LIPUTAN KHUSUS:

8 Catatan Kritis untuk RUU Konservasi


Penulis : Gilang Helindro

Delapan hal krusial ini diabaikan dalam perumusan RUU Konservasi

Konservasi

Minggu, 30 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan sejumlah koalisi masyarakat sipil memetakan beberapa perubahan peraturan dalam rumusan RUU Konservasi atau RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) sejak tahun lalu. Koalisi wali lingkumgan itu menemukan masalah signifikan dalam perubahan tersebut. 

Satrio Manggala, Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Nasional mengungkapkan catatan dan kritik terhadap RUU Konservasi ini. Satrio menyoroti perlunya perubahan paradigma konservasi yang lebih berkelanjutan dan inklusif.

"UU nomor 5 tahun 1990 sudah cukup lama, 34 tahun menggunakan paradigma konservasi yang cukup buruk dalam catatan implementasinya. Ini salah satu kesempatan untuk melakukan revisi atau perumusan konsep konservasi berparadigma baru," kata Satrio, Kamis, 27 Juni 2024.

Satrio bilang, pihaknya merumuskan masukan untuk anggota Komisi IV yang membahas RUU ini, untuk melakukan perbaikan. Ada delapan catatan krusial yang diabaikan dalam konsep perumusan RUU Konservasi tersebut. “Delapan catatan ini diabaikan dalam konsep perumusan RUU Konservasi,” kata Satrio.

Pencabutan papan sasi oleh Ketua Kelompok Sasi Perempuan Waifuna, Almina Kacili, didampingi tetua adat dan pemuka agama Kampung Kapatcol, Senin, 25 Maret 2024. Dok Adia Puja Pradana/YKAN

Salah satu poin yang disoroti adalah konservasi berbasis hak asasi manusia, yang sering diabaikan dan menimbulkan banyak konflik, terutama terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal. 

Satrio menegaskan, rumusan area reservasi dalam RUU berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama kepemilikan atas tanah. Ada pula ambiguitas dalam perumusan batasan konservasi terkait jasa lingkungan seperti panas bumi dan karbon. 

"Panas bumi kalau ditafsirkan sebagai jasa akan berpotensi membuka peluang ekstraksi yang merusak lingkungan. Sistem operasi ekstraksi panas bumi dapat menyebabkan gempa bumi minor, pencemaran air, dan kebisingan yang berdampak fatal pada lingkungan konservasi," ungkap Satrio.

Koalisi juga mengkritik ketentuan pidana dalam RUU yang dinilai diskriminatif terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal yang telah lama tinggal di wilayah konservasi. Satrio menekankan pentingnya norma yang mengatur tumbuhan, satwa liar, dan sumber daya genetik secara jelas dalam undang-undang, bukan hanya dalam peraturan pemerintah.

"Norma-norma penting yang luput dirumuskan, termasuk sanksi perdata dan ketentuan untuk menghentikan kerusakan dan degradasi ekosistem, perlu diatur dengan jelas," ungkap Satrio. 

Satrio menyayangkan pembahasan RUU KSDAHE yang tidak melibatkan stakeholder terkait, misalnya masyarakat adat dan komunitas lokal. 

Harusnya, kata Satrio, masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pembahasan setiap perumusan dari peraturan perundang-undangan ini sampai dengan pengesahannya. 

Karena stakeholder ini tak dilibatkan, “Sehingga hal ini bisa jadi berdampak dan merugikan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini berperan dalam melakukan upaya konservasi juga melakukan upaya-upaya penjagaan alam," kata Satrio.

Ke delapan catatan RUU Konservasi adalah:

  1. Mengutamakan Paradigma Konservasi Berbasis Hak Asasi Manusia
  2. Ambiguitas Batasan Kebijakan Konservasi 
  3. Penyesuaian Ketentuan Pidana dalam RUU KSDAHE 
  4. Penyusunan Norma Penting di dalam Undang-Undang 
  5. Perumusan Sanksi Administratif dan Perdata yang Adekuat 
  6. Pemulihan Ekosistem 
  7. Urgensi Pengaturan Hak Gugat Pemerintah, Masyarakat, dan Organisasi 
  8. Penyusunan Undang-Undang yang Transparan dan Melibatkan Publik 

Berdasarkan catatan tersebut, Walhi dan Koalisi memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan DPR RI, untuk: 

  1. Menolakan pengesahan RUU Perubahan KSDAHE,
  2. Menarik RUU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 huruf d Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pembentukan Undang-Undang;
  3. Merumuskan dalam RUU (baru) bukan dalam bentuk RUU (perubahan) mengingat kompleksitas rumusan norma penting yang menjadi ruang lingkup pengaturan.