LIPUTAN KHUSUS:

Jika Ormas Agama A Nambang di Wilayah Warga Agama B, Apa Jadinya?


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Kiara menyatakan obral izin tambang kepada ormas agama oleh pemerintah adalah divide et impera (politik adu domba) dalam bentuk kebijakan.

Tambang

Senin, 17 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wacana pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan menjadi sorotan banyak pihak. Menurut Kiara, organisasi masyarakat sipil yang fokus pada upaya penyelamatan lingkungan, obral izin tambang oleh pemerintah ini dikhawatirkan hanya akan menciptakan konflik baru antara masyarakat penolak tambang dengan ormas keagamaan.

Diketahui, pada 30 Mei 2024, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Dalam beleid tersebut, terdapat eksklusivitas kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mendapatkan WIUPK, dengan dalih untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Penawaran prioritas WIUPK kepada ormas keagamaan terdapat Pasal 83A yang merupakan Pasal yang disisipkan dalam PP No. 25 Tahun 2024. Dalam Pasal 83A ayat disebutkan bahwa dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

WIUPK yang dimaksud dalam konteks tersebut adalah WIUPK bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), dan tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan menteri.

Konsesi PT.KPC lokasi di Desa Tebangan Lembak, Kec.Bengalon, Kab.Kutai Timur. Foto: Jatam

Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, menyatakan PP No. 25 Tahun 2024 ini adalah permasalahan baru dalam konteks pertambangan mineral dan batu bara, yang selama ini telah terbukti merusak lingkungan, baik perusakan lingkungan di darat maupun laut. Kiara, kata Susan, khawatir PP No. 25 Tahun 2024 tersebut akan semakin melegitimasi perusakan lingkungan yang dibungkus dengan narasi peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya ormas keagamaan.

"Ini adalah divide et impera (politik adu domba) dalam bentuk kebijakan dan praktik pemberian WIUPK kepada ormas-ormas keagamaan. Padahal sudah jelas berbagai pengalaman di lapangan membuktikan bahwa berbagai pengikut ormas keagamaan ini telah menjadi korban dari pertambangan itu sendiri, ada yang dikriminalisasi bahkan dibunuh karena menolak pertambangan,” kata Susan, Jumat (14/6/2024).

Kiara, Susan melanjutkan, mengapresiasi ormas keagamaan yang telah menyatakan sikap untuk tidak menerima tawaran pemberian WIUPK. Sikap tegas menolak tawaran WIUPK akan sejalan dengan upaya penyelamatan lingkungan sebagaimana yang diajarkan dalam berbagai agama.

Beberapa di antaranya adalah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jaringan Gusdurian, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Sementara, ormas keagamaan yang telah menerima WIUPK adalah Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan ormas keagamaan lain yang belum disebutkan di atas belum menyatakan sikap tegasnya terkait penawaran WIUPK.

Kiara mencatat, PP Muhammadiyah dalam opini legalnya (2024) menjelaskan bahwa aktivitas pertambangan memiliki risiko terhadap rusaknya lingkungan yang akan berdampak kepada rusaknya ekosistem dan lingkungan di sekitar pertambangan serta lingkungan sosial karena aktivitas pertambangan sering menimbulkan konflik.

Penolakan dari PP Muhammadiyah telah sesuai dengan upaya perlindungan lingkungan dalam Al-Qur’an, yaitu:

  • Surat Al-A'raf ayat 56 yang menyebutkan bahwa “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
  • Surat Al-Baqarah ayat 205, yang isinya, “Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan.”
  • Surat Shad ayat 28, yang menyebyt “Apakah (pantas) Kami menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi? Pantaskah Kami menjadikan orang-orang yang bertakwa sama dengan para pendurhaka?”
  • Surat Ar Rum ayat 41, yang berbunyi “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Kemudian, HKBP dalam pernyataan pers Ephorus HKBP menyebutkan, HKBP ikut bertanggung jawab menjaga lingkungan hidup yang telah dieksploitasi umat manusia atas nama pembangunan sejak lama dan terbukti menjadi salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan hingga pemanasan bumi.

HKBP merujuk beberapa isi Alkitab, yakni:

  • Allah memberikan kuasa kepada manusia untuk memelihara dunia ini dengan tanggung jawab penuh. Kita menyaksikan tanggung jawab manusia untuk melestarikan semua ciptaan Allah supaya manusia dapat bekerja, sehat, dan sejahtera (Mzm 8:4-10).
  • Kita menentang setiap kegiatan yang merusak lingkungan, seperti membakar dan menebang pohon di hutan atau hutan belantara (Ul. 5:20; 19-20).
  • Kita menentang setiap usaha yang mencemari air dan udara, juga air limbah yang mengandung racun dari pabrik-pabrik, karena tidak memedulikan saluran air limbah dan pencemaran udara, hingga merusak air minum dan pernafasan manusia (polusi/pencemaran lingkungan) (Mzm 104:1-23; Wahyu 22:1-2).

Kiara mendorong ormas keagamaan lain untuk tetap kritis dan tetap mengutamakan tugas dan fungsi sebagai ormas keagamaan dalam membina umat dan melindungi lingkungan hidup sebagaimana yang diajarkan dalam setiap agama. Tidak ada kehidupan tanpa lingkungan yang sehat, terjaga dan berkelanjutan.

"Salah satu yang terbukti telah merusak lingkungan baik di darat, laut maupun pulau-pulau kecil adalah aktivitas pertambangan," kata Susan.

Saat ini, Susan mengungkapkan, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil tengah memperjuangkan wilayahnya untuk tidak ditambang, baik untuk mineral maupun pasir laut, seperti yang tengah terjadi di Kabupaten Demak, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan untuk supply material pembangunan IKN, serta di Kepulauan Natuna.

"Perjuangan masyarakat untuk bebas dari pertambangan yang telah menghancurkan kehidupan mereka seharusnya didukung oleh berbagai pihak, salah satunya adalah ormas keagamaan di mana mayoritas masyarakat di Indonesia merupakan anggota dari berbagai ormas keagamaan,” ucap Susan.