturkan, pasukan Gegana memiliki tugas khusus sebagai penindak gangguan Kamtibmas berkadar dan berintensitas tinggi khususnya kejahatan terorganisir yang menggunakan senjata api, bom, bahan kimia, biologi, radioaktif, dan perlawanan teror.

Artinya, aksi demonstrasi damai yang dilakukan oleh warga masyarakat adat Bangkal ini secara tak langsung distigmatisasi berbuat tindakan teror oleh pasukan keamanan. "Hal ini jelas merupakan bentuk pengerahan aparat secara berlebihan (excessive use of force) karena tidak sesuai dengan peruntukannya," katanya

Kemudian yang ketujuh, JPU dan Majelis Hakim PN Palangka Raya tidak mempertimbangkan permohonan restitusi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Aryo menguraikan, selain vonis ringan yang dibacakan majelis hakim, putusan tersebut juga syarat permasalahan. Karena sama sekali tidak mempertimbangkan surat resmi lembaga negara dengan nomor A.1663/R/KEP/SMP-LPSK/VI tahun 2024 tentang Penilaian Ganti Rugi.

Surat tersebut memuat permohonan fasilitasi restitusi berupa ganti rugi korban tindak pidana yang diajukan oleh ibu kandung alm. Gijik senilai Rp2.273.043.500. "Sebelumnya, surat tersebut juga telah disubmisi ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Tengah (Kalteng) pada 5 Juni 2024 dan PTSP Pengadilan Negeri Palangka Raya pada 7 Juni 2024," ujar Aryo.

Keganjilan terakhir, tuntutan pidana 1 tahun penjara oleh tim JPU terhadap Iptu Anang Tri Widodo menunjukan kegagalan jaksa menegakkan hukum dan melindungi warga negara. Pada 6 Juni 2024, Aryo menerangkan, tim JPU membacakan surat tuntutannya dengan hanya meminta kepada majelis hakim menghukum Iptu ATW satu tahun penjara saja.

Selain karena sejak awal pasal-pasal yang didakwakan hanya dapat diancam dengan pidana maksimal 5 tahun, tuntutan jaksa terhadap Iptu ATW seolah-olah sedang membela terdakwa agar divonis ringan. Semestinya, kata Aryo, JPU hadir di persidangan sebagai representasi korban dan keluarga alm. Gijik dan Taufik untuk mendapatkan keadilan serta jaminan ketidak-berulangan dengan cara menghukum berat terdakwa. "Bukan justru mengajukan hukuman ‘ala kadarnya’ yang terkesan melindungi Iptu ATW dari jerak hukum maksimal," katanya.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata menambahkan, atas fakta-fakta keganjilan itu, Tim Advokasi menilai proses peradilan hingga putusan yang telah dibacakan ini menunjukkan preseden buruk bagi penegakan hukum dan HAM, terlebih lagi vonis yang dijatuhkan hanya 10 bulan.

Proses penegakan hukum yang telah berjalan memperkuat indikasi peradilan sesat (malicious trial process) terhadap terdakwa yang diadili. "Selain itu, kami turut juga melihat bahwa tidak adanya keseriusan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam mengembangkan kasus dengan menjerat keterlibatan pelaku lain termasuk pelaku level atas (actor high level)," kata Bayu.

Jika diteruskan, imbuh Bayu, peristiwa semacam ini dapat menciptakan suatu normalisasi kekerasan di internal Polri, dan akibatnya tindakan kekerasan dalam menjalankan tugas menjadi suatu hal yang biasa dan akan terjadi sikap yang permisif, jika anggota Polri melakukan kekerasan baik kepada kepada warga sipil.

Atas hal tersebut, kata Bayu, Tim Advokasi mendesak, yang pertama, tim JPU segera mengajukan upaya banding terhadap Putusan Tingkat Pertama dengan nomor 55/Pid.B/2024/PN Plk. Lalu, kedua, Komisi kejaksaan harus memeriksa dugaan pelanggaran etik yang dilakukan tim Jaksa Penuntut Umum yang menuntut rendah dan terkesan melindungi terdakwa Iptu ATW.

Ketiga, Komisi Yudisial harus mendalami dan memeriksa terkait pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang memeriksa perkara nomor 55/Pid.B/2024/PN Plk dengan putusan rendah. "Keempat, mendesak Kapolri memerintahkan Kabareskrim untuk mengusut lebih jauh terhadap aktor intelektual yang diduga kuat terlibat dan belum tersentuh proses hukum," kata Bayu.

Kapolri, lanjutnya, juga harus segera memerintahkan Kadiv Propam dan Karowassidik Bareskrim memeriksa anggota penyidik kepolisian yang tidak profesional dalam melakukan penyidikan kasus ini. "Selain itu, Kadiv Propam juga segera melakukan sidang etik dengan Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Iptu ATW," ucap Bayu.

Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal sendiri merupakan gabungan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil, yakni KontraS, YLBHI, Walhi, LBH Palangka Raya, Walhi Kalteng, PW AMAN Kalteng, Save Our Borneo, PROGRESS Kalteng, YBBI, AMAN, PPMAN, TuK Indonesia, KPA, Greenpeace Indonesia, Sawit Watch, LBH Genta Keadilan.

Sebelumnya, pada 7 Oktober 2023, masyarakat adat dari Desa Bangkal, Seruyan, Kalteng, melakukan penyampaian pendapat di muka umum guna menuntut hak realisasi kebun plasma sawit kepada PT Hamparan Massawit Bangun Persada (PT HMBP). Aksi yang semula damai tersebut kemudian berubah menjadi malapetaka, saat pasukan kepolisian yang dipersenjatai dengan gas air mata serta peluru tajam menembak serta mengarahkannya ke massa aksi. Akibatnya, satu orang bernama Gijik meninggal dunia di tempat dan satu lainnya yakni Taufik mengalami luka berat.

Dalam perkara nomor 55/Pid.B/2024/PN Plk ini, Iptu ATW diputus bersalah melanggar Pasal 359 KUHP dan divonis 10 bulan kurungan penjara oleh Majelis Hakim PN Palangka Raya. Putusan tersebut menuai kecaman dari sejumlah kelompok masyarakat sipil. Sebab hukuman 10 bulan penjara dianggap tidak sepadan dengan hilangnya nyawa Gijik dan ancaman cacat seumur hidup yang dialami Taufik.